Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

3 + 3 = 124

×

3 + 3 = 12<sub>4</sub>

Share this article

Oleh: Irwan Akib (Dosen Pendidikan Matematika Unismuh Makassar)

KHITTAH. CO – Kita sering mendengar penyataan politisi, bahwa dalam politik 2 + 2 tidak selalu sama dengan 4, artinya boleh 4 boleh bukan 4. Pernyataan ini mengatakan bahwa di dalam matematika 2 + 2 sudah pasti 4, sedang politk tidak selalu 4. Pernyataan ini ada benarnya, tetapi seharusnya bukan hanya dalam politik hal tersebut berlaku, juga dalam matematika. Kenapa bisa, bukankah matematika itu ilmu pasti. Tidak boleh menghasilkan dua atau lebih jawaban yang berbeda terhadap satu soal. Itu kata orang yang tidak paham matematika.

Judul di atas bukan 2 + 2 tetapi 3 + 3 = 124 . bukan 3 + 3 = 64 kenapa?  Mari kita lihat yang berikut :

Memperhatikan tiga baris penjumlahan di atas terdapat hasil yang nampak berbeda. Perbedaan tersebut karena latar basis yang digunakan. Baris pertama menggukan basis 4, baris kedua menggunakan basis 5 dan baris ketiga menggunakan basis sepuluh. Di sini tampak bahwa perbedaan tersebut karena adanya latar yang berbeda, ada wilayah pembicaraan yang berbeda yang dalam matematika dikenal istilah semesta pembicaan. Kesemestaan tersebut memiliki batasan-batasan yang disepakati dengan karakteristsik tertentu, di luar karakteristik tersebut berarti bukan anggota dari semesta pembicaraan. Dalam bahasa matematika disebut komplemen dari suatu himpunan.

Ketika kita belajar matematika di sekolah dasar, misalnya 2 – 3 = ….. saat itu dikatakan tidak ada hasilnya. Padahal 2 – 3 = -1, kenapa waktu itu dikatakan tidak ada hasilnya, karena saat itu yang kita pelajari adalah bilangan bilangan Asli, bilangan Asli anggotanya mulai dari 1, 2, 3 . . . .  belum mengenal negatif. Berbeda ketika kita sudah belajar bilangan bulat, sudah ada bilangan negatif sehingga 2 – 3 memiliki hasil pengurangan yaitu -1.

Kesemestaan dalam konteks berbangsa bernegara, dapat dimaknai bahwa kita berada dalam sebuah negara bangsa dengan karakteristik tertentu. Ada pananda, bahwa kita memang warga bangsa tersebut dengan penanda yang telah menjadi kesepekatan dan tentu menjadi bagian budaya masyarakat dari negara bangsa tersebut.

Dalam konteks keindonsiaan penada itu berupa nilai-nilai luhur yang hidup subur dalam alam Indonesia Raya, yang oleh Prof. Haedar Nashir (Sosiolog dan Ketum PPM) dalam berbagai tulisan dan berbagai pidatonya menyakan bahwa nilai-nilai luhur bangsa Indonesia adalah agama, kebudayaan, dan Pancasila. Ketiganya tidak perlu dipertentangkan tetapi saling terkait satu sama lain. Agama dan Pancasila misalmya tidak perlu dipertentangkan. Agama merupakan kepercayaan yang dianut oleh warga bangsa, sedang Pancasila merupakan filosopi dalam berbangsa dan bernegara.

Agama dan Pancasila dalam konteks kesemestaan menjadi penanda seorang warga bangsa, bahwa setiap warga bangsa Indonesia raya ini harus menganut agama sesuai kepercayaannya masing-masing, sehingga tidak ada warga bangsa dalam negara kesatuan republik Indonesia ini yang tidak beragama. Bila ada yang tidak beragama berarti bukan warga bangsa Indonesia raya. Demikian juga bila paham-paham yang bertentangan dengan nilai-nilai agama maupun nilai-nilai Pancasila maka orang yang berpaham seperti itu bukanlah warga bangsa Indoensia raya, walaupun mereka setiap saat teriak NKRI harga mati.

Penanda seseorang merupakan bagian dari warga bangsa Indonesia raya, bukan ditandai dengan jargon-jargon verbal, NRKI harga mati, Pancasila harga mati. Tetapi, penandanya adalah nilai-nilai yang hidup dalam wilayah kesatuan republik Indoensia, nilai Agama, nilai-nilai budaya, dan nilai-nilai Pancasila.

Ketiganya itulah yang seharusnya menjadi pegangan kita untuk hadir di wilayah NKRI. Termasuk tentu dalam pengambilan kebijakan oleh pengambil kebijakan, para pembuat undang-undang, yaitu pemerintah dan DPR, pembuat perda oleh pemerintah daerah dan DPRD. Undang-undang, peraturan daerah, dan berbagai kebijakan yang diambil tidak boleh keluar dari karakteristik kesemestaan atau frame berbangsa dan bernegara.

Misalnya ketika ada pihak yang ingin agar LGBT dilegalkan di Indoensia dengan alasan hak asasi manusia, sesungguhnya ini tidak  perlu menjadi perdebatan panjang dengan berbagai dalih, dalih hak asasi misalnya. Mari kita kembali kepada penanda kita berbangsa, apakah LGBT sesuai nilai-nilai agama, apakah sesuai dengan nilai-nilai budaya atau apakah sesuai dengan nilai-nilai Pancasila yang sila pertamanya Ketuhanan Yang maha Esa. Bila tidak, maka tidak perlu lagi menjadi perdebatan.

Hal lain yang terkait dengan konsep kesemestaan ini dalam kehidupan keseharian, mengajarkan kita untuk berdemokrasi secara sehat. Dalam berdemokrasi, kebebasan berpendapat menjadi hal mutlak adanya dan dijamin dalam duania demokrasi, hanya saja kebebasan tersebut bukanlah bebas sebebas-bebasnya. Ada frame yang menjadi penanda, bahwa kita berdemokrasi dalam alam Indonesia Raya. Argumen-argumen yang jadi landasan kita tidak bolah keluar dari frame yang membatasi kita dalam kesemestaan, bahwa dalam kesemstaan tersebut ada kelompok-kelompok keanggotaan tertentu, tetapi semua masih dalam frame karakteristik Indonesia Raya.

Sehingga dengan demikian bila kita memahami konteks keberadaan kita dalam berbangsa dan bernegara, di wilayah NKRI ini, harus tidak perlu ada produk perundang-undangan, peraturan pemerintah,  dan berbagai pengambilan kebijakan yang keluar dari frame kita berbangsa bernegara.

Matematika bukanlah ilmu pasti, bukan ilmu yang terasing dari masyarakat. Matematika hidup dalam alam budaya masyarakat tertentu, dan kebenarannya berdasar pada kesepakatan-kesepakatan.

 

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner PMB UMSI

Leave a Reply