Oleh : Asratillah
Sebagaimana yang pernah diutarakan oleh Benedict Anderson dalam “ Nasionalisme Indonesia , Kini dan Masa Depan”, bahwa cukup banyak di antara kita yang menganggap Indonesia sebagai “warisan”. Indonesia tidak kita terjemahkan sebagai “tantangan” dan “proyek bersama”.
Yang seringkali kita perselisihkan adalah, siapa di antara kita, yang paling layak menerima warisan? Celakanya semua dari kita mengklaim paling layak menerimanya. Bahkan persoalannya bisa lebih rumit lagi, karena dalam “kita” ada banyak “warna” dan “suara”, dalam “kita” terlalu banyak “kami”-”kami”, yang merasa paling berhak atas warisan.
Sehingga tak heran jika ada yang sering berkata dengan redaksi seperti “kami umat x”, “kami kaum x” atau “kami suku x”, “merasa lebih berhak atas Indonesia”, atau minimal mereka berkata “merasa lebih berjasa atas kemerdekaan Indonesia”.
Karena merasa lebih berhak atas warisan, sengketa tentang siapa yang paling kuasa atas “Indonesia sebagai hak milik” semakin riuh. Dan bermula dari persepsi akan “hak milik” lah, ide dasar tentang “pertahanan” lahir. Tapi yang membuat kita tak habis pikir adalah, kita tak segan-segannya memasang kuda-kuda pertahanan, terhadap sesama anak bangsa.
Walaupun cara berpikir di atas, tak pernah terang-terangan kita ucapkan di ruang publik. Tetapi diam-diam, menguasai alam bawah sadar kita dan mendasari cara kita berinteraksi dengan sesama. Tapi mengapa bisa demikian? Salah satu sebabnya, karena kita miskin akan fiksi dalam berbangsa.
Yang saya maksud dengan fiksi di sini adalah narasi-narasi yang berpotensi menyulut imajinasi, sehingga kita bisa melampaui yang faktual. Secara faktual, penampakan matahari terbenam di pantai Losari tak akan jauh berbeda dengan penampakan matahari terbenam pada salah satu pantai di Singapura.
Tetapi di dalam pikiran, kita mampu membedakan secara fiksional, makna dan suasana antara matahari terbenam di Indonesia dan Singapura. Begitu pula dengan lambaian daun pohon kelapa saat diterpa angin sepoi-sepoi di Vietnam, secara faktual (biologis dan Fisika) tak jauh berbeda dengan yang ada di Pantai Sumatra, tetapi kita memaknai yang lambaian daun kelapa di pantai Sumatra sebagai “lambaian ibu pertiwi”.
Dalam “Sapiens”, Yuval Noah Harari, menjelaskan bagaimana Homo Sapiens bisa mengungguli hominid-hominid sebelumnya. Homo Sapiens, mampu meretas kemacetan lalu lintas perubahan alias evolusi genetik, sehingga mampu menemukan aksara, pertanian, ilmu pengetahuan, negara, teknologi bahkan sudah mampu merevisi kode genetiknya sendiri.
Apa yang bisa membuatnya meretas kamacetan genom tersebut, yakni ditemukannya fiksi, dan inilah yang menandai salah satu fase penting dalam evolusi manusia, yakni fase “Revolusi Kognitif”.
Fiksi sebagai akibat yang sangat signifikan dari munculnya kemampuan berbahasa, tidak hanya membuat manusia bisa mengidentifikasi datangnya bahaya (seperti pada binatang), tidak hanya mampu menggambarkan situasi sekitar dan situasi hubungan sosial (dan inilah cikal bakal gosip) dengan detail, tetapi juga mampu membicarakan atau menjelaskan perihal yang tak nampak, seperti dewa-dewi dan Tuhan.
Bahkan melalui fiksi, Homo Sapiens mampu melakukan pengorganisasian sosial dengan skala yang jauh lebih besar ketimbang hominid-hominid sebelumnya, maka lahirlah konsep bangsa dan negara.
Mengelola dan mengorganisir bangsa sebesar Indonesia, tidaklah mudah, dan ini perlu dianggap sebagai tantangan. Dan untuk mengelolanya, kita membutuhkan asupan fiksi alias imajinasi kebangsaan yang besar pula.
Misalnya, soal relasi agama dan negara. Dalam banyak pertemuan, yang membincang topik tersebut, imaji kita seringkali hanya berkisar pada dua opsi, yakni opsi “separasi” dimana agama dan negara adalah dua hal yang tidak saling bertutur sapa sama sekali, atau opsi “subordinasi” dimana agama ada di bawah kendali negara, atau negara ada di bawah kendali agama.
Masih sangat jarang misalnya yang menintrodusir pandangan Charles Taylor, bahwa Pancasila menawarkan semacam “jalan ketiga” perihal relasi antara agama dan negara. Dimana agama dan negara bisa terlibat dalam relasi critical engagements, begitu pula di antara kelompok yang ada.
Lalu dari mana kita bisa mendapatkan sumber imajinasi kebangsaan yang tak kunjung habis? Salah satunya adalah, dan ini sangatlah penting, yakni “buku”.
Jika kita membaca risalah rapat BPUPK saat merumuskan dasar dan bentuk negara Indonesia maka, kita bisa membaca perdebatan-perdebatan yang sangat ber-nas, dan tidak mungkinlah argumentasi-argumentasi dari anggota BPUPK ada begitu saja dan terucap begitu saja.
Soekarno, Hatta, Agus Salim, Ki Bagoes Hadikusumo adalah pribadi-pribadi yang dikelilingi oleh aksara, yang sebagian besar waktunya habis bersama buku. Kita tidak bisa membayangkan adanya Sumpah Pemuda ataupun Pancasila, jika yang terlibat di dalamnya, tak rajin menyantap apa yang disajikan oleh buku.
Soekarno begitu gandrung melahap buku-buku berhaluan kiri, Hatta jelas-jelas seorang Sosialisme Demokrat begitu pula dengan Sutan Sjahrir. Pancasila sebagai titik tumpu, titik temu dan titik tuju ber-Indonesia (sebagaimana yang sering dilantunkan oleh kang Yudi Latif), hadir dalam dirinya asupan cakrawala narasi, fiksi dan imaji dari buku-buku “haluan kanan” membentang hingga “haluan kiri”.
Tapi hal tersebut belum lah cukup, seperti yang pernah dijelaskan oleh Eka Darmaputera bahwa, agar tercipta kehidupan publik yang manusiawi, maka ada tiga asas dan prinsip yang perlu ditegakkan serta diterjemahkan dalam regulasi.
Pertama, asas inklusif dan non-diskriminatif, yang menghormati perbedaan antar warga dan kesetaraan antar warga negara.
Kedua, asas kebebasan (otonomi) dan kerukunan dialogis. Tanpa kebebasan, maka kerukunan hanya menjadi penyeragaman yang menciderai kemajemukan, namun kebebasan yang tak memperhitungkan kerukunan, kurang efektif dalam mengantisipasi potensi konflik.
Ketiga, asas kemitraan sejajar antara agama-agama dengan negara.