Oleh Agusliadi (Persembahan Milad IPM ke-59)
KHITAH.CO – Pada bagian pertama, telah dijelaskan bahwa IPM adalah Episentrum Pelajar Berkemajuan. Memiliki seperangkat pengetahuan, sistem pemahaman, pandangan yang bisa mempertegas hal tersebut. Juga telah dijelaskan bahwa spirit Appreciative Inquiry (AI), Teologi Al-Ashr dan Kosmopolitanisme Islam yang membuat IPM mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Pada bagian kedua ini, IPM sebagai Episentrum Pelajar Berkemajuan dapat dinilai sejauh mana memahami realitas yang disebut “era digital”. Yang bukan hanya memberikan dampak positif berupa efektivitas dan efisiensi tetapi juga dampak negatif dimana pelajar juga menjadi korban. Era digital jika dikorelasikan dengan interaksi manusia sarat dengan dunia maya/dunia virtual. Di sinilah urgensi dan signifikansi dakwah virtual yang harus bahkan wajib diperankan oleh IPM yang memiliki kader pelajar –pelajar berkemajuan dan berpikiran maju.
Kehidupan saat ini sedang dalam pusaran revolusi industri 4.0 dan pasca industry. Dimana Yasraf Amir Piliang, Era millennial atau era digital. Dalam pandangan Yasraf kita sedang hidup dalam era informasi global yang mengsyaratkan keberadaan teknologi komunikasi dan informasi adalah sesuatu yang mutlak.
Era digital, penamaan sebuah masa dari akumulasi perkembangan teknologi komunikasi dan informasi dengan berbagai determinannya. Era digital dan teknologi komunikasi dan informasi yang keberadaannya terasa mutlak hari ini. Dan dalam konteks tulisan saya ini, saya memberikan aksentuasi bahwa era digital yang dmaksud adalah kecenderungan dan dampak dari sebuah interaksi yang berlangsung di dunia maya khususnya media sosial.
Semua kita tanpa kecuali pelajar sebagian besar waktunya dihabiskan di dunia maya/virtual. Bermesraan dengan perangkat digital smartphone yang terhubung dengan platform media sosial. Kini ruang dan waktu ditaklukkan hanya oleh kekuatan elektromagnetik. Interaksi manusia semakin massif di media sosial dan relasi keterhubungan manusia semakin dekat. Christakis & Flower dalam Ahmad Faizin Karimi (2020) menyebutnya hyper-connected.
Ternyata apa yang terjadi dibalik era digital dan massif efeknya di media sosial mempengaruhi siapa saja tanpa kecuali pelajar dalam hal: Doing (apa yang kita lakukan), meaning (cara memaknai sesuatu), relating (cara berinteraksi), thinking (cara berpikir) dan being (cara menjadi). Dan ini bukan di dunia maya/media sosial saja tetapi sampai ikut mempengaruhi interkasi manusia (terutama pelajar) di dunia nyata.
Dengan teknologi digital, smartphone dan media sosial, pelajar mengalami pergeseran gaya hidup. Sebagaimana pandangan Bernando J. Sujibto, di dunia virtual kesadaran kritis kalah oleh luapan emosi dan hamburan opini. Pelajar termasuk yang dikenal dengan generasi millennial sedang beroperasi melawan legitimasi, grand narration, kebenaran dan fakta-fakta empiris dengan memainkan resistensi dan chaos. Dalam hal ini berkontribusi dan menjadi ruang matinya kepakaran.
Era digital dengan perkembangan teknologi informasi dan dan komunikasi, smartphone dan media sosialnya telah menimbulkan transformasi kehidupan dari kehidupan ekspansif ke kehidupan inersia. Secara sederhana kehidupan inersia dipahami bahwa kini manusia sedang berada dalam kondisi dimana dirinya seakan bagaikan pusat orbit yang dikitari belantara informasi. Lebih sederhana dan perspektif yang bermakna negatif, kehidupnan inersia dimaknai sebuah kehidupan yang ogah tabayyun.
Dalam kehidupan inersia inilah ditambah dengan kondisi kehidupan yang disebut post truth, produksi pemahaman dan pengetahuan bercampur baur dengan keinginan (desire) dan feelings yang melampai fakta-fakta objektif yang semestinya menjadi dasar tindakan kesadaran . Pada makna hoax diproduksi dan direproduksi, pelajar pun terpapar dengan darurat hoax hari ini.
Hoax sebagai bagian dari dampak digital dan salah satu bentuk paradoks kemajuan tersebut telah menimbulkan berbagai kebingungan termasuk berupa kesulitan-kesulitan dalam merumuskan dan menetapkan sebuah keputusan. Fakta konkret dalam realitas empiriknya apa yang terjadi dalam masa pandemi covid19 ini, banyak hal yang kontradiktif, dan kontraproduktif akibat hoax.
Selain dampak –dampak negatif yang telah disebutkan di atas, di tengah situasi perkembangan mutakhir teknologi komunikasi dan informasi ini, pelajar pun terseret dalam ekstasi kecepatan dan sikap serba instansi. Tidak sedikit pelajar mengalami kelumpuhan berpikir dan kemampuan analisis karena setiap kali memiliki tugas akademik maka pelarian utamanya adalah om google. Kurang membiasakan diri berselancar dalam narasi dari lembaran buku yang satu ke buku yang lainnya.
Sebagaimana temuan akademik Baudrillard yang saya pahami dengan baik dari Yasraf Amir Piliang terkait tahapan nilai dalam perkembangan masyarakat, saya menemukan bahwa dalam era digital ini, manusia dan pelajar pun telah berada dalam tahap ketiga dan keempat. Tahap ketiga yang dimaksud disebut tahap struktural, artinya nilai-nilai disusun mengacu pada seperangkat model dan tanda. Dari tahapan ini pula bisa ditemukan tilikan filosofis yang menyebabkan lahirnya konsumerisme dan narsistik yang membuat pelajar ikut terseret.
Tahap keempat disebut tahap fraktal (viral) sistem nilai –nilai yang berkembang melalui pelipatgandaan tanpa akhir. Dampak lanjutannya selain hoax sekalipun semakin viral. Atau hal dangkal, tidak bermanfaat sekalipun cenderung diviralkan termasuk oleh pelajar. Bahkan ini pula yang salah satunya yang menyebabkan muncul beberapa muballigh, influencer instan yang terkesan lebih memiliki followers lebih banyak daripada da’i kondang, ulama otoritatif dan pakar.
Selain daripada itu dalam dunia media ada sejenis aksioma yang bersifat negatif ”Kebohongan sekalipun jika terus menerus dipublikasi, apalagi dengan menggunakan teknologi tinggi maka akan dinilai sebagai sebuah kebenaran”. Namun dengan logika apresiatif ini bisa dibalik, jika kebohongan saja bisa dinilai sebagai sebuah kebenaran, apalagi kebenaran itu sendiri. Namun tentunya kata kunci yang harus diperhatikan intensitas, viralitas, pemanfaatan teknologi tinggi dalam menyampaikan kebenaran.
Berangkat dari banyak hal yang mempengaruhi kehidupan pelajar bahkan menyeret pelajar dalam “lumpur” peradaban maka tentunya IPM perlu melakukan dakwah alternatif yang disebut dakwah virtual. Ini penting karena terkesan pelajar hari ini waktunya lebih banyak dihabiskan di media sosial dengan perangkat digital yang super canggih yang dimilikinya.
Dakwah virtual tentunya secara sederhana bisa dipahami sebagai sebuah aktvitas, mengajak menyeru manusia kepada kebajikan, petunjuk dan kebenaran serta menyuruh kepada kebaikan dan melarang kepada kemungkaran melalui dunia virtual dengan perangkat digital berbasis media elektornik dan media sosial.
Seperti apa landasan institutionalnya dan kerangka metodologinya, Muhammadiyah pada muktamar ke-47 di Makassar telah merumuskan sebuah formulasi dakwah yang disebut dakwah komunitas yang didalamnya ada bagian yang disebut “Dakwah Bagi Komunitas Virtual”. Muhammadiyah memandang dakwah virtual ini sebagaimana dalam Tanfidz Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-47. Sangat potensial karena jelas komunitasnya dan sangat strategis dengan melihat kehidupan yang memiliki kecenderungan terhadap penggunaan media sosial.
IPM sebagai episentrum Pelajar Berkemajuan tentunya harus merumuskan secara dalam dakwah virtual tersebut minimal bagaimana pemikirannya atau pemikiran-pemikiran Muhammadiyah dilakukan proses digitalisasi, meramaikan dunia facebook dengan hal –hal yang bernuansa informasi, ilmu pengetahuan yang mencerahkan dan mencerdaskan. Memanfaatkan teknologi big data yang muda diakses. Selain daripada itu bisa memassifkan channel youtube dengan konten-konten yang mencerahkan.
Untuk lebih dalam terkait dakwah virtual minimal bisa dibaca dalam Tanfidz Muktamar Muhammadiyah ke-47.