Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiPendidikan

Islam, Transparansi dan Bisnis Ketidaktahuan

×

Islam, Transparansi dan Bisnis Ketidaktahuan

Share this article

Oleh: M. Ikhsan, S.Pd

KHITTAH.CO — Laka kana lakum fii rasulillahi uswatun hasanah….
(sesungguhnya pada diri Rasulullah Muhammad saw terdapat suri teladan/ contoh yang baik)

Sebelum kedatangan islam dan kerasulan Muhammad saw, jazirah arab diselimuti oleh sebuah peradaban yang kita kenal dengan sebutan jahiliyah. Sebuah peradaban yang bukan tanpa ilmu, bukan tanpa kemajuan pada zamannya, tetapi sebuah peradaban dimana ketertutupan(intransparansi) menjadi bagian dari budaya dan boleh jadi birokrasi dan tatanan sistem kehidupan. Imbasnya adalah monopoli perdagangan, monopoli kekuasaan dan wilayah menjadi potret dari ketertutupan(intransparansi) tersebut. Dampak lain di bidang sosial adalah semakin jauhnya jarak kesenjangan antara kelompok kaya dan kelompok miskin. Selain karena budaya kelas, faktor ekonomi yang menjadi pelengkap atas identitas kelas menjadi tangga yang sulit dilewati untuk mengangkat derajat dalam tatanan strata sosial. Hal ini terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama dan sepertinya seolah menjadi sebuah kemapanan. Kehadiran Muhammad dalam tatanan masyarakat tersebut tidaklah serta merta merubah kemapanan tersebut. Tetapi perlahan integritas pribadinya menjadi modal awal sebelum risalah kenabian di embannya. Ia ditempa lewat serangkaian peristiwa kehidupan sehingga masyarakat pada waktu itu menjulukinya “Al AMIN” yang berarti jujur, amanah dan dapat dipercaya.

Dalam perjalanannya, salah satu sesi kehidupannya adalah berdagang. Pada sesi inilah makna transparansi dari Al Amin menjadi sesuatu yang menarik untuk dikaji lebih jauh. Betapa tidak, keterbukaan atau transparansi merupakan salah satu prinsip yang di ajarkan oleh islam. Prinsip transparansi inilah yang diterapkan oleh Muhammad saat berdagang ke negeri syam. Saat menjual barang beliau menjelaskan jenis, fungsi, bahan dan kualitas dan tentunya harga barang tersebut. Pertanyaannya adalah apakah dengan transparansi tersebut beliau menjadi rugi, kurang pembeli, ternyata tidak, bahkan sebaliknya dagangan khadijah yang belakangan menjadi istri beliau semakin laris dan berkembang. Prinsip transparansi inilah yang menjadi cikal bakal kekhawatiran banyak pihak yang merasa terganggu khususnya dari segi keuntungan ekonomi.
Ketika islam mulai di dakwahkan oleh Muhammad saw bersama para sahabat beliau, bukannya diterima dengan baik, malah terjadi penolakan khususnya oleh kelompok yang selama ini mendapatkan keuntungan dari ketertutupan/ intransparansi. Mereka merasa terganggu karena selama ini mereka yang memegang hak monopoli atas kekuasaan, ekonomi dan strata sosial. Tentu bukan tanpa alasan mereka menolak, tetapi mereka punya ingatan akan dampak dari prinsip transparansi yang Muhammad saw pernah terapkan saat berdagang dahulu. Bukan hanya mengikis dominasi dan monopoli atas ekonomi, tetapi prinsip transparansi yang dibawa Muhammad saw sebagai bagian dari ajaran islam juga mengikis dominasi dan monopoli atas strata sosial dan kekuasaan.

Dalam konteks kekinian, prinsip transparansi ini menjadi jargon dan symbol dalam bidang kehidupan sosial politik. Acapkali momen suksesi berlangsung kata transparansi ini seakan menjadi jualan atau tagline calon yang akan berkompetisi dalam suksesi. Seolah menggambarkan bahwa situasi sebelum suksesi tidak atau belumlah transparan. Prinsip transparansi inilah yang berusaha dilakukan di semua lini kehidupan manusia, mulai dari kehidupan sosial kemasyarakatan, aspek ekonomi, tata pemerintahan dan kenegaraan. Beberapa diantara upaya untuk menerapkan prinsip transparansi. Antara lain seleksi ASN yang berbasis CAT, sistem lelang jabatan, sistem manajemen informasi on line dan penerapan papan transparansi anggaran yang berbasis di desa/kelurahan.

Jikalau intransparansi/ ketertutupan masih menjadi prinsip dalam penyelenggaraan kehidupan masyarakat sampai ke sistem tata kelola pemerintahan, dapat dipastikan ruang korupsi, kolusi dan nepotisme(KKN) akan semakin luas. Pada akhirnya kita akan berhadapan dengan bisnis ketidak tahuan yang biayanya sangat tergantung pada budaya dan kebiasaan yang berlaku. Berurusan dengan birokrasi yang seharusnya tidak berbayar akan berbayar atas nama pelayanan dan bantuan yang tidak melalui jalur normal, percaloan dan lainnya. Padahal boleh jadi urusan tersebut telah ada anggaran yang di sediakan ataupun yang bersangkutan sebagai pelayan publik memang telah digaji untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi tersebut. Dalam bidang ekonomi, intransparansi yang mengakibatkan ketidaktahuan konsumen akan menyebabkan adanya dominasi dan monopoli harga oleh pihak-pihak tertentu. Bukannya menumbuhkan dan menggerakkan roda perekonomian dan meningkatkan kesejahteraan malah yang ada kelompok tertentu yang semakin sejahtera dan yang lain melarat karena kebangkrutan. Dalam hal perekrutan ASN dan atau tenaga karyawan misalnya, tanpa prinsip transparansi akan menyebabkan terjadinya kolusi dan nepotisme, seseorang dapat dengan mudah mengambil hak kesempatan orang lain hanya karena faktor hubungan keluarga, kedekatan bahkan karena faktor ekonomi pragmatis dengan bayaran dalam jumlah tertentu. Dalam prinsip transparansi juga mencakup semangat kesetaraan, persamaan hak, dan keadilan untuk semua dalam berbagai aspek kehidupan.

Yang harus di waspadai saat ini adalah munculnya pseudotransparansi, suatu keadaan atau kondisi yang seolah-olah tampak transparan lantaran mekanisme yang terapkan adalah mekanisme yang memungkinkan semua orang bisa mengakses dan memperoleh informasi, tetapi telah direkayasa sedemikian rupa agar yang diharapkan dan diinginkan bisa tercapai atau terwujud, misalnya dalam hal perekrutan orang/tenaga memungkinkan pihak perekrut menentukan sebelumnya siapa yang akan direkrut. Pembuatan dan penyusunan laporan yang seolah terealisasi sesuai keadaan faktual, meski kenyataannya semua hanya administrasi di atas kertasnya saja yang rapi, penyalahgunaan wewenang dan kedudukan. Dalam strategi marketing, intransparansi dapat berwujud publikasi dan iklan yang mungkin jauh dari fakta yang sebenarnya, dibuat berlebihan dan seolah-olah nyata dengan bantuan media dan testimoni ataupun endorsan figure publik, meski tak semuanya melakukan hal yang demikian.

Memang tak semua hal bisa dan harus transparan, tetapi hal-hal yang berkenaan dengan hajat hidup orang banyak yang sifatnya interaktif hak-kewajiban, jual-beli, kesetaraan dalam hal memperoleh informasi sangat penting untuk menerapkan prinsip transparansi, karena dengan cara itulah peluang KKN, ketidakadilan, monopoli bahkan malpraktik dalam bidang profesi tertentu dapat diminimalisir. Sudah sepantasnya sebagai bangsa yang beragama terkhusus lagi bagi muslim untuk menerapkan ajaran islam dalam berbagai lini kehiudpan, salah satunya adalah prinsip transparansi. Selain dapat meminimalisir dampak sosial yang negatif, integritas pribadi juga dapat terjaga dan yang paling penting, dapat membawa ketenangan dan kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Wallahu a`lam
Penulis adalah Praktisi Pendidikan,
bermukim di Galesong Kab. Takalar.(*)

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner UIAD

Leave a Reply