Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiMuhammadiyahNasionalOpini

Perihal Islam Progresif

×

Perihal Islam Progresif

Share this article
Sumber : Internet

(Prawacana Deklarasi dan Diskusi Publik JIMM Palopo)

Oleh : Muh. Asratillah Senge

Islam sebagai Obor

Tulisan ini bukanlah ditujukan untuk mencapai target akademik tertentu. Tulisan ini bisa dikatakan semacam refleksi pendahuluan nan sederhana tentang tema yang Insya Allah akan turut saya perbincangkan bersama kawan-kawan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) Kota Palopo, perbincangan tersebut akan diramu dalam bentuk diskusi publik dengan redaksi tema Masa Depan Islam Progresif.

Perkara awalnya sebenarnya cukup rumit, walaupun sederhana saat diucapkan, yaitu bagaimana mengkompatibelkan antara pesan-pesan keagamaan dari Islam yang normatif dengan derap langkah sejarah yang begitu dinamis bahkan dipenuhi dengan gejolak-gejolak, maupun lompatan-lompatan. Seperti yang seringkali ditegaskan oleh Prof. Dr. Amin Abdullah walaupun sumber ajaran Islam dalam hal ini adalah teks Qur’an dan Sunnah sudah dianggap final, tetapi pemikiran Islam tak kunjung berhenti, terus berkembang dan berusaha mengantisipasi perkembangan zaman. Jika Islam sebagai al-din bersifat absolut-normatif, maka lain halnya dengan pemikiran islam atau fikr al-din adalah sesuatu yang sementara alias menyejarah.

Tapi kenyataan memang selalu jauh lebih rumit dibanding konsepsi-konsepsi tentang kenyataan itu sendiri. Kompatibel tidaknya Islam terhadap dinamika sejarah , juga sangat dipengaruhi oleh cara pandang kaum muslim terhadap sumber ajarannya, ada yang melihat sumber ajaran sebagai “benteng”, dan ada yang melihatnya sebagai “obor”. Bagi yang melihatnya sebagai “benteng” maka menganggap sumber ajaran agama dan segala bentuk tafsir terhadapnya (harus diakui bahwa teks-teks tafsir terhadap sumber ajaran agama, jauh lebih banyak jumlahnya dibanding teks sumber ajaran agama itu sendiri) semacam dinding batu tinggi yang berdiri kokoh, yang bersikap acuh tak acuh terhadap segala bentuk perubahan di sekitarnya, dimana penduduk yang bermukim di dalamnya tidak memiliki keberanian untuk keluar dari benteng, bahkan seringkali mencurigai bagi siapa saja yang berkeinginan keluar dari benteng.

Lalu yang menganggapnya sebagai “obor”, memperlakukan sumber ajaran (teks primer) sebagai penerang, cahaya ataupun penunjuk (hudan) dalam sebuah perjalanan. Sehingga sumber ajaran agama bukanlah sesuatu yang bertolak belakang dengan kedinamisan, tidak dianggap sebagai sesuatu yang beroposisi dengan pengembaraan dan pengenalan terhadap hal-hal baru. Melihat Islam sebagai obor berarti mengangngap bahwa Islam bukanlah agama yang mengutuk kegelisahaan (anxiety) eksistensial manusia, bukanlah seperangkat ajaran moral yang memasung kemerdekaan manusia, bukanlah sebundel norma perilaku yang membenci kebebasan manusia, tapi agama yang menawarkan diri sebagai penguat eksistensi (fitrah) manusia. Cara pandang yang melihat Islam sebagai “obor”, dinamai lain sebagai Islam Progresif.

Tantangan Zaman Terhadap Islam

Tak ada panah waktu yang mengarah ke belakang, tapi selalu mengerah kedepan, perubahan takkan terhindarkan, sebenci atau sesuka apapun kita terhadap perubahan itu. Begitu pula dengan Islam yang lahir dekitar 14 abad lebih yang silam, mau tidak mau akan berhadapan dengan segerombolan perubahan, dinamika bahkan lompatan-lompatan sejarah. Bahkan bukan sekedar perubahan-perubahan, tetapi juga kejutan-kejutan yang oleh Alvin Toffler sebut dengan istilah “future shock”, artinya kuantitas dan kualitas perubahan tidaklah bertambah secara linear tetapi eksponensial.

Prof. Dr. Amin Abdullah dalam Reaktualisasi Islam yang Berkemajuan, Agenda Strategi Muhammadiyah di tengah Gerakan Keagamaan Kontemporer (2011), mengatakan bahwa dalam 200 tahun terakhir ini ada beberapa perubahan-perubahan yang seidikit banyaknya memberikan kejutan (shock) terhadap para penganut agama khususnya kaum muslimin. Dimulai dari globalisasi, dimana begitu cepatnya arus perpindahan uang, barang dan manusia yang membawa konsekuensi ganda, di satu sisi memperluas cakrawala interaksi manusia tapi di satu sisi justru menstimulasi terjadinya kondensasi identitas-identitas primordial (agama, suku, etnik, ras). Perkembangan sains dan teknologi yang begitu cepat, penemuan-penemuan di bidang genetika memunculkan polemik sendiri di kalangan fuqaha, teknologi informasi yang semakin hari semakin canggih, yang membuka keran persoalan-persoalan moral baru mulai dari hoax, pornografi, penipuan melalui media digital, ujaran kebencian (hate speech), ataupun pemelintiran terhadap ketersinggungan (hate spin). Eksplorasi luar angkasa yang begitu maju, yang mau tidak mau merubah persepsi kita tentang ruang-waktu, serta pandangan mengenai posisi manusia di tengah-tengah alam semesta (cosmos). Belum lagi penemuan-penemuan arkeologis, migrasi penduduk dan pendidikan umum serta tingkat literasi yang semakin baik.

Perubahan-perubahan di atas akan membawa kaum beragama menghadapi beberapa hal, semisal bertambahnya kesadaran akan pentingnya harkat dan martabat manusia (human dignity) yang sedikit banyaknya mengugat semangat klaim kebenaran (truth claim) serta klaim keselamatan (salvation claim) yang ada hampir di semua agama. Belum lagi lahirnya negara-bangsa (nation state) yang berimplikasi bagi munculnya konsep kesetaraan di antara warga negara (citizenship equality), yang mana sedikit banyaknya mengikis prestise elit agama yang sebelumnya begitu kuat. Konsep kesataraan gender, yang juga turut mengugat tafsir patriarki terhadap agama selama ini. Bahkan perkembangan dalam studi etika lingkungan, membawa dampak pada gencarnya kritik terhadap pandangan para penganut agama monoteistik (Islam, Nasrani, Yahudi) yang masih begitu antroposentrik (menjadikan manusia sebagai pusat dalam moralitas), yang dianggap sebagai penyebab bagi terjadinya krisis-krisis lingkungan saat ini.

Agar pemikiran Islam dapat memiliki daya sahut terhadap perubahan-perubahan tersebut, maka dirasa perlu untuk mendekonstruksi apa yang oleh Sherman Jackson dalam Islamic Law (1993) sebut dengan istilah regime of taqlid. Yaitu semacam rezim habitus yang menjadikan taqlid (mengikuti pendapat tertentu tanpa penalaran) sebagai respon utama dan pertama, jika berhadapan dengan usaha untuk memahami sumber ajaran/hukum Islam. Padahal menurut Khaled Abou El Fadl dalam Speking in God’s Name : Islamic Law, Authority and Women (2001), hukum secara sosiologi haruslah bergerak seturut dengan perkembangan masyarakat. Peranti ushuli (epistemologi dan metodologis) yang sebenarnya membuka pada pembaruan hukum Islam harus tunduk patuh di bawah dominasi tradisi pemikiran tertentu.

Apa itu Islam Progresif ?

Terkadang ada yang begitu saja menyamakan antara Islam Progresif dan Islam Liberal. Padahal menurut Dr.Phil.H.M Nur Kholis Setiawan dalam Pemikiran Progresif dalam Kajian Al-Qur’an (2008), Islam Progresif merupakan kelanjutan sekaligus kontra terhadap Islam Liberal, atau menurut saya lebih tepat jika dikatan bahwa Islam Progresif merupakan pelampauan (aufhebung) terhadap Islam liberal. Menurut Nur Kholis, Islam Liberal hanya berfokus pada kritik internal terhadap trend pemahaman kaum muslimin terhadap agamanya, sedangkan kritik terhadap modernitas dan globalisasi seringkali luput darinya.

Ahmad Fuad Fanani dalam Menimbang Gagasan Islam Progresif (2004), menjelaskan bahwa Islam Progresif merupakan corak penafsiran Islam yang memperhantikan perkembangan konteks ruang-waktu, cara baca terhadap Islam yang ramah, segar, terbuka serta responsif terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan. Hal ini tentunya berbeda dengan corak keber-Islaman yang cenderung ekstrim, yang seringkali hanya menghadirkan produk pemikiran dari masa lampau (bahkan taqlid terhadapnya), lalu menutup diri terhadap inovasi-inovasi pemikiran yang baru.

Menurut Omid Safi dalam What is Progressive Islam (2005), Islam Progresif adalah metode ber-Islam yang memberikan titik tekan pada terciptanya keadilan sosial (social justice), kesetaraan gender (gender equality) dan pluralisme agama. Dan hal tersebut akan membawa konsekuensi bahwa seorang muslim yang progresif adalah, seorang muslim yang terlibat intens pada advokasi kaum termarginalkan, kelompok yang tertindas, kelompok yang terkena langsung dampak kerusakan lingkungan serta orang-orang yang “yatim” secara sosial politik.

Dan akhirnya, bagis saya ada dua kata kunci (keyword) , yang cukup menggambarkan etos dari Islam Progresif. Pertama, Islam Progresif adalah Islam yang “anti kemapanan”, apakah itu berupa kemapanan dalam tataran diskursus-pemikiran, ataupun kemapanan dalam konteks sosial-politik. Kedua, Islam Progresif adalah Islam yang mempromosikan perlunya “keterlibatan” dalam penegakan tata kehidupan yang adil,maju, bermakna dan sejahtera. Islam Progresif tidak hanya berkutat dengan wacana, tetapi yang terpenting adalah melakukan pembumian terhadap wacana.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner PMB UNIMEN

Leave a Reply