Oleh : Muh. Asratillah S
“0, akal sehat jaman ini,
Karena menolak menjadi edan
Aku melawan kamu!………………”
(Ws. Rendra)
Tidak seperti dahulu, kini upaya untuk memperoleh dukungan dan simpati, begitu mudah dilakukan. Bagaimana tidak, saya teringat sebelum media sosial menjadi “teman intim” kita, dukungan serta simpati mesti kita cari dengan menggunakan suara (orasi) dan langkah kaki (long march ataupun demonstrasi), jika punya sedikit keterampilan menulis maka media cetak sangatlah membantu (pamflet, brosur, tabloid dan harian surat kabar). Begitu pula dengan protes atau katakanlah segala tindak perlawanan terhadap kesewenang-wenangan (terutama terhadap negara dan lembaga-lembaganya), bisa cukup efektif dengan suara, langkah kaki dan pena.
Tapi detik ini, gagasan (dukungan, simpati,protes ataupun sekedar informasi) begitu mudah ditebar. Sambil menyeruput kopi susu panas ditambah dengan keresahan akan situasi kebangsaan, plus kemampuan minim dalam merangkai aksara, lalu saya eksekusi alias ketik melalui gawai pintar, share dan urusan pun selesai. Media sosial pun sempat digadang-gadang sebagai salah satu kekuatan yang dapat mendorong demokratisasi, tapi ternyata hal ini lebih problematis ketimbang yang kita sangka. DI Tahun 2017 teman-teman Universitas Negeri Jakarta pernah melakukan survey kecil-kecilan, ternyata ada rekan “mahasiswa”nya (yang sering diidealisasi sebagai agent of change),menghabiskan waktu berselancar di internet hingga 5 jam se hari, alias 150 jam per bulan. Internet terutama medsos merenggut perhatian kita, tapi membuat ke-asyik-an memang.
Apakah itu berarti, para peselancar internet adalah “orang-orang bodoh” ? kita jangan terlalu cepat menghakimi, lagipula itu tak memberikan kita solusi apa-apa. Untuk menggambarkan situasi ini, saya senang “melirik” ungkapan Heidegger untuk manusia, yang menyebutnya dengan istilah “Dasein”. Dengan istilah tersebut, Heidegger menegaskan bahwa manusia lebih dari sekedar “makhlukh berpikir, ia “bereksistensi”. Berpikir hanyalah salah satu dari sekian aspek keberadaan manusia (seperti mahasiswa di atas, yang tak mungkin menghabiskan waktu 24 jam sehari untuk kuliah, baca buku, berdiskusi secara rasional), tapi manusia juga sibuk mengurusi beragam rupa hal (sorge), berhubungan dengan alat-alat, gelisah, merindu, bergairah dan sebagainya.
Ke-asyik-an berselancar di internet (mulai dari yang tak lulus SD hingga guru besar, mulai dari ekonomi lemah hingga yang mapan) cukup membuktikan, bahwa manusia adalah “Dasein”. Manusia adalah makhlukh yang “terlempar ke dunia”, karena kita tak bisa memilih di mana, melalui rahim siapa, dalam keluarga seperti apa, dalam episode sejarah apa, kita “hadir” di dunia. Dan dalam fenomenologi inilah yang disebut dengan situasi “keterlemparan” (geworfenheit). Intinya manusia sebagai Dasein adalah entitas yang menjangkarkan dirinya atau menapakkan kakinya di dunia, lahir, lalu bisa tua dan akhirnya wafat, dengan kata lain manusia adalah makhlukh korporeal (dari kata corpus yang artinya “tubuh”). Tapi era Heidegger, adalah era di mana Nazi melakukan propgandanya hanya melalui radio, TV Hitam Putih dan mungkin sudah ada “bioskop jadul” saat itu, Hitler tidak menggunakan WA Bomber untuk memobilisasi rakyat Jerman ( coba bayangkan jika Hitler sudah punya smartphone di genggamannya). Tapi di era digital, Dasein semakin kompleks, dunia tempatnya menyibukkan diri tak lagi monografis (sekedar di dunia yang bisa dicerap oleh Indera), tapi telah menjadi holografis (“dunia maya” terkadang lebih nyata ketimbang “dunia nyata” itu sendiri). Sehingga oleh F. Budi Hardiman dalam Heidegger di Zaman Telepon Genggam mengatakan, manusia kini tak lagi sekedar Dasein tapi juga Digi-sein. Kita tak sekedar terlempar dalam “dunia nyata” tapi sekaligus dalam “dunia maya”.
Nah yang jadi tanya, apakah manusia betul-betul “terlibat” (sorge) dalam dunia internet ?, terlibat sebagai objek rangsangan digital bisa jadi, tapi terlibat sebagai “subjek pencari sekaligus pengguna informasi” belum tentu, kita semua rentan menjadi korban atas otorianisme berbasis data. Bayangkan, secara tidak sadar, kita begitu banyak menyerahkan data pribadi kita kepada pihak ketiga. Mulai nama lengkap, tanggal kelahiran, film kesukaan, bacaan favorit, nama pacar hingga mantan pacar, warna kesukaan kita ketikkan saat sign up, melakukan konfirmasi akun ataupun chatting-an di aplikasi medsos. Belum lagi nomor KTP, nomor auransi, rekening bank yang kita serahkan kepad aplikasi-aplikasi keuangan berbasis android ataupun bukan. Bahkan makanan apa yang sering kita pesan, ke tempat mana sering kita berlibur, ke warkop apa kita senangi untuk ngopi, hingga hotel apa yang sering dibooking saat melakukan perjalanan, kita serahkan informasinya kepada pihak ketiga. Lain kata data tentang “diri kita” yang bisa diakses oleh siapapun begitu berlimpah atau biasa disebut dengan big data.
Jika dalam filsafat politik yang menopang demokrasi, berdiri di atas konsep pembagian dua “ruang”, yakni “ruang publik” dan “ruang privat”, kini tampak mulai mengabur. Para koruptor menggerogoti “uang publik” untuk kepentingan “privat”, dulu negara-negara totaliter bisa mengintervensi urusan privat warga (pilihan agama, buku mana yang bisa dibaca, bahkan jumlah anak). Kini big data, bisa digunakan oleh para demagog untuk mengetahui profil sasaran propaganda, agar sang demagog bisa mendapat kekuasaan demi kepentingan kelompok atau pribadinya (dalam lapangan marketing politik ini disebut dengan microtargetting). Big data juga leluasa bisa dilakukan oleh perusahaan-perusahaan pemasaran, agar bisa memanipulasi “hasrat belanja” konsumen dengan cara yang sangat subtil. Aktor negara pun bisa melakukan hal yang sama, seperti yang coba dilakukan oleh Republik Tiongkok yang sejak tahun 2014 berupaya mengembangkan Sistem Kredit Sosial untuk mengukur loyalitas 1,3 Milyar rakyatnya. Jika begini ceritanya, maka “rahasia pribadi” tinggal kenangan, seperti yang diutarakan George Simmel, pribadi hanya bernilai selama dia memiliki “rahasia”. Singkatnya, kita semua membuka diri agar bisa dijajah melalui jempol sendiri.
Negara perlu hadir dalam persoalan di atas, data diri warga negara perlu dilindungi melalui regulasi yang memadai, karena menurut saya melindungi “data diri” warga negara, sama saja melindungi hak-haknya sebagai warga negara. Coba bayangkan, di hari pemilihan suara, masih bisakah dikatakan “warga negara menggunakan hak memilihnya” ? (dimana kata hak dan kebebasan saling mengandaikan satu sama lain), jika sebelumnya “selera politik” nya dimanipulasi sedari awal melalui hoax, fake news , hate spin, di mana semuanya hanya bisa berhasil jika profil pribadi target telah diketahui. Saya rasa redaksi dalam pembukaan UUD 1945 “maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan pri-kemanusiaan dan pri-keadilan”, perlu dibuat turunannya dalam bentuk redaksi “maka penjajahan melalui jempol harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan pri-kemanusiaan dan pri-keadilan”.
Bukannya kita membenci teknologi, karena “adalah tolol menyerang teknologi secara buta. Adalah picik mengutuki peralatan teknis sebagai karya iblis” kata Heidegger, tapi kita sambut mereka dengan cara yang “manusiawi”, kita tempatkan teknologi kembali sekedar menjadi perpanjangan dari tubuh dan syaraf manusia. Seperti yang dikutip oleh F. Budi Hardiman, Heidegger menyarankan “kita dapat menggunakan piranti-piranti teknis, tetapi dengan penggunaan yang pantas menjaga diri kita sedemikian bebas dari mereka, sehingga kita boleh membiarkan mereka sendirian saja sebagai sesuatu yang tidak mempengaruhi inti batiniah nyata kita”.