(Secuil Gagasan Jelang Musywil Pemuda Muhammadiyah Sulsel ke XVII)
Oleh : Muh. Asratillah Senge
Khittah.co _ Menjadi muda secara sederhana, berarti menjalaninya dalam dua cara. Pertama, menjadi muda dengan cara yang “manja” atau kedua, menjadi muda dengan cara yang “bergolak”. Ini bisa saja semacam simplifikasi yang berlebihan, tapi menjadi kaum muda yang bermukim pada sebuah bangsa, dimana banyak hal yang belum selesai sehingga deru langkah maju adalah keniscayaan, menjadi anak muda “manja” adalah pilihan yang kurang bijak. Kenapa demikian ?, di tengah-tengah laju demokratisasi politik yang semakin gemuruh, perang dagang global yang tak kunjung reda, revolusi industri 4.0 yang semakin menuntut kecepatan dan ketepatan serta lanskap kebudayaan yang semakin dinamis, sekali lagi menjadi anak muda yang gelisah tapi manja (gelisah yang hanya dilahirkan oleh hasrat untuk mengkonsumsi bukan kreasi) hanya menjadi faktor penghambat daya sahut zaman kita sebagai bangsa.
Lalu apa maksud menjadi anak muda yang “bergolak” ?. Saya tidak memaksudkan, bahwa menjadi muda harus selalu “bersitegang”, atau senantiasa terlibat dalam “persengketaan” dan “persiasatan”. Yang saya maksud bergolak adalah menjadi pemuda yang gelisah tapi tak harus manja, menjadi pemuda yang punya keinginan dan kapasitas untuk melibati dunia. Atau yang sering saya sampaikan ke kawan-kawan menjadi pemuda yang bergolak adalah menjadi gelisah plus gagasan. Gagasan bukanlah sekedar ide, gagasan merupakan ide ditambah harapan (tentunya ada cemas di situ) serta keberpihakan, dan hal ini bukanlah hal jarang dalam sejarah bangsa kita.
Romain Bertrand dalam “Kelahiran Pergerakan, Pasang Surut Nasionalisme Indonesia (1880-1942) ” (2013), menggambarkan hal tersebut dengan cukup bagus. Konon pergerakan-pergerakan antikolonial Indonesia di awal abad ke 20 (dan didominasi oleh kaoem moeda), pekat akan gagasan beserta keberpihakan. Mereka melayangkan kritik sosial-politik, yang ditujukan kepada pemerintahan kolonial serta ketimpangan kebudayaan (priyayi-non proyayi, pengkoloni-yang dikoloni, eropa-inlander, kulit putih-kulit berwarna) yang ada. Gerakan-gerakan politik semisal Partai Hindia (Indische Partji), serikat-serikat buruh kereta api dan pelabuhan, partai komunis hingga kelompok muslim, merangkum dalam diri mereka dua rupa nasionalisme, yakni “nasionalisme kebangsawanan” yang berupaya mereka cipta hirarki-hirarki tatanan lama, dan “nasionalisme kerakyatan” yang melayangkan utopia-utopia egaliterian dan protes-protes kerakyatan. Mereka bergerak, mereka bergolak karena mereka membudidayakan gagasan dalam “batok kepala” mereka.
Lalu bagaimana dengan kita ? menurut banyak data dari berbagai sumber, Indonesia sedang mengalami surplus yang muda. Beberapa minggu yang lalu, saya menonton video di youtube, saat Budiman Sudjatmiko membawakan kuliah umum untuk membahas tetralogi Yuval Noah Harari yang diselenggakaran oleh Gramedia bekerjasama Qureta. Di akhir kuliah umumnya, Budiman mengatakan bahwa bangsa kita membutuhkan tiga jenis kompetensi di masa mendatang (menghadapi revolusi Industri 4.o) yakni kompetensi di bidang filsafat, matematika dan komputasional. Lalu saya bergumam dalam hati, mungkin hal itu masih sangat sulit untuk saat ini, karena hampir semua netizen kita (yang didominasi kaum muda) isi kepalanya dipenuhi topik “Kampret vs Cebong”. Alih-alih memiliki kemampuan untuk berpikir rasional, ber-empati dan mengambil keputusan yang tepat (apalagi menerjemahkan buah pikiran mereka ke dalam bentuk algoritma), kita justru terjebak dalam golonganisme. Bagi golongan cebong, manusia utama di Indonesia adalah Jokowi. Sebaliknya bagi golongan kampret, Prabowo adalah penyelamat Indonesia, sehingga apapun yang jahat disematkan kepada Jokowi.
A. Setyo Wibowo dalam ”Demokrasi Tumbak Cucukan (Sukhopanthes)” (2019), mengatakan bahwa situasi kebangsaan kita kurang lebih mirip dengan situasi Athena di abad IV SM. Yaitu saat warga negara tak lagi cakap untuk menjadi kreator gagasan di ruang publik, tetapi mereka telah bermetamorfosa menjadi tukang pengadu (sukhopanthes). Kelompok kampret, mengadu ke publik bahwa jika kelompok cebong yang berkuasa maka negara akan digadai kepada aseng, negara akan dikelola secara otoriter, tindakan korup akan semakin merajalela, akan melarang orang-orang beragama, menangkapi para ulama dll. Begitu pula dengan kelompok Cebong, mengadu bahwa jika kampret yang berkuasa, maka kaum radikal akan mengambil peran, belum lagi konon calon pemimpin mereka memiliki trade record soal HAM yang kelam, membuat kroni ORBA berkuasa kembali dsb. Saat kekacauan disangkakan demokrasi, maka nubuat Platon akan demokrasi akan menjadi kenyataan, bahwa demokrasi akan berujung pada tirani, prosedur politik kita terlihat demokratis, tapi kita ber-mental tiran.
Begitu banyak tantangan memang, tapi bukankah peradaban-peradaban besar dunia lahir diawali dari kemampuan person-person tertentu (sebagai individu ataupun kelompok) untuk memberikan “tanggapan” terhadap “tantangan” yang ada ? dan setiap “tanggapan” pasti mengikut sertakan gagasan cemerlang di dalamnya. Tapi saya tak mengatakan bahwa menjadi pemuda bergolak tidaklah sulit, dalam gagasan ada harapan, dan kita berharap pada sesuatu yang biasanya tak mudah kita wujudkan. Maka dari itu, Erich Fromm dalam “Revolusi Pengharapan” (2007), mengatakan bahwa pengharapan mutlak menuntut adanya ketabahan (fortitute). Ketabahan bagi Fromm bukan sekedar keberanian, sebab ketabahan berangkat dari sikap yang “percaya diri” dan “mencintai hidup” ketimbang “berani mati”. Ketabahan hanya dimungkinkan, jika seseorang mengatasi ketamakan dalam dirinya, tidak menjadi budak keinginan dan ambisi-ambisinya, senantiasa tercerahkan, menebar kebermanfaatan dan kebermaknaan, cenderung bergerak-mendobrak dan mengatasi statusquo, tiap detik hidup adalah momentum mengambil keputusan : menjadi lebih baik atau lebih buruk.
Dan akhirnya, pergolakan rentan akan kekecewaan. Kita tak sendiri dalam memiliki gagasan, dan musykil menuntut orang-orang menyetujui sepenuhnya gagasan kita. Dalam situasi ini, sikap terbuka adalah keharusan, keinginan untuk berdialog adalah sebuah kebajikan, sehingga kita dituntut untuk memiliki kemampuan berargumentasi yang logis nan retoris, serta kemampuan dalam ber-empati. Jika pun akhirnya kekecewaan merundung, maka sebagaimana dosa begitupula rasa kecewa dapat membuat kita semakin dewasa.