Oleh: Ermansyah R. Hindi*)
*) ASN Bappeda/Sekretaris PD Muhammadiyah Kabupaten Jeneponto
Saya, Anda dan lainnya tidak sedang bermimpi dan terjaga. Dikatakan kita bermimpi, tetapi terjaga; dikatakan terjaga, tetapi bermimpi. Tiba-tiba kita berada dalam pernyataan dari seseorang: “Mengerikan sekali korupsi di negara kita. Jiwasraya, Asabri, Pelindo, proyek fiktif di Kemen PUPR, Suap di KPU libatkan partai penguasa, kasus di Garuda”.
Pada saat mereka sebagai oknum terduga dan tersangka bukanlah menjadi subyek yang berpikir dari skandal institusi asuransi, kementerian dan pemilihan umum dengan ringan mengatakan: “Inilah Aku” adalah frasa yang pertama tidak direkam oleh kamera dan hancur dalam dirinya. “Pemujaanku atas sesuatu yang nyata (modal-uang) menjadi milikku”, akhirnya mereka sebagai subyek tidak lebih dari korban dari kuasa diskursus tidak langsung dinyatakan vonis bersalah secara hukum. Pergerakan subyek sebelumnya berlangsung rentetan kekusutan pikiran, sekaratnya akal sehat atau keruntuhan nalar, dan kecarut-marutan seluruh pemikiran yang bersifat absolut, sublim, pasti, dan jelas. “Inilah Aku” memperlihatkan sesuatu yang tidak bergerak secara automatis akibat subyek yang ada pada dirinya dibentuk oleh subyek tanpa pikiran yang mengarah pada proses materi.
Rentetan skandal subyek yang berpikir dan subyek yang berbicara ditelan oleh suatu kekuatan di luar dirinya, dalam celah dan patahan yang tidak pernah palsu dan asali. Subyek telah menjauhi subyek itu sendiri, dimana subyek bukan lagi sebagai pusat dari gagasan, ide dan pengetahuan yang berlandaskan Cogito Cartesian. Istilah “penciuman” sang Lain (smell of the Other) merupakan penciuman tanpa alat penginderaan dan sarana pelacakan terhadap aroma benda-benda atau obyek-obyek tertentu. Penciuman menandai patahan dan celah subyek dengan titik tolak proses penghilangan jejak-jejak tulisan dan peristiwa mengakhiri perbedaan. Patahan dan celah merupakan cara penciuman terhadap perbedaan selingan peristiwa. Berkat perbedaan, patahan dan celah dari cara penciuman mengatasi cara berpikir subyek yang heterogen, beracak dan berubah-ubah. Patahan dan celah di luar subyek (pikiran, kesadaran) tidak dibentuk oleh perbedaan (difference), tetapi memiliki relasi bolak-balik dengan kemiripan (resemblance). Disitulah penciuman sang Lain tanpa tiruan terhadap sesuatu memungkinkan bergerak keluar dari kekuatan perbedaan dan kemiripan. Karena penciuman sebagai bagian dari pergerakan patahan dan celah dirinya sendiri melebihi subyek dan obyek hingga tidak diketahui lagi kemana arah yang dituju.
Perbedaan terjadi dalam kemiripan. Sebaliknya, keduanya saling mengisi dan saling menopang mengarah pada subyek yang beragam dan dinamis tidak lagi sebagai subyek. Tetapi, perbedaan dan kemiripan tidak saling melampaui arah tanpa terbatas. Kemiripan berupa subyek (orang-orang terduga atau telah tersangka akibat terbukti secara hukum menyalahgunakan uang negara) terjatuh dalam subyek itu sendiri, bukan setelah pikiran dan idenya direpresentasi oleh suatu subyek lain yang berada di luar dirinya. Sedangkan, perbedaan ditandai dengan perbedaan penciuman atas subyek yang berpikir, berbicara, beride, dan berakal yang dibentuk oleh ketidakhadiran dirinya sendiri. Misalnya, seorang ingin melatih berpikir melalui pikiran mengenai rumah mewah. Dari sini, pikiran takluk di hadapan fantasi kosong. Subyek yang berpikir tidak menghubungkan dirinya dengan sesuatu yang bersifat ‘ada Absolut’, dan ‘kesadaran’, melainkan subyek itu sendiri (para oknum tersangka secara hukum). Perbedaan terjadi bukan hanya medan perseptual kita dibangun oleh benda-benda, tetapi juga perbedaan ‘patahan’ dan ‘celah’ ruang di antara benda-benda. Cobalah kita bayangkan, bagaimana setiap oknum pelanggar hukum akan mengalami perbedaan kondisi. Ada yang keburu tersangka, ada yang mengelak sebagai tersangka dalam transaksi gelap; ada karena alasan terduga berada di luar negeri menjadi kunci dalam skandal. Tidak disangka dari segala arah kemunculan jejak-jejak yang tanpa berbekas “kaki”, dimana penciuman yang bersifat citra dan sensasi tidak akan pernah menghindari perbedaan. Sesuatu yang muncul melalui penciuman murni atau penciuman yang sama sekali tidak pernah menampakkan dirinya, sebagai perbedaan internal dan perbedaan eksternal, perbedaan bersifat materi dan perbedaan immateri. Semuanya itu merupakan perbedaan atas penciuman yang dibentuk dari “mesin analisis”, yaitu mesin tidak terlihat dalam ruang bahkan tidak dibentuk oleh benda-benda yang mengeliliginya.
Mesin analisis yang memulai dan mengakhiri analisinya sebagai mesin kuasa atas posisi di antara benda-benda. Pada bagian ‘pinggiran’ dan ‘permukaan’ terdapat patahan dan celah yang tidak terduga darimana datangnya. Mesin kuasa memulai dan mengakhiri rezim diskursus melalui diskursus, analisis melalui analisis sebagai “penciuman” yang menujukkan perbedaan pada persepsi internal dan sensasi yang menghubungkan dirinya dengan dunia luar. ‘Mesin penciuman’ yang tidak terlihat menandai perbedaan patahan dan celah peristiwa, dimana diskursus mengenai manusia kehilangan ‘sumbu’ sekaligus ‘orbit’, bergerak keluar dari subyek sebagai pusat dirinya sendiri. Diskursus atau analisis atas sesuatu yang bersifat beragam dan berubah-ubah membentuk kuasa di balik ‘mesin penciuman’ bersifat abstrak untuk tidak berada dalam hirarki, justeru menyatukan jejak-jejak sang Lain (Institusi, Ayah, Filsuf-Intelektual, Kritikus, dan masyarakat). Tetapi, ide, pikiran dan nalar tidak dapat dibentuk oleh ruang selama ruang bersifat heterogen dan keserbaragaman masing-masing membentuk patahan dan celahnya sendiri.
Prinsip kemiripan dan keserbaragaman memungkin terjadi relasi bolak-balik dengan perbedaan. Sebaliknya, jejak-jejak penderitaan subyek akibat tanda kenikmatan bukan sebagai kausalitas, melainkan ‘proses tanpa saling melampaui’ dari sintesis perbedaan, saat susunan-susunannya bergerak dari proses aktual ke proses yang lebih aktual, seperti melalui peristiwa skandal. Pada mulanya subyek yang berpikir atau subyek yang berakal merupakan bagian dari proses non fisik menjadi suatu kecenderungan pada pengetahuan tentang proses fisik melalui bentuk pendisiplinan atau hukuman bagi manusia sebagai subyek yang kehilangan subyeknya sendiri (pikiran dan nalar dalam keruntuhan melalui godaan dari sebagian atau keseluruhan arah).
Menyangkut penciuman, ia memiliki perbedaan antara manusia dan mesin selama hal itu hanya terpancang sebagai subyek. Kemiripan penciuman sebagai mesin analisis yang tidak terlihat berarti tidak seperti susunan dan bentuk materi. Penciuman yang tidak terlihat tanpa bersifat alat penginderaan, sekalipun kemiripan hidung kita sebagai indera penciuman merupakan satu-satunya organ yang tidak mampu berdusta terhadap sesuatu. Jadi, sintesa perbedaan secara obyektif memungkinkan dapat terjalin melalui penciuman terhadap sesuatu secara berbeda pula bersifat samar-samar, terbuka, tajam, atau biasa-biasa saja. Kelenyapan makna tidak dibentuk oleh ketidakhadiran pikiran, nalar atau ide, melainkan relasi bolak-balik dan proses yang dinamis, beragam dan terbuka.
Di luar atau tanpa subyek, semuanya dapat saja terjadi melalui ‘mesin penciuman’ yang tidak terlihat sebagai mesin murni. Kita terlanjur diperhadapkan pada tanda-tanda, patahan dan celah perbedaan, tanpa tipu muslihat dari tiruan dan asli bagaimana manusia memiliki kemiripan sebagai bagian dari tatanan mesin. Sehingga menit ini atau tanpa hitungan waktu kita berhenti untuk berpikir dan kita akan menghentikan perbincangan mengenai struktur hidung sebagai organ atau indera penciuman yang tidak tergoyahkan.
Manusia memperbincangkan dirinya sebagai subyek sekaligus obyek yang hidup, bergerak dan berhenti di bawah mesin hitung perbedaan berulang. Mereka adalah proses seperti mesin yang dileburkan dengan lainnya, sehingga membentuknya kembali bekerja dalam sifat apapun yang dimilikinya di antara alat-alat dan benda-benda bahkan manusia di sekitar kita.
Perluasan penciuman sebagai mesin yang tidak murni terdiri dari susunan-susunan material mengalir dalam sang Lain berubah menjadi lebih bersifat material dari materi itu sendiri. Penciuman sebagai mesin bersifat immateri, tetapi bergerak secara automatis membuat manusia melihat sesuatu ke setiap arah dan mengumpulkan sub-sub mesin dari sistem mesin tidak berpengalaman (apriori matematis) yang menghubungkannya dengan perbedaan patahan dan celah dalam konsistensi yang menandai akhir dari subyek yang berpikir secara pasti dan jelas.
Pergerakan ‘mesin penciuman’ sang Lain tanpa alat penginderaan dan tanpa pikiran sedikit pun melalui konsistensi perkembangan dan penyebaran patahan dan celah berada dalam penegasan materi yang tidak berjarak dengan mesin yang dinamis dan heterogen. Unsur-unsur materi bergerak dari sesuatu ‘yang tidak berjarak’ ke ‘yang tidak terlihat’ dikumpulkan dan diacak ulang oleh ‘mesin penciuman’ untuk menghidupkan kembali subyek di luar pikiran telah direbah oleh materi murni (benda-benda yang menggoda dan meruntuhkan pikiran). Jalur dan arah pergerakan ‘mesin penciuman’ dalam umpan balik tidak sama dan tunggal.
Sementara, perubahan subyek di luar pikiran yang tertahan atau tidak mampu keluar dari lingkaran dirinya, karena materi sebagai esensi paling akhir dari ruang lebih dahulu menginkonsistensi keterlibatannya dalam peristiwa. Subyek yang berpikir pada akhirnya menghilang dalam subyek itu sendiri tanpa lebih dahulu mengalami proses pembaruan kembali melalui subyek lainnya, kecuali mesin baru yang memberi paragraf tersendiri.
Bagaimanapun juga, perbedaan patahan dan celah dari pikiran dibentuk oleh sesuatu yang bersifat materi menyentuh penderitaan subyek dibalik tanda kenikmatan membantu siapapun menggunakan nalar ternyata berulang-ulang terjatuh dalam keadaan tertatih-tatih, ketidakhadirannya untuk mengatasi krisis dan kekosongan dirinya. Pemikiran yang diperlukan bukan sesuatu yang stabil, bukan pula subyek yang pasti dan jelas, melainkan suatu fantasi dan kesenangan. “Inilah Aku”, berarti subyek yang tidak merampungkan eksistensinya dan tidak diketahui asal-usulnya, dimana pecahan-pecahan bahasa untuk mengatasi kesatuan jejak-jejak sang Lain. Ia bersama energi yang bernama hasrat. Sang Lain tidak memisahkan dengan subyek. Tetapi, ada celah dan alur tidak menemukan alur lain untuk menyatakan dirinya sebagai suara sang Lain yang tidak terpikirkan. Hasratlah sebagai logika memerlukan bahasa, bukan sebagai aparatur untuk menopangnya. Dalam pandangan Derrida, Foucault, Deleuze dan Guattari menerima perbedaan dan kemiripan merupakan bagian dari dirinya untuk membentuk dan menggerakkan kembali dirinya dalam hasrat dan ketidaksadaran tanpa memutar arah dan memotong alur subyek yang berpikir memungkinkan dirinya menjadi ciptaan tanpa diskursus.
Subyek yang berubah-ubah menempatkan dirinya tidak diproduksi menjadi residu, kecuali jalur-jalur berbeda yang dibentangkannya untuk mengakhiri peran subyek yang bersifat tunggal dan sama, tetapi menyebar di mana-mana.
Patahan, celah dan alur yang berbeda dengan cara membentangkan dirinya masing-masing termasuk paling kreatif dari mesin penciuman sang Lain. Apa yang diciumnya? Pertama-tama bagi penciuman yang tidak terlihat tanpa menetap pada satu mekanisme. Sang Lain memikirkan wilayah imanensi dan materi peristiwa yang melibatkan subyek. Terhadap orang-orang tersangka yang menjalani proses hukum, sekalipun tidak dapat dipisahkan dengan penciuman sang Lain yang bergerak ke arah yang berbeda menyusun patahan, celah dan alur, bukan berarti sang Lain leluasa berkuasa atas subyek. Sang Lain tidak lagi sebagai faktor pembentuk bagi citra diri yang dibangun subyek. Jejak-jejak yang ditinggalkan sang Lain hanyalah bentuk perbedaan yang berulang untuk memenuhi hasrat dan fantasi yang ditransformasi oleh subyek. Kelahiran sang Lain merupakan cara untuk menyempurnakan kelahiran subyek. Keberadaan subyek bukan lagi gambaran dari sang Lain. Pergerakan sang Lain yang variatif bukan bertugas untuk merefleksikan citra ciri yang dibentuk subyek. Jejak-jejak bukanlah rujukan dari penciuman sang Lain yang saling dipergilirkan dari satu sumbu ke sumbu lainnya. Untuk menegaskan kelenyapan mekanisme, penciuman sang Lain bukanlah kekuatan untuk memproyeksikan bayangan diri subyek. Sang Lain tidak memiliki subyek, tetapi memiliki dirinya masing-masing. Keduanya merefleksikan dan memproyeksikan benda-benda yang menyebar keluar dari dirinya sendiri.
Subyek menyebar diri keluar dan masuk dari satu pinggiran ke pinggiran lingkaran lainnya, yang pusatnya telah ditinggalkan oleh dirinya sendiri. Sang Lain dan subyek residual dari mesin melalui penciumannya masing-masing. Subyek memiliki penciuman dengan caranya sendiri, sehingga darinya melawan sang Lain.
Kemudian, seseorang bertanya-tanya bahkan lebih waswas, apakah jejak-jejak kaki telanjang ini bukan milik kakinya sendiri ataukah subyek lain dari lima tersangka? Jejak-jejak kakinya sendiri di jalan yang telah dia lewati. Subyek lainnya: “Kami mendalami pemeriksaaan untuk kami (dapat) mencari alat bukti”, kata dia. Mereka memperlihatkan dirinya tidak sama dengan burung beo, sehingga kakinya tampak tidak unik dan aneh, karena kelima tersangka memiliki modus yang sama, sekalipun terdapat jejak-jejak kaki yang telah diinjak berbeda. Pada dasarnya, mereka tidak tergesa-gesa untuk memutuskan apakah jejak miliknya tahu bukan. Jejak-jejak yang tersisa di jalur tidak diketahui hal-hal yang membuatnya meninggalkan tempat setelah diinformasikan oleh subyek tentang rencana penggeledahan terhadap subyek terduga secara hukum. Mereka sebagai subyek sesunguhnya lebih mengetahui daripada sang Lain. Apakah itu aku? Apakah jejak aku? Apakah ini bukan jalanku? Penciuman sang Lain, mengatakan: “Contohnya dalam kasus penggeledahan, yang diumumkan seminggu sebelumnya, itu adalah omong kosong. Tujuan penggeledahan itu, kan, agar barang bukti tidak dihilangkan,” katanya. Apakah itu topengku yang dibuat sang Lain? Bersembunyikah aku dari jejak yang diketahui? Apakah aku akan mengikuti jejak-jejak lain ataukah aku tidak kembali lagi? Seseorang akan berpura-pura untuk tidak mengetahui jejak-jejaknya sendiri yang dialihkan pada yang lain. Mengenai kemiripan jejak-jejaknya dengan mereka yang lebih dahulu kakinya menginjak jalur yang sama menjadi sesuatu lebih aneh dan lucu.
Kehadiran bukan berarti bukti kehadiran secara keseluruhan, tetapi sebagai jejak-jejak mereka yang lebih patut dicurigai yang melewati jalur yang sama dari orang yang berbeda. Kehadiran merupakan patahan dan celah bagi proses penyelidikan secara pelan-pelan melebihi pikiran orang-orang tersangka tanpa pikiran.
Kehadiran menghilang dalam ketidakhadiran, dimana pikiran memiliki hubungan tanpa kekerasan terhadap sang Lain, sebagai satu-satunya yang membuka menata ulang patahan, membuka celah dan jalur baru yang membebaskan penciuman tanpa teliti dan tanpa mengalir ke arus lain dari sumbernya yang sama. Ketajaman penciuman melebihi ketelanjangan wajah sang Lain, tetapi tidak saling menikung dalam persimpangan jejak-jejak yang telah dilewati masing-masing orang dengan kakinya sendiri.
Ketajaman penciuman sang Lain tidak memiliki akar kata dari bahasa kita, dari akar seluruh filsafat Barat yang mendahului sebagian jejak yang telah diketahui, menghapus dan memberinya jejak-jejak baru dalam jalur yang berbeda dan berbahaya. Inilah jejak-jejak yang keluar dari kenaifan akar-akar penciuman yang tidak berujung pangkal dari sang Lain yang berpikir tentang jejak-jejaknya sendiri dipertukarkan dengan penciuman orang-orang yang tersangka sebagai subyek berbalik melawan jejak-jejaknya yang sama dengannya. “Kita masih tahap penyedikan, kami tidak mungkin menjelaskan peran masing-masing. Itu kan masih strategi kami,” ungkap sang Lain. Mereka dikuasai oleh waktu tanpa jejak-jejak yang meyakinkan. Penciuman sang Lain merupakan pergerakan dari ‘musuh jejak-jejak’ masing-masing termasuk hasrat, fantasi dan mimpi orang-orang yang tersangka. Dalam identitas subyek, penciuman sang Lain bukan pada jejak-jejak, tetapi pada identitas diri yang dihadirkan secara instan.
Menurut definisi Jacques Derrida, jika sang Lain adalah sang Lain, dan jika seluruh pidato demi sang Lain, maka tidak ada logos sebagai pengetahuan absolut yang dapat memahami dialog dan lintasan menuju sang Lain. Ketidakpahaman ini membuat logos sebagai jejak-jejak yang ditinggalkan pikiran dari mereka sesungguhnya tidak memberi inspirasi untuk memulai pembicaraan mengenai penciuman yang tidak terlihat menjadi sesuatu yang rasional atau irasional (2001 : 121).
Dalam paras, sang Lain tidak secara langsung hadir dibalik seseorang sebagai yang lain. Dari ketidaknampakan jejak-jejak menjadi sesuatu yang terbuka bagi subyek dapat dilihat menjadi lebih nyata. Sehingga tidak ada lagi celah untuk menjadikan sang Lain berbicara melalui penciumannya mengenai jejak-jejaknya dan jejak-jejak subyek.
Seseorang hanya berbicara pada sang Lain, yaitu dia memanggilnya secara seruan, yang bukan merupakan kaidah, kategori, perkara ucapan, tetapi lebih dari ledakan dan fluktuasi suara yang menggelora dari diri. Kaidah hingga ucapan tidak dapat berperan untuk sang Lain, agar tidak disepelehkan. Dia perlu menampilkan dirinya sebagai alur yang tidak dapat ditebak untuk membentuk ketidakhadiran dirinya dan ketidakhadiran pikiran, nalar atau kesadaran lainnya tanpa realitas. Dia selalu berada di belakang tanda-tandanya dan suara-suara yang memecah kesunyian melalui hasrat, fantasi, nafsu, dan mimpi menandai bibit-bibit ketidakhadiran pikiran. Dalam rahasianya yang menukik, tidak ada lagi totalitas, kecuali mesin penciuman yang tidak terlihat tanpa tersembuyi di balik benda-benda. Pergerakan rahasia dari ketidakhadiran cahaya untuk menghidupkan dirinya, sedikit demi sedikit kegelapan menampilkan dirinya dengan menyelinap dalam keadaan samar-samarnya pikiran. Sebelum menghilang bersama jejak-jejak, penciuman yang tidak terlihat menghadapi titik akhir dari dunia dan manusia itu sendiri.
Rahasia ketidakhadiran cahaya dalam pemikiran membuat sang Lain sebagai satu-satunya makhluk yang mereka ingin bunuh dengan satu ucapan halus tetapi menusuk. Tetapi, suara yang bergelora dalam diri sang Lain segera berbicara pada mereka supaya menangguhkan untuk melakukan pembunuhan padanya. Mereka tidak menentang tanpa harus berhadapan langsung, melainkan berbicara dengan perisitiwa yang justeru terjadi disaat pikiran tertidur lelap. Lebih banyak pergerakan sang Lain (Institusi, Ayah, Filsuf-Intelektual, Kritikus) menjadikan permulaan dari penciuman terhadap subyek aneh, yaitu pikiran picik, akal bulus, nafsu gelap dari penyelenggara negara, politisi dan pebisnis hitam. Mereka berbicara pada dirinya sendiri dan menentang dunia setelah dibatasi oleh kekuatan penciuman yang tidak terlihat tanpa tersembunyi.
Karena itu, tidak ada yang luput dari konsep kekuatan, yaitu kekuatan yang datang dari luar pikiran. Mereka perlu merefeleksikan kembali kata sang Lain melalui rentetan penciuman tanpa alat penginderaan. Dari penciuman tanpa bentuk dan warna bukanlah eksistensi secara umum, melainkan eksistensi sang Lain. Ataukah kita memulai kembali dari titik tolak? Sang Lain lebih dahulu mencium dirinya sendiri sebelum subyek lainnya tercium tanpa kehilangan jejak-jejak yang tidak pernah ditinggalkannya dan tidak dibuat untuk ditampilkannya. Kedatangan sang Lain tetap masih menjadi bagian dari patahan dan celah jejak-jejak ketidakhadiran pikiran yang tidak hanya muncul dalam peristiwa tunggal tatkala tidak ada transformasi penciuman tanpa alat penginderaan.