(Sekedar Celoteh Reflektif dari Seorang Alumni IPM)
Oleh : Syahrul Al-Farabi
Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) sudah jadi ‘barang antik’. Dia mungkin ‘mahal’ namun tak lagi menarik. Beberapa orang pelajar, berlomba jadi pemimpin, namun hanya punya satu mimpi ; politisi.
Darinya, segala jejaring dan legitimasi kuasa plus agama bisa diganti dengan satu langkah strategis pasti. Ideologi Muhammadiyah hanya jadi mantra yang diucapkan saat training ataupun pada sesi pencalonan pemimpin. Oleh sebab itu, IPM kini jadi organisasi rapuh yang banyak disusupi kepentingan praktis.
Seorang teman saya, dengan kekecewaan dan kesedihan yang tumpah, akhirnya datang ke saya dan berdiskusi tentang masa depan organisasi ini. Jadilah kami ngobrol di warung kopi. Dari hasil obrolan itulah kami akhirnya merumuskan tulisan ini.
Saya tanya teman saya, kenapa harus dituliskan? Dia bilang, ini penting untuk jadi bahan renungan dan refleksi ikatan. Semacam catatan harian untuk kita jadikan cermin gerakan. Beginilah bentuk lain dari pengkhidmatan, kata teman saya yang kini tukang cendol.
Dari hasil mengobrol itulah, 5 hipotesis ini lahir. Mari menyimak sembari menghirup kopi ; Hal pertama adalah minimnya basis Intelektual di IPM. Intelektualisme adalah budaya yang harusnya mengakar dalam dunia pelajar.
Tanpa Budaya Intelektual, ide ataupun gagasan yang sifatnya progresif yang membawa perubahan akan susah terealisasi. Para pelajar akan miskin gagasan. Pada akhirnya, mereka akan jalan ditempat dan kadang memilih kekosongan ataupun kehampaan pikiran.
IPM adalah Ortom penting dalam Muhammadiyah. Dalam kerangka keagamaan inilah IPM, selain sebagai seorang Intelektual, juga harusnya memposisikan diri sebagai seorang kader ummat.
Seperti Ali Syariati memposisikan sikap Intelektualnya, dia bilang bahwa seorang cendekiawan Muslim merupakan seorang intelektual yang memiliki ideologi, tanpa ideologi, cendekiawan kehilangan identitasnya sebagai seorang cendekiawan di tengah umat Muslim.
Tapi dalam kasus IPM saat ini, ideologi hanya jadi ‘Atribut’ pelengkap. Beberapa kader tak begitu serius mengkaji, apalagi menjadikannya sebagai jalan hidup, apalagi jalan dakwah.
Basis Intelektual ini bisa dideteksi lewat seberapa intens mereka melakukan diskusi rutin yang ketat secara konsepsi. Kultur diskusi inilah yang bisa dijadikan ‘alat baca’ sejauh mana bacaan dan pemikiran kader berdialektika. Di beberapa daerah, kultur ini mungkin telah mati suri.
Hal kedua yang dijadikan alat ukur kegagalan di IPM adalah minimnya kegiatan yang mewadahi kreativitas dan hasrat berkesenian. Hampir tak ada modus sosial baru yang mampu mewadahi kebutuhan sosial pelajar dalam menyesuaikan diri dengan struktur dan realitas sosial saat ini.
Khususnya di Wilayah Sulawesi Selatan, hampir tak ada aksi nyata yang dapat memberi ruang bagi bertumbuh kembangnya kreativitas dan berkesenian bagi pelajar.
Semacam kegiatan yang mampu menggerakkan dan mewadahi dunia populis para siswa dalam menciptakan inovasi yang Berkemajuan dan punya kontribusi yang nyata dalam dunia kesenian.
Di beberapa daerah, anak IPM justru disibukkan dengan pengajian tanpa makna. Alih-alih menumbuhkan kreativitas dan sikap sosial, yang ada justru konservatisme yang kian pesat di kalangan Pelajar.
Hal ini juga ditambah dengan tak adanya ruang berkesenian dalam tubuh IPM sendiri. Ruang ini justru subur di sekolah-sekolah non Muhammadiyah. Para pelajar diambil alih dan dikelola oleh komunitas-komunitas sanggar seni yang tumbuh apa adanya. Pada tahap ini, IPM telah gagal membaca kecenderungan dan kebutuhan para pelajar. Mereka kalah bersaing, bahkan tak mampu menghibur diri sendiri.
Hal ketiga adalah dilupakannya tradisi Literasi. Tradisi literasi, dilembaga sosial manapun, adalah aktivitas yang menjadi jantung aktivisme gerakan. Membaca adalah kegiatan yang menjadi sumber nutrisi bagi nalar. Semacam makanan bagi otak. Dengannya impuls-impuls syaraf bekerja.
Tanpa aktivitas yang satu ini, syaraf akan beku seperti salju beku di kutub utara. Selain itu, hilangnya tradisi literasi ini, akan menjadikan pelajar tumbuh menjadi manusia yang buta pada dunia aksara. Apalagi di dunia informasi seperti sekarang.Kita yang tak pandai-pandai menganalisis aksara, akan tenggelam dan terbodohi secara tak sadar.
Bukankah pondasi awal sebuah peradaban juga dibangun di atas tradisi ini. Bagaimana segala aktivitas dan laku hidup dalam sejarah didasarkan pada sebuah tradisi literasi yang mengakar kuat. Tengoklah para pemimpin politik dan intelektual bangsa ini, bagaimana proses kecendikiawanan memberikan perubahan penting hingga sekarang.
Soalnya bahaya bro, jika ‘perut’ yang dijadikan tolak ukur dalam segala aktivitas hidup. Hilangnya tradisi ini secara jelas bisa dilihat dari tidak adanya kegiatan-kegiatan di tingkatan ranting dan cabang.
Sejauh cuap-cuap yang beredar ataupun gosip-gosip liar yang saya dengar, hampir tak ada kegiatan yang menyoal buku ataupun segala aktivitas dunia tulis-menulis. Tak ada cinta yang tersisa dari buku dan pena. Menggelisahkan.
Ehem…Tunggu. saya hirup kopi dulu…
Baik. Hal keempat yang mungkin paling menarik adalah, tak ada lagi hal yang menarik di IPM selain ‘godaan’ seksi relasi politik senior dan amal usaha yang menjanjikan.
Hal ini mungkin adalah hal yang paling kentara dari sekian banyak kegagalan di IPM (keempat). Tak ada lagi yang menarik bagi pelajar untuk secara aktif (dan mungkin berdarah-darah) berproses di IPM selain orientasi ‘Politik’. Hal ini sepertinya lebih banyak menjanjikan keuntungan pragmatis dibandingkan hidup dengan segala idealisme yang menyesakkan.
Siapa sih yang mau bersusah payah mengawal ‘Jalan Dakwah’ Muhammadiyah tanpa keuntungan pragmatis? Justru hal yang paling mungkin didapatkan hanyalah pengasingan dari sikap mayoritas yang bermasa bodoh terhadap persyarikatan.
Tak ada yang keliru ketika kader lebih tergoda dalam dunia politik praktis dan segala embel-embel nya. Hanya saja, tanpa kematangan intelektual yang harusnya dibangun sejak dini, kita Hannya akan jadi politisi abal-abal tanpa strategi. Bukankah politik itu kejam dan menjanjikan segala hal glamor, bro? Disana idealisme dan iman kadang tergadai tanpa ampun.
Hal terakhir (kelima) yang mungkin juga penting dari semuanya adalah tidak adanya bangunan epistemologi yang jelas pada IPM sekarang. Menurut teman saya yang pernah membaca materi Muktamar di Samarinda, materi yang disajikan adalah hasil copy paste saja.
Mukadimah yang berada di awal pun adalah hasil curhatan para pengurusnya. Konsepsi yang dibangun saling tumpah tindih antara ontologi, epistem, dan aksiolgi.
Tak ada lagi teori-teori seksi yang ramai dibicarakan. Kalau dulu, tokoh-tokoh seperti Hegel, Marx, Anthony Gramcy, hingga tokoh Mazhab Kritis masih jadi pembahasan yang hangat.
Seperti pelajar yang lagi kasmaran, begitulah mereka tergila-gila pada segala hal ikhwal filsafat. Sehingga bisa dipastikan, isi pikiran mereka jadi senjata Advokasi dan pisau bedah realitas.
Kalau sekarang beda, yang jadi tren itu adalah tokoh-tokoh sekaliber Mario Teguh ataupun Habib-Habib lokal yang menyeru fanatisme. MasyaAllah.
Kami hirup kopi, sambil dalam hati mengucap ‘Selamat Musywil Bagi Ikatan Pelajar Muhammadiyah Sulawesi Selatan’.
Nuun.
(Baca juga: Refleksi Musywil XXI IPM Sulsel)