(Refleksi Bersahaja atas Kepemimpinan Politik Nasional)
Oleh : Muh. Asratillah Senge
Khittah.co _ Kepemimpinan menuntut personal mastery, apa itu ?, yakni semacam kemampuan untuk mengendalikan diri, menguasai diri, pemupukan kesabaran dan pendalaman visi. Yah ada semacam upaya untuk melihat “ke dalam”, menengok ke “diri sendiri”, “melakukan pendakian ke dalam diri” kata Plotinus. Mengapa perlu melakukan hal demikian ?, karena saat kita berbincang soal kepemimpinan maka kita tak berbicara, soal urusan yang hanya berkaitan dengan satu atau dua orang, kita sedang membicarakan sesuatu yang berdampak pada orang banyak, bahkan jutaan orang, maka perlulah kiranya mengatasi kerakusan diri sendiri, sebelum berurusan dengan kesejahteraan rakyat banyak. Apalagi jika kita berbicara tentang kepemimpinan nasional.
Demokrasi, menuntut kontestasi politik di semua level kepemimpinan, mulai dari tingkat RW hingga kepala negara. Niatan dari kontestasi tersebut sangat sederhana, agar di akhir kontestasi akan lahir output kepemimpinan yang paling layak, untuk menjalankan daulat rakyat serta amanah konstitusi. Walaupun secara prosedural, figur-figur yang berkontestasi selayaknya adalah pribadi yang mumpuni, pribadi yang telah difilter secara politik dan administratif, tapi tetap saja menyisakan cemas. Apakah calon kandidat yang direkomendasi atau direkrut oleh partai, adalah orang-orang yang telah layak secara politik ?, yang saya maksud layak secara politik di sini adalah, mereka telah diminta untuk memaparkan komitmen ideologi politik mereka, visi politik mereka hingga wawasan mereka tentang dunia politik praktis di tanah aiir. Belum tentu, sebagian besar kita menjawab. Dan inilah yang jadi soal.
Ada pepatah dari Eropa yang bunyinya kurang lebih seperti ini “Tatkala akal-budi tertidur, maka monster pun akan bangkit”. Monster yang dimaksud oleh pepatah tersebut adalah, segala potensi kelam dalam diri manusia, seperti kerakusan, ketamakan, dusta, etos korup dan sebagainya. Perekrutan politik yang bermasalah, akan membuat akal-budi tidak menjadi variabel penting dalam politik, bahkan dengan sengaja kita membiusnya, sehingga tak bisa mempertanyakan apa-apa, tak bisa mengatakan kebenaran dan merekomendasikan kebaikan. Dalam situasi tersebut maka tak heran jika kerakusan dan ketamakanlah yang seringkali menjadi pemeran utama dalam panggung politik .
Kalau kita jujur, maka kita bisa mendengar suara sumbang orang-orang kecil di pasar, kedai kopi, balai-balai desa, hingga di kolong rumah mereka, yang seakan-akan ingin berkata “kami muak dengan para elit, orang-orang berdasi, para politisi dan birokrat”, saking muaknya mereka sampai-sampai mereka lebih memilih diam. Yah mereka diam, bukannya karena mereka bodoh, mereka menilai dan memilih diam, mungkin karena mereka yakin bahwa “orang-orang besar tak mungkin mau mendengarkan mereka”. Mungkin di antara politisi, ada yang berkata “kami jadi begini karena orang-orang kecil juga meminta bayaran atas suara mereka”, tapi bagi saya itu adalah pertanda bahwa mereka (orang-orang kecil) “ lebih mempercayai uang dibanding para politisi”. Yah mereka lebih mempercayai selembar kertas yang bertuliskan “50.000” dan memang bernilai demikian, ketimbang mempercayai para elit yang sering “ngomong” program-program yang anggarannya berlipatkali dibanding selembar uang “50.000”, tapi saat direalisasikan nilainya jauh bahkan jauh lebih kecil dari rencana anggaran.
Mereka (orang-orang kecil), memilih diam, karena mereka muak dengan suara nyaring kita, mereka jengkel dengan teriakan omong kosong kita. Bahkan dalam bertarung, para elit politik tak segan-segan untuk membuat semacam infrastruktur kebohongan, kita rentang menjadi in-trust society, yaitu masyarakat yang di dalamnya sangat sulit bagi kita untuk saling mempercayai. Kita memang telah terhubung satu sama lain oleh tumbuh kembangnya teknologi informasi, tetapi semakin kita terhubung bukannya kehangatan berkomunikasi yang kita dapatkan, tapi justru ketegangan komunikasi yang tiada henti. Dan kita bisa bayangkan mau jadi apa demokrasi kita jika tak ada lagi kehangatan dalam berkomunikasi ?.
Lerner (1958) seperti yang dikutip oleh Yudi Latif dalam Wawasan Pancasila (2018), mengatakan bahwa budaya demokrasi mengandaikan adanya empati dan argumentasi ; yakni kemampuan untuk memahami serta menempatkan diri dalam situasi orang lain, serta kesanggupan mengekspresikan pikiran secara tepat, rasional dan terukur. Tapi dalam situasi yang saling tak mempercayai maka empati hanya menjadi barang usang dan argumentasi dianggap sebagai hal yang tak perlu. Dan apa yang akan terjadi jika empati dan argumentasi tak lagi penting, maka kemanusiaan kita akan dipertaruhkan, kenapa demikian ? karena akal-budi dan nurani yang merupakan sumber dari empati dan argumentasi, tak teraktivasi. Lalu disebut apakah manusia jika akal-budi dan nurani tak lagi teraktivasi ?.
Yang kita khawatirkan, bukan hanya saat orang-orang kecil tak percaya lagi pada para politisi. Tetapi yang lebih menakutkan jika mereka tidak percaya lagi bahwa kemanusiaan itu bisa menjadi fondasi sekaligus latar belakang bagi politik. Mereka lebih percaya jika kita mengatakan bahwa “uang adalah fondasi kepemimpinan politik saat ini” ketimbang bila kita mengatakan “kemanusiaan adalah fondasi kepemimpinan politik kita”. Saya teringat yang dikatakan oleh Nurcholis Madjid dalam bukunya Islam, Doktrin dan Peradaban, beliau menjelaskan bahwa alasan mendasar mengapa agama-agama monoteis mengharamkan berhala, itu dikarenakan pemberhalaan menempatkan harkat-martabat manusia jauh lebih rendah ketimbang “benda buatan manusia”. Jika situasi kesaling tak percayaan ini terus berlangsuang, maka kita akan menggiring bangsa ini menuju pada situasi pemberhalaan, yaitu situasi di mana orang-orang tak lagi percaya kepada kemanusiaan dan pentingnya memperjuangkan kemanusiaan, mereka lebih percaya kepada benda-benda (uang, jabatan, proyek, bantuan, anggaran) dan pentingnya berjuang merebut dan mengumpulkan benda-benda tersebut. Dan sedikit banyaknya ini agak mirip dengan yang dikatakan Yudi Latif dalam Wawasan Pancasila ”Banjir uang yang mengalir ke dunia politik hari ini membawa ‘polusi pada demokrasi dan kehidupan publik’. Satu-satunya nilai yang dijadikan haluan adalah uang”.
Perlu ada upaya untuk menghalau semua ini, upaya yang kurang lebih terorganisir. Kita juga mesti memperluas cakrawala makna akan politik, bahwa berpolitik bukan hanya terhitung, saat anda berkerumun disekitar figur politik berduit atau menjadi anggota partai politik tertentu. Kita selama ini, sibuk berkumpul dan teriak bersama dalam radius politik kandidat tertentu, apakah sebagai tim sukses, konsultan ataupun relawan. Kita lupa bahwa, masyarakat kecil perlu mengorganisir dan memberdayakan dirinya sendiri, tanpa harus menunggu tetesan berkah dari para elit.