Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Lyotard, Narasi Besar dan Kita (2)

×

Lyotard, Narasi Besar dan Kita (2)

Share this article

 

Oleh: Ermansyah R. Hindi*)

*) Sekretaris PD Muhammadiyah Kabupaten Jeneponto

Relasi pengetahuan antara ‘fungsi penyampaian’ dan ‘fungsi naratif’ saling menjalin menuju satu wilayah. Kedua fungsi itu tidak membuat lagi ‘transisi pernyataan’ menjadi hal-hal yang lain, yaitu sesuatu yang tidak lebih sekedar penggabungan tanda yang untuk kehadirannya memerlukan subyek pengetahuan— seperti buku teks ilmiah melalui jalur akademisi atau gambar melalui fotografer yang dapat diubah dan dipinggirkan sebagai jejak-jejak baru. Perbedaan atas realitas yang dinilai dengan pengetahuan bersama fungsi terjalin itu juga memisahkan pernyataan dari kalimat dan proposisi yang sama. Kata lain, syarat posmodern itu dibangun dan dipisahkan dengan syarat lainnya; ia bertujuan untuk mengakhiri narasi besar, yaitu “syarat kesahihan diskursif atas pemikiran” dan “syarat peristiwa atas performavitas pengetahuan naratif”. Sehingga fungsi naratif menjelaskan sekaligus menolak a priori dan narasi sejarah maupun narasi lainnya yang berlapis-lapis dan tidak tergoyahkan. Karena itu, kesahihan diskursif atas pemikiran merupakan fungsi diskursif itu sendiri yang tidak dibentuk oleh fungsi naratif atas peristiwa pengetahuan.

Dalam pandangan Lyotard, ketidakhadiran narasi besar memiliki keterkaitan dengan  (i) prinsip performativitas yang mensahkan posisi pengetahuan dan informasi dibentuk oleh kesahihan berdasarkan efisiensi dan efektifitas. Prosedur pilihan ilmu pengentahuan ditandai proses pengumpulan data-informasi, verifikasi dan analisis hingga direproduksi hanya dapat dinilai berdasarkan keriteria kegunaannya (utility); (ii) kehadiran informasi dan pengetahuan akan dijabarkan sebagai tulisan benda-benda menjadi prinsip produksi, tetapi kuasa memberi mekanisme benda-benda (komoditas) yang mengendalikan dan mendistribusikan kegunaan, dinilai berdasarkan performativitas tertentu. Apabila ditarik dalam syarat posmodern, penampilan (performativitas) sebagai prinsip sulit untuk diukur dan diterapkan begitu saja berdasarkan efisien dan efektifitas melalui ilmu pengetahuan sosial dan kemanusiaan. Misalnya, psikologi, sosiologi dan filsafat yang dihubungkan dengan peristiwa kekerasan psikis, sosial dan seksual atau narasi kehidupan fakir miskin, petani atau nelayan pada akhirnya menjadi ‘narasi lokal’. Berbeda dengan penilaian atas performativitas mengambil rujukan dari ilmu pengetahuan eksakta. Sehingga kebenaran akan diuji kesahihannya tanpa harus melalui performavitas ilmu pengetahuan.   

 

Dari fungsi naratif untuk menjelaskan sekaligus menolak a priori dan narasi sejarah menunjukkan kehadiran Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan eksistensi partai politik di zaman Orde Baru, selanjutnya menemukan karakternya yang baru di zaman Reformasi hingga sekarang menuju narasi yang bersifat terbuka dan terpencar.

Sebagaimana isyarat Lyotard, bahwa setelah penolakan atas narasi besar, ia berganti dan bertukar dengan narasi kecil yang bersifat lokal. Dari sini, syarat kesahihan diskursif atas pemikiran membangun relasi antara ‘pengetahuan’ dan  ‘kuasa’, pernyataan tanda sebagai syarat realitas dan penjelasan naratif sebagai syarat kesahihan yang menemukan jejak-jejak lain dibalik peristiwa peringatan deklarasi Partai Rakyat Demokratik (PRD) berlangsung kemarin, 22 Juli 2019. Pengibaran bendara pada peringatan deklarasi PRD tersebut sebagai bagian narasi politik Indonesia dengan rangkaian narasi yang memiliki keterkaitan dengan mitos tentang “sayap Kiri dan “sayap Kanan” yang membujur sejauh syarat kesahihan diskursif atas pemikiran ditambah syarat peristiwa atas performavitas pengetahuan naratif telah terbentuk sebelumnya. 

Narasi yang dibangun oleh PRD adalah narasi mitis bersifat ideologis. PRD sebagai representasi mitos tentang “sayap Kiri” dipertentangkan dengan ideologi negara maupun ideologi politik yang berdasarkan keagamaan tertentu sebagai representasi mitos tentang “sayap Kanan”. Sesungguhnya, semuanya itu adalah bentuk totalitas atas pikiran yang merasuk diam-diam secara individual dan institusional di zaman Orde Baru. Ada sesuatu yang cukup menarik, diantaranya peristiwa krisis kepemimpinan nasional dibarengi oleh krisis moneter-keuangan global sebelaumnya yang didahului oleh krisis legitimasi yang dimainkan oleh narasi besar yang mendelegitimasi ilmu pengetahuan (ideologi dunia yang memiliki sintesa dialektis terhadap pengetahuan ilmiah atau narasi keilmiahan). 

Pernyataan naratif menandai kehadiran kembali PRD dengan ‘proses (re)produksi ingatan’ melalui Deklarasi-simbol bendera yang tentu saja masih berpengaruh pada cara berpikir masyarakat Indonesia kontemporer. Deklarasi dan pengibaran bendera menjadi jejak dari pengetahun naratif sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari a priori sejarah yang menggema kembali dalam keriu-rendahan dan penolakan padanya. Totalitas dan represivitas selama ini telah menghantui pemikiran kita. Bukankah totalitas dibalik cara berpikir orang-orang dari masa lalu menentang perbedaan, keterbukaan dan keragaman? Setidak-tidaknya terdapat dua narasi yang menopang performavitas pengetahuan naratif atas penilaian secara a priori sejarah (i) mengenai PRD sebagai partai terlarang dan (ii) PRD adalah Komunis Baru atau Neo-PKI (Menjawab 2 Narasi Usang Orba Tentang PRD, Berdikari Online, 2019). Kedua narasi tersebut sekaligus menjadi bentuk tuduhan yang dianggap tidak memiliki syarat diskursus keilmiahan atau pengetahuan ilmiah yang menilai, bahwa seluruh tuduhan padanya sama sekali tidak dapat dibuktikannya terutama dari tinjauan pengetahuan hukum. Dari hal tersebut, kita mengambil dari satu dari sekian banyak narasi politik lokal yang turut mendinamisasi kehidupan dan pemikiran.

Suatu hal penting, bahwa apapun yang terjadi dari peristiwa tersebut menjadi bagian dari dinamika yang tidak perlu kita sesali apalagi dikutuk. Selebihnya, kita percaya pada nilai keterbukaan, perbedaan dan keragaman yang juga perlu dievaluasi kembali dalam kehidupan berbangsa yang hari demi hari nampaknya diperlukan transformasi pemikiran agar kita tidak terperangkap dalam totalitas. Kita ingin bertitik tolak dari perubahan cara berpikir secara bebas, terbuka dan plural, dimana bangunan-bangunan pengetahuan tidak ditata ulang oleh ilmu pengetahuan, kecuali menilai kembali asal-usul sejarahnya sendiri dengan goresan atau jejak yang ditinggalkanya.

Kembali pada pengetahuan, bahwa pembentukan praktek diskursif partikular tidak diperlukan lagi adanya syarat definisi atau konsep yang tetap. Pengetahuan juga tidak memiliki ruangan tunggal bagi subyek untuk menempati satu posisi tanpa berbicara lagi tentang obyek-obyek yang tidak terbuka dan tersebar tanpa melalui diskursus. Akhirnya, pengetahuan tidak ditentukan oleh penyeragaman dan pembakuan ilmiah yang dimasuki oleh diskursus (dari pembangunan berkelanjutan ke sibernetika). Berkenaan dengan alur narasi besar masih selalu melegitimasi sesuatu, sekalipun ia bukanlah tema pembicaraan tentang emansipasi dan kehidupan yang berhimpitan dengannya. Menurut Lyotard, besar kemungkinan perolehan pengetahuan tidak ditempuh lagi melalui narasi yang nampak sebagai kekuatan pendorong utama yang memadai dalam menjalankan emansipasi atas kemanusiaan (2001: 51). Pengetahuan dan narasi besar tidak saling mensyaratkan suatu narasi yang lain dari kemungkinan munculnya kekuatan baru tanpa legitimasi apapun.

Mengarah ke fungsi penyampaian lainnya, yakni arah pertanyaan mengenai narasi masyarakat posmodern yang tidak bergantung pada kebenaran ilmiah yang tunggal dan ketat yang juga sama sekali tidak tidak memiliki keterkaitan dengan narasi mengenai emansipasi kemanusiaan yang lebih mementingkan prinsip keterbukaan dan keragaman pemikiran atas peristiwa dan obyek pengetahuan lainnya.

Mengenai tantangan narasi-narasi lainnya dapat dimengerti tidak mudah dipecahkan jawabannya, karena kita memerlukan lebih banyak lagi pemikiran diskursif ditengah kemajuan teknologi dan kemakmuran kapitalis yang menyakitkan, akhirnya berdampak pada status pengetahuan dan relasinya dengan kuasa. Asal-usul ilmu pengetahuan tidak berbicara pada produk materialnya, melainkan pada narasi besar yang menemukan lebih cepat dirinya dibanding proses delegitimasi di abad ke-21, dimana kita mengetahui ada wujud alamiah dan wujud artifisial menjadi sulit dibedakan.

Wujud alamiah didandani oleh wujud artifisial yang tidak berpolesan. Lantas, siapa yang nyata? Siapakah saya? Manusia atau bio-otomata, mesin atau bio-mesinkah? Dari perbedaan mode wujud diantara bagian-bagian organ yang tidak terpikirkan hanyalah sudut pandang yang menampilkan kekacau-balauan nalar. Kita akan berada pada pilihan mistis dan irasioalitas jika lebih meletakkan akar-akar permukaan yang tidak begitu kuat dalam narasi. Dalam relasi antara mesin ketidaksadaran dan mesin hampa, relasi antara nilai simbolik dan bio-kosmik melalui rangkaian pelibatan secara individual dan non-wujud, dimana mesin ketidaksadaran tidak lebih sebagai kekuatan yang bersifat imanen. Dapat dikatakan, narasi kehidupan bergerak dari jagat raya bio-mesin dibalik arus libido secara non fisik. Ia melampaui produksi tulisan revolusioner melenyapkan kenetralannya sebagai titik terakhir dari diskursus universal ilmu pengetahuan tidak mampu menjamin kesahihannya. Suatu revolusi sibernetika atau revolusi seksual yang tersosialisasi. Ilmu pengetahuan menjadi seakan-akan mendapat hukuman kedisiplinan yang dibentuk rezim kuasa. Diskursus kuasa inilah saling menjalin dan saling menopang dengan pengetahuan melalui keterbukaan dan perbedaan-perbedaan atas penafsiran baru. Bagi Lyotard, ada ketidakstabilan dalam ilmu pengetahuan selama dirinya dianggap bersifat total, universal dan final sebagai kebenaran ilmiah. Berkat diskursus teoritis, permainan yang plural dan menyebar bertugas untuk mencairkan perbedaan-perbedaan dan membuka jalan lain bagi sudut pandang baru. Selain itu, dari keterbukaan atas penafsiran baru yang dipindahkan menjadi penafsiran atas realitas baru lainnya. 

Pada titik tertentu, ilusi kebenaran tidak muncul sebagai narasi dari pernyataan dan aksioma, sisi kehampaan dan permukaan, melainkan dari daur-ulang panggung, teater, tontonan, dan teks-teks yang disenangi. Lain halnya, para teroris atau pembeo layaknya bintang porno yang dipertontonkan melalui media massa. Suatu hal masih penting yang dapat kita ucapkan, bahwa beginilah ketidakngelanturan bahasa dan berpikir logis, yaitu keseronokan absolut yang melampaui kengelanturan retoris. Kemudian, tidak diragukan lagi, bahwa produksi konsep yang tidak terpikirkan melawan ‘produksi ketidaksahihan’ untuk mengontrol sesuatu dari pergerakan ilmu pengetahuan. Setiap titik akhir tanda dari kebenara dalam legitimasi pengetahuan ilmiah diubah oleh kata dan benda-benda seiring mesin diskursus tidak mengalami metamorfosis kuasa melalui tulisan yang ditopang dengan tubuh dan seksualitas. Dunia pada akhirnya akan tetap berada dalam rangkaian pergerakan jemari, mata, hidung, dan medium lainnya yang bermain dengan modulasi, interval, dan lintasan lain memasuki realitas baru. Sedang aktualitas terperosok kedalam “retakan” dan “lubang” melalui konsep realitas, dimana titik koordinatnya menghilang dalam celah baru yang tidak terlihat, kecuali virtualitas dan teks yang terpancar darinya. Wujud virtual tanpa ilusi. Apa itu virtualitas? Disitulah arus hasrat, tubuh dan kegilaan sebagai diskursus kehidupan, konsep, rujukan, atau perubahan teracak keluar dari luapan kekerasan teks. Sebaliknya, suatu permainan acak akibat dari ‘kekerasan pikiran’. Narasi kehidupan di balik tembok dan detak jam dinding yang ditemukan dari sudut pandang seseorang berubah menjadi penggalan yang kacau, celah semakin luas dan retakan yang bertambah besar. Kita masih menempatkan diri kita sendiri dalam babak terakhir dari perubahan atau penandaan, kecuali ilusi dari realitas memerosotkan sistem pengetahuan yang dibangun oleh ego-Cogito dari berabad-abad lamanya. Setelah obyek pengetahuan, diri kita yang tidak mengalami perubahan dalam dunia nyata berakibat fatal tidak lebih sebagai sangkar besi dalam kehidupan.    

Narasi kehidupan bukan berarti secara absolut dimiliki oleh dimensi estetis, psikis bahkan mekanis, kecuali bersatunya seluruh kekuatan yang berserak-serak dalam poros pengetahuan, yaitu multisentritas kekacau-balauan. Teater kekerasan sekaligus kekacau-balauan bukanlah struktur yang berdiri sendiri, tetapi keterkaitan dengan titik keruntuhan universalitas subyek. Dapat dikatakan, bahwa memudarnya narasi besar menuju narasi yang lain bersamaan dengan lenyapnya realitas.

Dunia atau realitas penuh ilusi integral. Citra ternyata ditipu oleh realitasnya sendiri. Siapa Anda, begitu berani menentang saya (wujud virtual dalam kisah sinema)? Digital, putra Sang Universum. Tidak akan kulupa nama itu. Dari mana datangnya tidak menjadi penting untuk diperbincangkan. Paling penting adalah ‘titik tengah realitas’ yang hampa, tanpa ruang. Zaman kita masih berada dalam pusaran wujud virtual-kenikmatan puncak  berkaitan dengan non-wujud. Ia bukanlah wujud aktual atau ilusi. Citra meradikalkan ketularan dan kecanduan untuk melepaskan beban pikiran melalui tanda hasrat sekaligus kesenangan sebagai metamorfosis dan pertukarannya. Akhirnya, manusia membuatnya terserap, terlempar, dan mengelana di padang pasir nyata. Dari pertumbuhan kesenyapan nyata dibalik realitas yang tidak terpikirkan mungkin menyertai eksistensi manusia yang diragukan. Sehingga cara pandang kita tentang padang pasir nyata menghilang kembali di cakrawala. Pada saat aku bermimpi, Anda telah memasukkanku dalam titik keanehan dunia yang diserap olehmu sang gurun pasir nyata, oleh jagat raya nyata seperti internet, atau hologram. Sebuah rangkaian jaringan tele-mesin sedang berlangsung sejauh mimpi. Metamorfosis mimpi dipadatkan melalui citra. Mimpi adalah akhir dari ilusi perseptual. Mimpi menjadi citra melalui citra virtual, tanpa layar, saluran, dan lelucon konyol. Anda ditawarkan menjadi mabuk kepayang sampai tergila-gila membiarkan Cogito Cartesian dan berkata kembali: “Metamorfosis mimpi adalah ritualisasi. Ia menjadi titik tengah realitas dalam kelupaan”. Dari kekuatan yang lain yang tidak terpikirkan dibalik celah  ketidaksadaran untuk melepaskan hasrat yang melampaui sekaligus membunuh produksi makna dari tatanan bahasa ataukah logika yang terakhir. Dalam batas-batas yang telah terlintasi, suati mimpi teroristik melingkari mimpi yang lain. Tidak ada lagi batas bagi seseorang antara keadaan tertidur dan terjaga, sekalipun dia tanpa melalui pusat gravitasi dengan cara menjatuhkan benda padat, mencubit kulitnya atau bahkan mengusap-ngusap wajahnya sendiri. Sang nyata masih bergerak diantara kelenyapan struktur sang Lain dan kenampakan sesuai rona bumi ditandai oleh permukaan yang terbujur: tubuh, konsumsi, mekanis, dan penanda lainnya dan kedalaman yang terlapis: pikiran, selera, psikis, dan petanda lainnya. Keadaan pengetahuan yang diorganisir melalui permukaan sekaligus kedalaman tanpa hirarki, jejak, dan zona yang tidak ditemukan dalam ilmu pengetahuan menerobos kerangka kerja bahasa dan diagram logis bagi pergerakan citra. 

Melalui citra, dunia lebih nampak dilihat dan menghilang kembali dalam realitas, dalam kelenyapannya yang dipertaruhkan. Kita mengetahui tidak ada mimpi dan tidak pula suara dalam tanda kesesaatan yang menyertainya atau di tengah gurun pasir nyata. Segalanya berupa esensi kesenyapan. Kita ternyata akan bingung pada saat tidak ada lagi ambiguitas. Dimanakah kita gerangan? Adakah kesenyapan massa ataukah akhir sosial? Kesenyapan citra ataukah akhir dari layar dan kesenyapan gurun pasir ataukah akhir metafora? Kita menungggu peristiwa untuk menyingkap misteri yang menyelimutinya dan meledak keluar secara tiba-tiba untuk menghentikan pertukaran dan peredaran. Kita melihat sebuah citra tanpa lensa, pangung tanpa kamera, ilusi tanpa bayangan realitas. Segalanya muncul dari keterasingan ke kesenyapan. Dalam kehidupan kita berkembang antara ‘fase binatang’ dan ‘fase manusia’. Narasi tentang kesenangan yang berpindah dan bertukar tempat nampak dalam dunia nyata terjalin “tarian retorik”. “Saya memiliki tanda, Anda memiliki ilusi” dan “Anda memiliki tanda ilusi”. Jadi, bukan “kita memiliki aparat. Pembentukan tanda kecanduan dan kesesaatan berarti ketidakhadiran kausalitas, asal-usul dan rujukan. Kecanduan dan kesesaatan pada sesuatu melebihi prosedur pilihan ilmu pengetahuan. Lain lagi, titik kelenyapan dunia nyata terjadi disaat tidak ada lagi kecanduan, kebutuhan dan perlawanan, kecuali diskursus tentang kuasa. Setiap kali ilusi, citra, dan obyek lainnya di sekitar kita datang membawa korban, disana pulalah muncul ‘kesetiaan pada yang nyata’ terjatuh kedalam kesahihan diskursus tentang pengetahuan yang baru. Sinema, internet atau layar dengan pergerakan citra didalamnya akan menjadi narasi besar sejauh menampilkan cerita tentang universalitas, rasionalitas, kapitalisme, sosialis-Marxisme, dan ideologi dunia lainnya. Suatu saat kita menarik narasi kehidupan antara narasi besar dan narasi kecil yang diakui oleh Lyotard bersama ilmu pengetahuan sebagai salah satu pemeran dari suatu permainan bahasa di tengah permainan lainnya yang plural tidak dapat dipisahkan dengan legitimasi pengetahuan (Lyotard, 2001: xxiii). 

Bukan masalah kebutuhan, tetapi kekaguman kita pada kematian sebagai suatu hal yang pasti demi kesesaatan di balik energi massa. Kesesaaatan untuk melepaskan hasrat adalah relasi timbal-balik antara yang nyata dan simbolik tanpa melalui citra. Pelepasan hasrat yang berbolak-balik dalam kesesaatan tanpa dibentuk oleh proposisi, metode, dan nilai. Setelah relasi antara mimpi dan teori akan berakhir; makna tidak dapat lagi berada dalam kehidupan, kecuali diluapi oleh kesesaatan obyek untuk melepaskan kenikmatan terhadap ‘sang Lain’ dan identitas lainnya. Tatkala kenikmatan atau kesesaatan semakin nyata keluar dari dunia eksternal, maka prosesnya berulang diantara kenampakan dan kelenyapan narasi. Setiap pertukaran dan takdir muncul, tempat dimana dilahirkannya peristiwa dari narasi besar tentang kebebasan. Dari peristiwa kelenyapan ke titik akhir adegan, teater, dan kenikmatan menjadi narasi yang aneh. Titik kelenyapan merupakan cara terbaik yang mesti ditempuh sebagai bagian dari peristiwa penting. Tidak ada jalan lain, kecuali pemusnahan atas kebenaran (kuasa despotik, hasrat seksual yang represif, lukisan atau fotografi penuh dusta) yang ditampilkan dalam realitas baru. Sebagaimana halnya kelenyapan realitas dan keruntuhan makna dari apa-apa yang kita saksikan secara mata telanjang, dibanding kebosanan yang tidak berlangsung lama dari energi gelap ke terangnya bumi. Energi bumi yang berbolak-balik itulah dikompensasi atau dijaminkan oleh kasih sayang ibu yang melebihi segala-galanya. Narasi kasih sayang memalsukan penampilan luar dari hasil bedah plastik, kloning dan ideologi modernisme akan kembali pada rangkaian perjalanan panjang menuju titik akhir, yaitu ‘titik akhir dari titik akhir’, meliputi ilusi, fiksi, mimpi, dan fantasi. Kita ternyata masih tetap bermimpi dari keadaan terjaga. Kita juga tidak serta-merta menerima totalitas permukaan sebagai tubuh yang memikat sebagai hasil refleksi dari peristiwa malapetaka di balik realitas yang menunda kelenyapannya. Untuk mengimbangi penolakan atas narasi besar akibat dari totalitas dari pemikiran atau ilmu pengetahuan, maka perhatian lain dengan meluangkan waktu yang cukup bagi diskursus mengenai hasrat, tubuh dan kegilaan.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply