Oleh: Agusliadi
(eks Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng)
Tulisan ini, yang masih merupakan Kado Milad ke-59 IPM⸻18 Juli 1961-18 Juli 2020⸻bersifat subjektif-reflektif mengapa dan bagaimana saya mengalami proses menjadi (becoming) Muhammadiyah. Setelah itu saya merasakan dampak psikologis baik secara teoritik dan praktis terhadap apa yang disebut “hijrah” dan “aktivasi DNA”.
Saya berasal dari keluarga yang secara ekonomi, teologis dan sosio-kultural yang mungkin jika diukur dari⸻jika harus diberi istilah sejenis barometer⸻”maqam”-nya jauh di bawah standar. Selain di sekolah⸻melalui mata pelajaran pendidikan agama⸻dan anjuran shalat & mengaji dari orang tua, selebihnya tidak pernah mendapatkan didikan agama secara lisan dan keteladanan.
Pergumulan dan pergulatan hidup di kampung kelahiran dan dalam keluarga, banyak hal yang secara kultural jauh dari nilai-nilai yang diajarkan Muhammadiyah. Bahkan ada banyak aspek⸻pada saat itu⸻yang sesungguhnya jauh dari ajaran agama. Judi dan mabuk adalah fenomena nyata yang sering hadir di hadapan mata, dekat dari indra penciuman saya. Satu kesyukuran, hal tersebut, pada saat itu tidak pernah mampu menggodaku. Tentunya kini, beberapa tahun terakhir, situasi tersebut semakin mengalami perubahan yang lebih baik, sudah melewati proses “pertaubatan” dan lingkungan tersebut semakin lebih banyak mencerminkan nilai-nilai ajaran Islam.
Becoming Muhammadiyah
Tahun 2001 adalah awal pertama kali membuka diri untuk mengenal Muhammadiyah, melalui proses perkaderan yang disebut Training Center Taruna Melati 1 (TC. TM.1) yang dilaksanakan oleh Pimpinan Daerah Ikatan Remaja Muhammadiyah (sekarang bernama Ikatan Pelajar Muhammadiyah) Kabupaten Bantaeng. Jika meminjam perspektif Hajriyanto Y. Thohari (2016), saya menjadi Muhammadiyah bukan dalam peristiwa antropologis, karena pada faktanya bukan faktor keturunan, keluarga dan kekerabatan. Bahkan keluarga saya, terkesan “anti” Muhammadiyah meskipun tidak secara konfrontatif.
Melalui TC.TM.1 itulah, saya merasakan sebuah proses pencerdasan, pencerahan, ideologis dan teologis dalam memahami arti penting agama, organisasi, mengenal diri dalam berbagai perspektif dan arti kehidupan serta masa depan. Jadi bagi saya sendiri, proses menjadi Muhammadiyah⸻jika meminjam William James dalam Ahmad Najib Burhani (2016:20) adalah proses yang bisa disebut conversion.
William James dalam buku karyanya The Varietes of Religious Experience, menjelaskan konversi itu adalah⸻meskipun saya punya buku versi terjemahan bahasa Indonesianya, tetapi yang dijelaskan oleh Najib Burhani lebih mudah⸻terjadi jika suatu pandangan keagamaan yang dulunya hanya dianggap pinggiran dan tak penting atau bahkan menyimpang oleh seseorang, namun kemudian ia berubah menjadi meyakini bahwa yang pinggiran itu menjadi sentral atau sangat penting.
Hijrah
Setelah resmi menjadi kader Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM) dengan melewati serangkaian proses perkaderan sebagai pintu utama untuk dinobatkan sebagai kader, saya melakukan proses yang bisa disebut “hijrah”. Kategorisasi hijrah yang saya lakukan di sini bukan dalam kategori sebagaimana yang kita temukan dalam preseden historis-profetik, perjalanan hijrah Rasulullah SAW. Yang saya lakukan dalam dimensi fisik-biologis, geografis berskala kecil dan dekat.
Berpindah lokasi interaksi pergaulan dalam lingkungan yang dekat dari “lumpur peradaban” ke lingkungan yang penuh “cahaya inspirasi”. Meskipun lingkungan⸻asal muasal pergaulan diri ini⸻yang saya maksud preseden historis (jejak sejarah)-nya sudah mulai semakin kabur tetapi kepingan-kepingan sejarah itu masih bisa ditemukan.
Setelah saya resmi menjadi kader, selama 5-6 tahun, kurang lebih 75% usiaku, saya habiskan dalan lingkungan sekretariat IRM (sekarang IPM). Dari forum perkaderan yang satu ke perkaderan yang lainnya, dari kegiatan yang satu ke kegiatan yang lainnya. Bahkan setelah tahun ke tujuh dan seterusnya sampai awal tahun 2018 sebagian aktivitas hidupku dihabiskan di lingkungan Muhammadiyah. Sebagai ketua Bidang Kader PD. IRM Bantaeng, Sekretaris PD. IRM dan terakhir Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah (periode 2014-2018, meskipun tidak sepenuhnya).
Setelah proses Becoming Muhammadiyah, proses hijrah yang saya rasakan bukan hanya bermakna fisik-biologis dan geografis, tetapi lebih daripada itu proses hijrah⸻meskipun sederhana⸻saya merasakan proses dan makna psikologis, teologis dan ideologis. Proses hijrah ini mempengaruhi cara dan kemampuan berpikir yang saya miliki. Mempengaruhi world view Mempengaruhi ketahanan psikologis. Menumbuhkan kesadaran keilmuan dan arti penting kehidupan serta masa depan. Saya menemukan cara memahami agama yang⸻menurut saya⸻benar, baik, menggembirakan, toleran, dan memancarkan spirit Rahmatan Lil ‘Alamin serta memiliki spirit untuk senantiasa menjadi solusi atas perkembangan zaman.
Adalah Ali Syariati dalam bukunya Sosiologi Islam (2012)⸻versi terjemahan bahasa Indonesia⸻menjelaskan dampak dahsyat dari sebuah proses yang disebut “hijrah”. Ali Syariati memandang “hijrah” bukan semata faktor geografis dan politis⸻sebagaimana pandangan kaum muslim secara umum⸻tetapi bagi dirinya (baca: Syariati) mengandung prinsip filosofis dan sosial yang luar biasa.
Dalam bukunya bahkan Ali Syariati (2012:57) memandang bahwa “seluruh peradaban di dunia⸻dari yang paling mutakhir, peradaban Amerika hingga yang paling kuno yang kita kenal, peradaban Sumeria⸻terwujud di puncak hijrah. Meskipun pembanding yang saya gunakan memiliki garis diametral yang berjauhan antara diri saya dan peradaban, namun pada dasar saya ingin menyampaikan bahwa proses hijrah yang saya lakukan memberikan pengaruh terhadap perubahan dalam diri saya.
Saya seakan merasakan terlahir kembali⸻meskipun bukan dalam rahim biologis yang berbeda⸻tetapi dari “rahim” psikologis ideologis dan teologis. Dan proses kelahiran kembali ini bisa disimpulkan sebagai “titik balik” untuk merancanng ulang, menata ulang jati diri sambil melihat⸻sebagaimana pengertian to see Rhenald Kasali⸻masa depan yang lebih gemilang.
Ini sejenis starting point untuk mulai ingin membuktikan, mengdekonstruktif (merobohkan) bangunan kokoh pepatah “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”. Pepatah ini, sebagian besar orang-orang bahkan masyarakat mempercayai kebenarannya. Masa depan seorang anak dinilai tidak jauh berbeda dengan orang tuanya. Bahkan sampai pada persoalan aspek mental/psikologisnya. Sejak kecil, saya tidak ingin mempercayai pepatah tersebut.
Aktivasi DNA Positif
Hijrah secara filosofis, yang dimaknai bukan hanya perpindahan tempat secara geografis⸻tetapi termasuk teman bergaul, komunitas, pemikiran dan pemahaman⸻ternyata memiliki korelasi dengan Aktivasi DNA. Apakah akan meng-ON-kan DNA positif dan meng-OFF-kan DNA negatif atau sebaliknya.
Sebagaimana pengantar Rhenald Kasali dalam buku the DNA of Success: Memanfaatkan DNA Entrepreneurial untuk Keberhasilan Bisnis⸻versi bahasa Indonesia dari bukur karya Thomas L. Harrison dan Mary H. Frakes (2008). Menjelaskan ilmu DNA memiliki dua cabang yaitu genetika biologi (biological genetics)⸻yang mempengaruhi unsur –unsur pembawa sifat yang tetap (given)⸻dan genetika perilaku (behavioral genetics) yang bisa dipelajari dan diubah oleh manusia.
DNA (Deoxyribonucleic acid) secara sederhana bisa dipahami adalah, yaitu zat yang disebut gen terdiri dua untai berbentuk spiral. Memiliki susunan huruf kimiawi yang kode genetiknya diyakini oleh para pakar⸻salah satunya oleh Kazuo Murakami,Ph.D, ahli genetika termuka di Dunia⸻mengandung semua informasi yang diperlukan untuk membentuk kehidupan. Dan sebagaimana yang saya pahami mengandung semua informasi untuk mengaktivasi potensi untuk menjadi seperti apa yang kita harapkan dalam kehidupan ini.
Pembahasan DNA di sini, bukan dalam dimensi fisik-biologisnya atau yang dalam istilah Rhenald Kasali⸻biological genetics-nya⸻tetapi terkait adanya mekanisme ON-OFF dalam DNA. Mekanisme ON-OFF ini ibarat saklar listrik bisa menyalakan (On) dan memadamkan (Off) potensi positif maupun negatif dalam diri. Apa yang ON/OFF dalam diri pada DNA kita bukan hanya menimbulkan reaksi-reaksi kimiawi yang melahirkan respon berupa gerak fisik-biologis.
Apa yang saya pahami dari buku The Miracle of DNA: Menemukan Tuhan dalam Gen Kita karya Kazuo Murakami, Ph.D (2007) mekanisme on-off DNA bahkan bisa mempengaruhi spirit, bakat, rasa percaya diri, atau singkatnya segala yang menjadi determinan psikologis kita (potensi diri). Apakah potensi yang aktif (on) adalah yang positif atau sebaliknya berlaku dalam apa yang disebut dengan mekisme ON-OFF DNA.
Lalu apa hubungannya hijrah dengan IPM, dinamika yang berlangsung di lingkungan IPM dengan DNA dan diri saya. Hubungannya bahwa salah satu yang bisa memicu mekanisme DNA untuk meng-ON-kan potensi positif dalam diri adalah lingkungan pergaulan, organisasi dan dinamika yang terjadi dalam organisasi tersebut. Dan tentunya ini butuh proses hijrah, mencari lingkungan yang tepat, bersama dengan orang-orang yang memiliki pikiran-pikiran yang bisa meng-ON-kan pikiran positif.
Rasa percaya diri, mentalitas saya semakin kuat, itu karena hasil dari pergulatan dan pergumulan dengan IPM, setelah berhijrah ke IPM, DNA Positif saya terasa teraktivasi dan semakin melejitkan potensi untuk menjadi modal dalam mengarungi kehidupan. Bahkan bisa menjdi modal untuk berselancar di atas badai sekalipun. Untuk teori DNA saya rekomendasi kepada pembaca untuk membaca buku Kazuo Murakami, yang judulnya ada di atas.