Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
BeritaLiterasiNasionalOpiniPolitik dan Hukum

Konsolidasi Demokrasi Era Millenial

×

Konsolidasi Demokrasi Era Millenial

Share this article

Oleh : Muh. Asratillah Senge

 

Membaca Democracy Index 2017

Tahun 2017 yang lalu The Economist Newspaper melalui divisi riset dan analisisnya, mempublikasikan tulisan yang bertajuk Democracy Index 2017 ; Free Speech Under Attack. Tulisan tersebut adalah hasil analisis riset soal tingkat kematangan demokrasi dari 167 negara. DI tulisan tersebut dijelaskan bahwa dari 167 negara yang ada lalu dikelompokkan menjadi empat kategori utama yaitu kategori Full Democracies yang terdiri dari 19 negara, kategori Flawed Democracies (demokrasi cacat) yang terdiri dari 57 negara, Hybrid Democracies (campuran antara demokrasi dan authoritarian system) yang terdiri dari 39 negara, dan kategori Authoritarian Regime yang terdiri dari 52 negara.

Negara-negara Full Democracies adalah negara-negara yang tidak hanya menghormati kebebasan politik dan kebebasan sipil yang mendasar, tetapi juga didukung oleh budaya politik yang kondusif untuk tumbuh kembangnya demokrasi. Fungsi pemerintahan cukup memuaskan, peran media cukup independen begitupun dengan lemabaga-lembaga yudisialnya. Ditunjang oleh berjalannya sistem check and balances dalam pemerintahan, negara-negara yang masuk dalam kategori ini adalah Norwegia, Iceland dan Swedia dll. Negara-negara Flawed Democracies adalah negara-negara yang memiliki sistem pemilihan yang bebas dan adil, tetapi ada cacat dalam hal kebebasan dan independensi media, tata kelola pemerintahan yang belum optimal, tingkat partisipasi politik yang rendah dan budaya politik yang terbelakang. yang masuk dalam kategori ini (Flawed Democracies) adalah Korea Selatan, Amerika Serikat dan Indonesia dll.

Negara-negara Hybrid Regime adalah negara-negara yang memiliki penyimpangan substansial dalam sistem kepemiluan mereka, seringkali melakukan intimidasi terhadap kandidat atau partai oposisi, partisipasi politik sangat rendah, budaya politik demokratis yang hampir tidak ada, tidak adanya penegakan hukum, korupsi merajalela dan tekanan terhadap kebebasan media, yang masuk dalam kategori ini adalah Pakistan, Palstinda, Thailand dll. Sedangkan negara-negara Authoritarian Regime adalah negara-negara dimana pluralisme politik hampir tidak ada, kediktatoran berlangsung, lembaga formal demokrasi hampir tidak ada, pemilu yang bebas hampir tidak ada, kebebasan politik dan sipil dikangkangi dan media biasanya dikendalikan penuh oleh penguasa, yang masuk dalam katgroi ini adalah Iran, Korea Utara, Myanmar dll.

Tulisan tersebut menjelaskan bahwa ada lima parameter yang digunakan dalam menyusun daftar indeks demokrasi 2017 tersebut. Pertama adalah parameter proses elektoral dan pluralisme, paramater ini berkaitan dengan sejauh mana suksesi kepemimpinan politik berjalan se- free dan se-fair mungkin, apakah semua warga yang telah memiliki hak pilih telah terpenuhi hak-haknya (baik secara administrasi dan politik) ?, sejauh mana warga negara dalam “memberikan” suaranya aman dari segala bentuk ancaman (significant threats) baik dari pihak negara (state) ataupun oknum bukan negara (non state), sejauh mana hukum yang berlaku memberikan jaminan peluang yang sama bagi semua pihak yang berkompetisi untuk melakukan kampanye, sejauh mana prospek partai-partai oposisi dan sejauh mana kebebasan warga negara bebas mendirikan organisasi politik maupun non politik.

Kedua adalah parameter yang berkaitan dengan kebebasan sipil, sejauh mana kebebasan berpendapat, berbicara, menyampaikan gagasan di hadapan publik dijamin oleh negara. Parameter ini juga berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan, sejauh mana kebebasan warga dalam mengekspresikan dirinya melalui media massa, media online ataupun atribut-atribut konvensional ?. Seberapa kuat liputan-liputan media ? Apakah media menyediakan ruang bagi diskusi-diskusi dari beragam kalangan ?, Sejauh mana berita-berita yang diproduksi media bisa diterima bagi akal sehat ?, apakah warga negara memiliki posisi yang egaliter di hadapan hukum ? Sejauh mana derajat kebebasan dalam mengekspresikan keber-agama-an di ruang publik ?, bagaimana persepsi warga negara soal hak-hak asasi manusia ? dan sejauh mana HAM dilindungi.

Ketiga adalah parameter yang bersangkut paut dengan partisipasi politik, yang dimaksud dengan dengan partisipasi di sini adalah sejauh mana warga menggunakan hak pilihnya secara prosedural dan sejauh mana warga bisa mengakses kebijakan-kebijakan publik yang ada. Bagaimana tingkat partisipasi politik perempuan ? Sejauh mana tingkat keterwakilan perempuan di parlemen ? Apakah kelompok-kelompok minoritas bebas dalam menggunakan hak-hak politiknya ? Sejauh mana warga negara menganggap dirinya sebagai bagian dari partai politik tertentu ? Sejauh mana warga menggunakan “demonstrasi” sebagai sarana menyampaikan aspirasi-aspirasinya ? Sejauh mana warga negara tertarik mengikuti informasi-informasi politik di media ? dan sampai sejauh mana keseriusan pihak berwenang dalam mempromosikan tentang urgensi partisipasi politik.

Keempat adalah parameter yang berkaitan dengan fungsi pemerintahan. Parameter ini ditentukan oleh pertenyaan-pertanyaan ?, sejauh mana legislatif dan eksekutif yang terpilih, bebas dan representatif dalam membuat/menjalankan kebijakan publik ? seoptimal apa proses check and balances dalam proses pelaksanaan kewenangan pemerintah ? Sejauh mana kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tidak terpengaruh oleh organisasi dan kekuasaan asing ? Apakah ada kelompok ekonomi, keagamaan atau yang lainnya, yang memiliki kekuatan/kekuasaan yang sejajar dengan institusi pemerintahan ? Apakah kewenangan pemerintahan merata ke seluruh wilayah negara ? Sejauh mana publik mempercayai pemerintahannya ? seberapa massif korupsi yang terjadi ? dan pertanyaan-pertanyaan lainnya.

Kelima adalah parameter budaya politik demokratis. Sejauh mana publik mendukung demokrasi ? Sejauh mana tingkat kepercayaan publik tentang efektifnya pemilihan yang demokratis dapat menghasilkan pemimpin yang kuat ?, Sejauh mana publik yang berstuju jika pihak militer yang mengambil alih kekuasaan negara ? Sejauh mana tingkat keinginan publik tentang pentingnya teknokrat yang mengendalikan kekuasaan negara ? Sejauh mana persepsi publik soal hubungan antara demokrasi dengan tingkat kesejahteraan ekonomi dan beberapa pertanyaan lainnya.

Lalu bagaimana posisi Indonesia  ? dalam publikasi tersebut Indonesia berada pada ranking ke 68. Indonesia memiliki rangking di atas Singapura (69) dan Thailand (107), tetapi berada di bawah Malaysia (59) dan Filipina (51). Yang mengherankan Indonesia kalah dari negara termuda di kawasan Asia Tenggara dalam hal ini Timor Leste yang berada pada peringkat 43. Kalau kita melihat dari parameter-parameter yang menjadi acuan penentuan Indeks Demokrasi 2017 oleh The Economist Newspaper, untuk paramater proses elektoral dan pluralisme Indonesia mendapatkan skor 6,92 (1 adalah skor terendah dan 10 adalah skor tertinggi), untuk parameter fungsi pemerintahan Indonesia mendapatkan skor 7,14 , untuk parameter partisipasi politik Indonesia mendapatkan skor 6,67, untuk parameter budaya politik mendapatkan skor 5,63 dan untuk parameter kebebasan sipil Indonesia memperoleh skor 5,59. Kita bisa melihat bahwa dari ke lima parameter tersebut skor terendah yang didapatkan Indonesia ada pada parameter kebebasan sipil dan budaya politik.

Dalam Democracy Index 2017 ; Free Speech Under Attack disebutkan bahwa Indonesia mengalami kemunduran dalam hal demokrasi, di tahun 2016 Indonesia berada pada rangking ke 48 lalu meluncur ke rangking 68 di tahun 2017. Hal ini disebabkan salah satunya oleh kebangkitan kecenderungan populisme agama-politik di Indonesia dan ini ditandai oleh boomingnya kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok di Jakarta. Kasus ahok tersebut sedikit banyaknya menarik isu agama ke dalam pentas politik praktis, dan semakin memojokkan posisi kelompok-kelompok minoritas dalam meniti karir politik.

Sehubungan dengan itu, kalau kita membaca publikasi Alvara Research Centre yang berjudul Memahami Millenial Indonesia (2016), maka kita bisa membaca kecenderungan Islamisme di kalangan muslim dari generasi millenial (yang lahir antara tahun 1981 sampai tahun 2000). Ini ditunjukkan dari sekitar 18 % dari semua responden yang ada bersetuju terhadap bentuk negara selain NKRI dalam hal ini khilafah (menunjukk pada bentuk pemerintahan yang berefernsi sepenuhnya pada ajaran kelompok agama tertentu). Angka 18 % ini cukup signifikan jika kita mempertimbangkan bonus demografi yang dialami oleh Indonesia, jika potensi penduduk di Indonesia yang berumur antara 18-37 tahun adalah 70 juta jiwa, maka ada sekitar 12 juta lebih penduduk yang bersetuju terhadap khilafah dan ini hampir sama dengan jumlah penduduk Kota Jakarta.

Meniti Masa Depan Demokrasi Indonesia

Barangkali kita memerlukan semacam “garis Skenario” bagi masa depan kondolidasi demokrasi Indonesia, dalam hal ini kita mencoba meminjam garis skenario yang pernah dibuat oleh Andreas Schedler (2011) dan Jeff Haynes (2011), skenario tersebut terdiri dari enam tangga yang bertingkat. Tangga pertama adalah tangga stateless, ini adalah tangga saat negara belum hadir dan tidak mungkin kita terapkan untuk Indonesia. Tangga kedua adalah tangga otoriter, walaupun rezim orde baru yang cukup absolut pernah berkuasa di Indonesia selama 32 tahun tapi lembaga pemilu masih hadir di Indonesia. Tangga ketiga adalah tangga Facade Democracy, inilah tangga yang dicapai oleh Indonesia di masa orde baru, karena di saat itu lembaga kepemiluan hadir tapi dikooptasi sedemikian rupa oleh rezim, sehingga hanya menjadi ritual sekaligus alat legitimasi kekuasaan belaka. Tangga keempat adalah tangga Formal Democracy, Indonesia kontemporer berada di posisi ini, hak-hak politik formal telah dijamin kebebasannya tapi masih belum optimal penjaminan akan hak-hak sipil.

Salah satu hal yang perlu dilakukan oleh Indonesia agar melampaui tangga Formal Democracy menuju dua tangga berikutnya dalam hal ini tangga Full Democracy dan Advance Democracy, adalah mengeliminir sebisa meungkin segala bentuk pengabaian hak ataupun kekerasan (fisik, psikis ataupun simbolik) terhadap kelompok-kelompok minoritas. Apakah pengabaian/kekerasan dilakuakan oleh pihak negara (by commision) ataupun dikarenakan oleh pengabaian oleh pihak negara (by ommision).

Tapi soal demokrasi bukan hanya soal pemilihan umum saja, ada beberapa variabel yang perlu diperhatikan oleh semua pihak jika ingin menciptakan demokrasi yang terkonsolidasi di Indonesia. Variabel pertama adalah tentang Pertumbuhan ekonomi dan tingkat kesejahteraan ekonomi, karena penelitian Adam Przeworski, Michael E. Alvarez, Jose Antonio Cheibub, dan Fernando Limongi menunjukkan adanya hubungan pendapatan per kapita dengan lamanya demokrasi dapat bertahan. Demokrasi akan cukup lama bertahan (minimal 100 tahun) jika pendapatan perkapita berada pada angka 4000 sampai 6000 dollar per tahun.

Variabel kedua adalah soal pemerataan pembangunan. Karena pertumbuhan yang tidak diiringi oleh pemerataan hasilnya tak lain dan tak bukan adalah “kesenjangan”. Perlu ada upaya keras untuk menutupi kesenjangan antara wilayah timur dan Barat Indonesia, antara wilayah urban dan pedesaan. Variabel ketiga adalah pelembagaan masyarakat ekonomi (Economic Society), perlu ada institusi, norma dan regulasi yang bisa memediasi antara negara dan pasar secara bebas dan adil. Perlu ada upaya dari negara untuk menghalangi monopoli dan akumulasi sepihak sumber daya ekonomi yang ada.

Variabel keempat terbentuknya masyarakat sipil yang hidup dan bebas. Hal ini sebenarnya bisa dilihat dari partisipasi sukarela masyarakat dalam mengorganisasi diri, dan ini penting dalam rangka mengawasi, meberikan masukan, mengkritik jalannya kekuasaan. Hal ini juga sangat ditentukan oleh optimalnya kelas menengah indonesia dalam mengakses informasi, mengolah dan memanfaatkan sebijak mungkin segala bentuk informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik.

Dan yang terakhir (yang sempat dan mampu disebutkan oleh penulis) adalah variabel terbentuknya masyarakat politik yang relatif otonom. Ada beberapa pekerjaan rumah yang berkaitan dengan hal ini, misalnya kita mesti mentransformasi budaya parpol, dari budaya “figur-sentris” ke budaya “platform ideologi-sentris”. Kita tidak bisa pungkiri bahwa pengidentifikasian publik terhadap partai saat ini adalah pengidntifikasian ke elitnya, bukan pengidentifikasian ke platform atau bentuk usulan kebijakan. Selain itu parpol harus bisa meretas wabah korupsi yang menjangkiti para elitnya, kenapa demikian ? karena ini akan berpengaruh terhadap persepsi publik pada prestasi parpol, semakin banyak elit parpol yang terkena kasus korupsi, maka semakin lemah pula identifikasi masyarakat pada partai politik.

 

Daftar Bacaan

Demokrasi, Robert Dahl (Jakarta,1999)

Models of Democracy, Akbar Tanjung Institute (Jakarta, 2006)

Menyongsong Indonesia 2014-2019, Badan Intelejen Nasional (Jakarta, 2013)

Indonesia dan Nasionalisme Kewargaan, Muh. Asratillah S (Makassar, 2015)

Memahami Millenial Indonesia, Alvara Researc Centre (Jakarta, 2016)

Democracy Index 2017; Free Speech Under Attack, The Economist Newspaper (London, 2017)

 

*) Essay ini disampaikan pada FGD PIPIM (Pelatihan Intensif Pengembangan Intelektual Mahasiswa) yang dilaksanakan oleh PUKISTEK UINAM pada tanggal 1 Februari 2018 di Kampus II UIN Alauddin Makassar.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply