Oleh : Muh. Asratillah S
Soal kerusuhan yang berujung pada pembakaran fasilitas publik di Papua, mengundang banyak tanya. Bagaimana tidak, kerusuhan ini terjadi bertepatan saat sebagian besar dari kita lagi “pongah-pongah” nya, membusungkan dada sambil berkata “ kita Indonesia sudah 74 Tahun aman-aman saja”. Mengejutkan memang, karena di tengah riuhnya pekikan merdeka dan penuhnya bahu-bahu jalan kita dengan bendera maupun umbul-umbul merah putih, tetiba saja ada “suara lain” yang seakan-akan justru menegasinya. Dan seakan-akan mengingatkan kita akan perkataan Hobbes dalam Leviathan, yang menamakan Negara sebagai “Deus Mortalis” (Tuhan yang Fana), terdengar kontradiktif memang, tapi istilah Hobbes seakan-seakan mengisyaratkan bahwa se ilahi-ilahinya Negara dia toh akan tetap runtuh jua, jika telah membusuk (corrupt) sedemikian rupa.
Yah, sebagian saudara-saudara Papua kita sedang meradang marah. Ada yang berspekulasi bahwa, keributan ini sebenarnya berpangkal pada provokasi yang cukup canggih. Ada elit politik yang mungkin yang tak kebagian jatah menteri atau jabatan-jabatan di lembaga negara lainnya, lalu melampiaskan kekecewaannya dengan cara memprovokasi “kawan-kawan timur”. Tapi, walaupun spekulasi itu benar, ini tetap menandakan semacam “luka” yang menganga di “palung jiwa” masyarakat Papua. Dan kita ketahui bersama, orang-orang yang terluka akan begitu mudah menampakkan marah, walaupu di picu oleh kegaduhan seadanya. Lalu yang menjadi tanya, apa yang membuat mereka luka ?, telah banyak hasil invesitigasi yang disajikan ke kita, tapi sejauh manakah kita benar-benar peduli ?, dan sejauh mana kepedulian kita bukanlah basa-basi ?.
Pendekatan keamanan yang melibatkan aparat, tak bisa dipungkiri, tapi “pentungan” dan “gas air mata” yang terlalu sering digunakan, hanya menjadi “pupuk” yang menumbuh suburkan “amarah”, laten maupun manifest. Maka mau tidak mau, kita perlu memahami dan betul-betul punya komitmen untuk menyembuhkan “luka” masyarakat Papua. Benedict Anderson pernah menjelaskan ini, bahwa pekik merdeka dari kawan-kawan Papua bermula saat Orba berkuasa, rezim ini (yang diarsiteki Ali Murtopo dan antek-anteknya), menjadikan semua Orang Irian (Papua saat ini) sekedar pelayan sang buto. Bagi Orba saat itu, yang terpenting bukanlah orang-orang iriannya tetapi iriannya, bahkan mereka dicap sebagai orang-orang primitif. Begitu banyak pelanggaran terhadap hak-hak mereka, karena hanya sekedar untuk memperlancar “pengerukan” kekayaan alam mereka, bahkan seakan-akan rezim Orba mengatakan “sayang yah, ada orang-orang Irian yang tinggal di Irian”. Nah yang jadi pertanyaan, saat kata “Irian” telah berubah menjadi “ papua”, apakah kita juga berkata “sayang yah, ada orang-orang Papua yang tinggal di Papua” ?.
Berontak kadangkala hanyalah pantulan dari upaya destruksi yang terjadi sebelumnya. Seniman Jerman Gunther Ucker dalam pameran instalasinya berjudul Der geschunde Mensch di tahun 1993, menderet 60 kata dari Perjanjian Lama yang melukiskan destruksi manusia atas sesamanya , seperti : Merampas, menganiaya, menyikas, melupakan, menistakan, mecuri, melecehkan dan sebagainya. Seni instalasi Gunther ingin menyampaikan pesan, betapa rentan dan mampu-nya manusia menghancurkan sesamanya. Dia menghancurkan dirinya dengan menundukkan diri di bawah naluri-nalurinya. Sebagai pelaku dia tunduk di bawah dikte proses-proses objektif di luar kendalinya. Memar, tangisan, darah yang bercucuran, kaca bangunan yang pecah ataupun fasilitas publik yang telah menjadi arang adalah penanda dari tindak destruktif. Tapi kerusakan (destruksi) yang dilakukan kawan-kawan Papua bisa jadi hanya pantulan dari destruksi yang dilakukan oleh kekuasaan pada mereka. Seperti yang dikatakan Derrida bahwa “(yang jahat) mampu mengulang dirinya, secara tak terampuni, tanpa transformasi, tanpa perbaikan, tanpa penyesalan dan janji”.
Tak salah jualah, jika ada yang berkata, bahwa kerusuhan ini mesti diredam, sebab akan mengancam kepentingan nasional, yakni kadaulatan dan keutuhan wilayah NKRI. Tapi ingatkah juga kita saat di awal-awal perjuangan kemerdekaan ?, membuat aliansi historis mengatasnamakan nasionalisme karena kita merasa berada dalam “peraduan nasib” yang sama ? sama-sama merasa diinjak-injak (didestruksi) oleh bangsa penjajah ?. Sedikit banyaknya itulah juga yang mungkin dirasakan oleh saudara-saudara kita di Papua, mereka selama ini diperlakukan sebagai inlander di tanah sendiri, tak dilibatkan sebagai subjek dalam “proyek bersama” yang bernama Indonesia. Dan seperti kata Georg Simmel destruksi itu menyatukan karena melumatkan segala perbedaan yang adalah pangkal segala tatanan. Dalam berbagai motifnya, agresivitas itu universal dan menghisap para pelaku dari berbagai latar belakang ke dalam naluri alamiah yang sama.
“…kita hendak mendirikan suatu negara ‘semua buat semua’. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi ‘semua buat semua’..” demikianlah perkataan Soekarno saat pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945 dihadapan peserta sidang BPUPK. Tapi sebagaimana normativitas-normativitas yang lain, yang seringkali tertatih-tatih dalam kenyataan, begitu pula dengan perkataan Soekarno di atas. Ada keyakinan sebagai subjek sejarah dalam perkataan Soekarno, tapi dalam kehidupan bernegara, itu berarti kita menjadi intim dengan kuasa, dan kuasa tak bisa lepas dari duka lara. Mereka yang dihisap oleh duka lara- seperi yang pernah dikatakan oleh Elias Canetti- tak mampu lagi menjadi selain dirinya. Tak mampu lagi berempati, mendengar orang lain atau mengubah sikap ; namun dirundung sendu seolah terkurung dalam dirinya. Bahkan dalam situasi yang akut, yang dirundung sendu “dia tak mau makan” demikian tulis Canetti “karena beranggapan dia sendiri yang dimakan”. Tak ada salahnya, jika kita memberikan “nasihat bertubi-tubi” kepada saudara-saudara Papua kita, agar “tak mudah terprovokasi”, agar “tetap menjadi bagian NKRI”, tapi ingat ada hal-hal yang tak bisa diatasi dengan nasihat, tapi mesti dengan turut merasakan dan “upaya nyata”.
Dan tak ada salahnya jika kita mengutip kembali sepenggal tulisan alm. Ishak Ngeljaratan dalam Quo Vadis Indonesia ?, beliau menuliskan “masyarakat Indonesia yang majemuk dan yang sejahtera berdasarkan keadilan dan demokrasi yang berhasil diwujudkan secara terus-menerus adalah jawaban terhadap pertanyaan ‘Quo Vadis Indonesia ?’ Jika kita tak mampu menciptakan masyarakat Indonesia yang demikian berarti kita gagal menjawab pertanyaan ‘Quo Vadis, Indonesia’ ?”. Lain kata ada lima kata kunci yang menjadi pekerjaan rumah kita bersama yakni, “kemajemukan”, “kesejahteraan”, “keadilan”, “demokrasi” dan “terus-menerus” (berkelanjutan), dan bukan perihal mudah memang.