KHITTAH.CO – Tanggal 18 November 2020 nanti Muhammadiyah genap berumur 108 tahun. Usia yang sangat matang dan tua bagi sebuah perkumpulan atau organisasi kemasyarakatan. Dengan usia demikian dan tetap eksis hingga hari ini, Muhammadiyah tentu telah melewati tempaan zaman dan teruji oleh berbagai iklim politik.
Sudah tidak terhitung lagi prestasi ditorehkan Muhammadiyah. Jika prestasi-prestasi itu layaknya medali emas atau berbentuk piala, maka tidak ada lagi tempat yang cukup untuk menampungnya.
Idealisme politik netral dan sikap kebangsaan yang dewasa juga turut mengkokohkan organisasi ini hingga mampu bertahan meski tak jarang disudutkan atau dikaitkan dengan sikap politik tertentu.
Banyaknya amal usaha Muhammadiyah disegala lini kehidupan menuntut agar terus konsisten menelurkan kader-kader dengan kapasitas keilmuan sesuai yang dibutuhkan di amal usaha tersebut. Romantisme kader multitalen sedikit demi sedikit harus dikurangi oleh pimpinan disemua tingkat terlebih pimpinan yang membawahi banyak amal usaha didalamnya. Pola pikir tajdid harus terus digalakkan termasuk pada proses pengkaderan karena tantangan kedepan bukan hanya masalah dari luar organisasi malah justru datang dari gesekan didalam karena faktor identitas predikat ‘kader’.
Amal usaha bidang kesehatan misal, bukan zaman nya lagi kader multitalen bisa mengelola karena berkaitan dengan disiplin ilmu atau profesi dan tuntutan regulasi. Faktanya banyak kader-kader yang benar-benar berjuang di organisasi otonom masih menjadi penonton atau hanya menjadi pemain pengganti duduk dipinggir lapangan sembari menunggu pemain utama cidera. Mirisnya lagi, konsep dan aturan main justru dirusak oleh pemain utama. Pungkasnya, kader dibutuhkan pada posisi receh seputar bagian administrasi atau sekedar cleaning service. Harusnya pimpinan menjaring kader potensial untuk disiapkan menjadi tenaga ahli kesehatan atau bidang lain yang semisal.
Masalah lain yang komplek juga terjadi dimana kader murni dari kalangan pimpinan biasanya enggan atau tidak ada arahan untuk aktif serta menjadi bagian dari organisasi perkaderan otonom Muhammadiyah. Kader murni ini harusnya menjadi tonggak utama penerus estafet kepemimpinan tanpa mengesampingkan potensi lainnya. Mengingat secara alami keluarga menjadi basis perkaderan.
Persoalan mempersiapkan kader bukan hanya sebatas insidental layaknya produk siap saji namun harus dikonsep secara jelas, sebelum dikader secara akademik melalui beasiswa pendidikan dan profesi harus lebih dulu dipetakan bagaimana diaspora kader pasca pendidikan jangan sampai kader lari atau pindah ke lain hati karena hal-hal sepele. Controlling ideologi dan cara ‘ngopeni’ kader harus jelas juga telaten dilakukan. Ngopeni kader juga bukan hanya pada segi idelogi saja, kebutuhan biaya hidup ketika pendidikan menjadi hal sepele yang dapat mematahkan semangat kader karena merasa disia-siakan.
Lalu bagaimana dengan kader tanpa keahlian khusus?
Tentu sebagai kader penggerak organisasi aspirasi mereka harus jadi pertimbangan dalam membuat kebijakan-kebijakan. Berbagai sifat sikap dan kemampuan kader harus diakomodir termasuk mereka yang tidak tertarik dengan studi dan memilih langsung kerja, balai pelatihan merupakan tempat yang tepat untuk kader dengan kriteria ini selain itu tempat kerja juga harus disiapkan sehingga benar-benar tepat sasaran.
Akhirnya persoalan kader mengkader menjadi tanggungjawab semua warga Muhammadiyah baik sebagai pimpinan organisasi lebih-lebih pimpinan amal usaha. Semua berkewajiban memastikan juga mempersiapkan siapa penerus nya dimasa datang agar roda organisasi tidak stagnan atau jangan sampai dinahkodai orang-orang tanpa sanad perkaderan yang jelas. Mengkader harus dimulai dari lingkungan keluarga inti, lingkungan kerja sampai pada masyarakat sekitar tempat tinggal secara luas.