Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
BeritaLiterasiMuhammadiyahNasionalOpini

Pendekatan Irfan dan Muhammadiyah

×

Pendekatan Irfan dan Muhammadiyah

Share this article
                                                   Sumber : Internet

Oleh : Muh. Asratillah Senge

 

 

Tiga pendekatan dalam Ijtihad Muhammadiyah

Dalam naskah yang berjudul Manhaj Tarjih Muhammadiyah (2018) yang ditulis oleh Prof. Dr. Syamsul Anwar, M.A disebutkan bahwa dalam melakukan proses ijtihadnya, Muhammadiyah menggunakan tiga pendekatan yakni pendekatan Bayani, Burhani dan Irfani. Yang dimaksud dengan pendekatan bayani dalam naskah tersebut adalah, pendekatan yang menitikberatkan diri pada teks-teks agama (nash-nash), dalam hal ini adalah Al-Qur’an dan Assunnah, pendekatan ini dominan penggunaannya pada saat menelaah perihal ibadah-ibadah mahdah, karena ada asas hukum syari’ah yang berlaku di sini yakni “ibadah itu pada asasnya tidak dapat dilaksanakan kecuali yang disyariatkan”.

Pendakatan burhani adalah pendekatan yang menitikberatkan pada peran rasio dan pendayagunaan segala bentuk perangkat teoritis maupun penemuan-penemuan dari ilmu pengetahuan yang berkembang. Sehingga ijtihad di dalam Muhammadiyah tidak hanya menggunakan proposisi-proposisi ushul fiqh, fiqh, ilmu hadits, tafsir dan beberapa perangkat keilmuan islam tradisional lainnya, Ijtihad Muhammadiyah juga mendayagukana penemuan-penemuan dalam ilmu kesehatan, ilmu ekonomi, astronomi, filsafat, lingusitik, sosiologi, biologi dll. Dengan kata lain pendekatan burhani membuka ruang bagi spekulasi filosofis yang rasional, refleksi kritis bahkan verifikasi empiris untuk turut memainkan peran penting.

Sedangkan pendekatan Irfani dalam Manhaj Tarjih Muhammadiyah (2018) disebut sebagai peningkatan kepekaan nurani dan ketajaman intuisi batin (al-dzauq) melalui ikhtiar pembersihan jiwa (tazkiyatunnafs). Ketiga pendekatan tersebut bagi Muhammadiyah adalah hal yang saling melengkapi dan tidak ada yang lebih baik dibanding yang lainnya.

Pendekatan Irfani dan Pengalaman Mistis

Bagi saya, ketiga pendekatan ini perlu elaborasi lebih lanjut. Tapi yang ingin disorot oleh esai sederhana ini adalah soal pendekatan irfani. Karena bagi saya, masih minim naskah atau tulisan dari dalam internal Muhammadiyah yang mengelaborasi pendekatan ini, dan mungkin ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, etos purifikasi dalam Muhammadiyah meniscayakan dia untuk mencurigai segala bentuk modus pengetahuan atau praktik agama yang cenderung “mitis” atau “klenik”, apalagi tasawwuf yang merupaakan bagian dari pendekatan irfani banyak mewujudkan diri dalam bentuk kelompok-kelompok “tirakat agama” yang terkadang dianggap tak memiliki pendasaran dalam teks-teks primer Islam. Kedua , etos dinamisasi dalam Muhammdiyah cenderung menaruh curiga kepada segala bentuk praktik keagamaan yang justru “memperlambat” kemajuan masyarakat, karena memang dalam sejarah seringkali lahir kelompok tirakat – terutama yang pseudo-tasawwuf – yang hanya memalingkan wajah manusia ke “dunia sana” sambil memupuk rasa “berputus asa” terhadap “dunia sini”. Walaupun kedua alasan kecurigaan tersebut cukup “bermanfaat” dalam beberapa hal, tetapi kedua sebab tersebut harus dilihat sebagai sesuatu yang sementara saja, yang harus dilampaui.

Perihal yang sangat penting dalam tradisi irfan adalah perihal pengalaman mistis. Istilah mistis tidak sepenuhnya berasosiasi dengan yang sering disebut fenomena “paranormal” yang banyak bertebaran di sinetron-sinetron dalam negeri. Istilah mistis (mystical), sebagaimana kata misteri (mysteri) berasal dari kata Yunani, myein, yang bisa diartikan sebagai “menutup”, khususnya menutup mata dan bibir, karena dalam pengalaman mistis sang mistikus sedang berhadapan dengan pengalaman yang sulit diperikan dengan kata-kata.

Tetapi itu tidak berarti pengalaman mistis luput sama sekali dari diskusi-diskusi rasional. Beberapa diskursus filsafat modern cenderung memahami pengalaman mistis sebagai semacam keadaan-keadaan atau modus-modus kesadaran, yang diriwayatkan (dilaporkan) terdapat di dalam (bahkan di luar) semua tradisi keimanan. Pengalaman mistis seringkali dikarakteristikkan sebagai “kesadaran tanpa kandungan analitis”, artinya pengalaman mistis nilai kebenarannya tak dinilai dari apakah dia ditemukan (context of discovery) secara empirik atau tidak, tetapi bisa dibuktikan kebenarannya melalui apakah pengalaman mistis lulus justifikasi atau tidak ? (context of justification). Dalam sejarah sains banyak kisah yang menunjukkan bahwa beberapa teori besar diawali dengan pengalaman yang tidak ilmiah, contohnya saat Newton menemukan hukum gravitasi, saat Einstein menemukan teori relativitas umum, saat Kekule menemukan rumus kimia benzene melalui mimpinya. Selain itu para filosof juga seringkali mengkarakteristikkan pengalaman mistis sebagai “pengalaman kebersatuan mutlak”, “kebersatuan dengan yang transeden” atau “kesadaran langsung akan kehadiran Tuhan”

William James, dalam karyanya The Varieties of Religius Experience (1902), melalui pengamatan-pengamatan psikologinya, menyimpulkan bahwa dari semua pengalaman mistis yang ada- di tempat, waktu, orang dan tradisi keimanan manapun- bisa diidentifikasi empat tanda utama. Keempat tanda itu adalah “ketakterperian” (ineffability), kualitas noetik, transiensi dan pasivitas. Dari keempat tersebut yang paling penting menurut adalah kualitas noetik dalam artian kesan yang mengalami “pengalaman mistis”. Williasm S Stace menyebutnya dengan kesadaran ekstrovertif dan kesadaran introvertif. Kesadaran ekstrovertif adalah kesadaran yang mendapati dirinya bertransfigurasi menjadi suatu kesatuan dengan segala yang ada. Sedangkan kesadaran introvertif adalah kesadaran yang mendapati dirinya dan segala sesuatu melebur dalam Yang Satu.

Muhammadiyah, Nalar dan Irfan

Jika Muhammadiyah mengintrodusir pendekatan irfani dalam manhajnya, maka itu berarti Muhammadiyah mengaffirmasi akan adanya pengalaman mistis. Cuman yang menjadi soal, ada banyak jalan untuk mencapai pengalaman mistik. Lalu adakah jalan yang khas Muhammadiyah ? lalu mungkinkah ada semacam pengalaman mistis yang khas Muhammdiyah ?, menurut saya pertanyaan ini menarik dan menantang bagi saya.

Jikapun ada, maka Muhammadiyah perlu membuka dirinya terhadap pengalaman mistis melalui jalan yang searah dengan karakter gerakannya. Jika Ideologi Muhammadiyah adalah Islam Berkemajuan maka, jalan mistik atau jalan pengetahuan irfan yang perlu diretas oleh Muhammadiyah adalah jalan mistik yang berkemajuan. Kita ketahui bahwa Ideologi Islam berkemajuan memiliki dua cabang dasar intensi. Pertama adalah purifikasi, purifikasi seringkali didentikkan dengan pemurnian akidah, tapi saya mengusulkan bahwa purifikasi disini diartikan sebagai ikhtiar untuk menggapai semacam intisari (noetic nucleus) dari iman Islam dengan dua tambahan “kesadaran”, intensi purufikasi harus disertai kesadaran bahwa intisari iman adalah sesuatu yang mistis, yang seringkali tak bisa diperikan secara diskursif, dan autentik dan hanya autentik dalam konteks penghayatan subjektif dari masing-masing individu yang beriman. Saya bersepakat jika Muhammadiyah mengajak warganya untuk beriman tanpa disertai dengan kebodohan dan taqlid buta, tetapi tetap harus care dan mau berdialog dengan rumusan iman yang berbeda darinya. Dan saya rasa hal ini sejalan dengan wawasan agama Muhammadiyah dalam Manhaj Tarjih Muhammadiyah (2018) yang mengakui bahwa salah satu definisi iman adalah “pengalaman imani”.

Intensi purifikasi juga harus disertai kesadaran bahwa, manusia yang beriman adalah manusia yang menyejarah, karena manusia adalah makhlukh yang menyejarah maka “penafsiran” adalah sesuatu yang built in dalam keberadaan manusia. Intensi purifikasi juga berarti terbukanya Muhammadiyah dalam berupa ragam kemungkinan kekayaan tafsir terhadap rumusan iman. Tafsir yang saya maksud di sini bukan sekedar teks yang sifatnya diskursif, tetapi juga tafsir yang terjewantahkan dalam bentuk simbolisme, arsitektur, kaligrafi, musik, lukisan, pahatan, syair dan sebagainya, sehingga intensi purifikasi juga berarti “peng-indah-an” bathin, laku dan karya kaum beriman.

Kedua adalah intensi dinamisasi, sebagai gerakan pencerahan maka dinamisasi adalah keniscayaan bagi Muhammadiyah. Muhammadiyah jika bersetia terhadap intensi ini sebaiknya mengenyampingkan (bukan mengekslusi) segala bentuk rumusan spiritualitas yang membuat kaum beriman “malas” dan “menolak” untuk berkarya di dunia ini. Muhammadiyah juga tidak mungkin menerima segala bentuk rumusan iman-spiritualitas yang ekslusif yang gampang memandang rendah yang berbeda.

Bagi saya pendekatan irfan cukup penting dibudidayakan Muhammadiyah di era millenial saat ini, saat semua bidang kehidupan memasuki tahap digitalisasi, di mana kecepatan dan percepatan menjadi kredo zaman. Dinamisasi Muhammadiyah bagi saya, mempunyai dua dimensi yaitu kebermanfaatan (usefulness) dan kebermaknaan (meaningfull), kebermanfaatan barangkali bisa dukur dengan efektivitas dan efisiensi kinerja amal-amal usaha (sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit dll.), tetapi jika dinamisasi hanya diukur dengan eketivitas dan efisiensi maka dinamisasi tak ada bedanya dengan buldoser modernitas, maka kita mutlak membutuhkan kebermaknaan dan pendekatan Irfan punya peran besar dalam hal itu.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply