Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiNasionalOpini

Pikiran dan Sinema: Catatan Untuk Film G30S/PKI (2)

×

Pikiran dan Sinema: Catatan Untuk Film G30S/PKI (2)

Share this article

Oleh: Ermansyah R. Hindi*)

*) ASN pada BAPPEDA Kabupaten Jeneponto/ Sekretaris PD Muhammadiyah Jeneponto

Sesuatu yang tidak terpikirkan secara otomatis meningkatkan energi ganda; ia muncul untuk menjalin pergerakan citra berlangsung dalam keseluruhan, tidak terpisahkan dengan perpaduan yang istimewa antara “sinema intelektual” dan “sinema libidinal”. Kedua tema tersebut dapat berlangsung secara unik tanpa melalui pikiran bebas dan bujukan berlebihan. Namun, perpaduan kedua tema sinema tersebut di atas hanya mampu terjalin melalui rantai ketidaksadaran yang bersifat mekanis.

Sebelum jejak-jejak terbentuk, keruntuhan kesadaran diambil-alih karya seni memiliki ‘bentuk paling dalam yang retak’ dibalik film G30S/PKI menjadi mesin ketidaksadaran. Tidak lebih dari hal lainnya, orang-orang menyaksikan film tragis atau anti-kemanusiaan memiliki tujuan untuk membentuk alur, sisi dan celah pikiran kolektif atau ingatan kolektif tentang betapa kisah pilu tengah terjadi justeru menjauhi jarak antara sutradara, pelaku, penonton, dan penulis film. Pikiran diikuti oleh proses ganda atau dua momen yang sama. Sebagaimana jarak, teks tertulislah yang mengatasi durasi, bukan dari suara-gambar yang bergerak secara acak dalam sinema. Dalam perbandingan teks yang ketat, sinema dikaitkan arsitektural melebihi tubuh setelah menghindari kegalauan pikiran dibalik kisah film, tanpa didukung oleh figur geometris.

Sesuatu hal yang masih menarik dalam figur geometris terhadap kerugian bermain yang terjadi didalamnya secara metaforis. Disini, kita mencoba menggunakan istilah “figur” dalam tatanan geometris maupun tatanan retoris. Karena itulah, suatu figur retoris masih melibatkan figur geometris untuk mengatasi kelelapam pikiran diimbau dan disoroti dengan kuasa-sinema. Setelah pesan dikosongkan dari citra, tanda kuasa-sinema kembali dalam relasi antara arsitektural dan kamera menjaga segala kebersamaannya. Metamorfosis kuasa-sinema tidak memiliki apa-apa dengan lensa kamera dan fantasi; kamera yang melompat dari satu titik ke titik lainnya yang mengelilingi keseluruhan arsitektural. Ia hanya darah dan keringat para jenderal militer yang gugur yang membasahi bumi untuk mempertaruhkan kehormatannya.

Sebaliknya, lensa kamera dengan segala rahasia yang dimilikinya bergerak dari satu titik ke titik lainnya menuju ruang gelap arsitektural. Para sineas keluar dari batas-batasnya, titik dimana cahaya gambar yang tidak mampu diproyeksikan sinema, kecuali membelah kegelapan. Satu sisi, alur pergerakan citra yang meyakinkan, darah dan keringat bercucuran membasahi tanah tidak berkaitan dengan pikiran. Pada sisi lain, ‘gravitasi’ muncul dan lenyap dalam sinema. Suatu jejaring gravitasi dalam sinema mengosongkan pusat pikiran.

Citra pikiran yang digerakkan sinema bersama gravitasi tanpa pusat yang dibentangkan dari struktur bahasa menjadi mesin ketidaksadaran  sebagaimana tatanan arsitektural menjadi seni massa. Tetapi, kita melihat pergerakan secara mekanis didalam kaitannya dengan pembentukan analisis mengenai sinema, citra dan hasrat disebut sinema libidinal. Sedangkan, orang-orang yang berbicara dalam tatanan geometris untuk menganalisis film-sinema yang sejajar dengan pikiran, teks visual dan kisah disebut sinema intelektual. Teks Deleuze muncul dalam sinema ganda.

Kemampuan kembali pada dunia nyata sesuai perkembangbiakan citra sinematografis melalui gambar yang bertujuan menata ulang suatu retakan pikiran primitif telah ditemukan oleh penulis naskah film atau pengarang. Tatkala sinema Barat menjadi sumber seni erotis, setiap khayalan, mimpi, dan hasrat bukan lagi bagian dari kedalaman akan kesadaran, tetapi dari mekanisme ketidaksadaran pikiran. Dalam sinema Timur (terutama film Indonesia, G30S/PKI) tidak ditemukan ambisi untuk menonton sebuah film yang menggiring kedalam satu mekanisme ketidaksadaran pikiran, kecuali kemampuan gambar lebih leluasa bergerak untuk menunda pengarang dan figur retoris melalui salinan dan kemiripan citra dari sinema libidinal. Setiap salinan dan kemiripan citra dari sinema juga tidak dipersembahkan melalui cogito-Cartesian.

Salinan dan kemiripan citra tersebut datang dari dirinya; keduanya tidak menolak kemunculan daur-ulang atau reproduksi. Sementara itu, retakan antara salinan dan daur ulang, kemiripan dan (oto-)reproduksi muncul dalam ketidaksadaran pikiran. Lain lagi dengan keadaan alami didalam sinema dimanipulasi melalui penampilan yang diperankan seseorang sekaligus korban; rangkaian kisah atau peristiwa direproduksi kedalam citra dan perkembang-biakannya yang begitu mengagumkan. Rangkaian kisah yang tidak main-main melintang ide, mimpi dan khayalan yang bergerak bersifat mekanis, termasuk sedih serta gembira, susah dan senang, lucu dan ngeri yang dipadatkan, diantaranya melalui sinema. Jadi, ‘insomnia pikiran’ melipatgandakan ketidaksadaran pikiran juga melalui sinema. Alur, sisi dan celah mereduksi tanda zaman tanpa penandaan menjadi kuasa-sinema tampak nyata tersebar memasuki sel-sel kehidupan (keluarga, sekolah, kantor, pabrik, gubuk reok) tidak memikul beban berat tidak lebih sebagai pikiran yang kosong dari permainan cahaya (bedil, seragam, komando, tembakan, jegal, ruang penyiksaan, sumur, mayat) yang dimainkan oleh sinema. Logika sinema berbicara bukan pada kita, pada tubuh murni kita, tetapi kuasa arsip.

Menurut Derridian, ‘ketidaksadaran pikiran’ sebagai tabir yang disingkap dan direbah oleh ‘ketidaksadaran teks’. Karena itu, kisah sedih dan gembira, susah dan senang, lucu dan ngeri, marah dan ketawa, lesuh dan gairah melalui fenomena kuasa-sinema. Jaringan kuasa-sinema yang meraba-raba pelupuk mata dirambah dengan kenikmatan yang menentang dan menegangkan diletakkan pada sisi luar dari ketidaksadaran pikiran. Segalanya adalah kuasa dan hasrat. Selebihnya, hal-hal yang diterima sebagai korban dialektika sintensis dari kisah film ditepis dan direnteti oleh ketidaksadaran pikiran diletakkan dibawah kenikmatan.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply