KHITTAH.CO, JAKARTA – Peneliti utama bidang Agama dan Tradisi Keagamaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Dr Ahmad Najib Burhani MA, MSc, menyampaikan pidato pengukuhan sebagai Profesor Riset, pada 27 Agustus 2020.
Di hadapan Majelis Pengukuhan Profesor Riset, Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah ini membawakan orasi berjudul “Agama, Kultur (In)Toleransi, dan Dilema Minoritas di Indonesia”.
Dalam paparannya, Najib menyebut beberapa kasus intoleransi di Indonesia terus terjadi meskipun di saat bangsa ini sedang sibuk menghadapi virus korona yang menjadi musuh bersama.
“Sejak Maret 2020, ketika Indonesia sedang sibuk berperang menghadapi virus Korona atau COVID-19, ternyata sebagian dari masyarakat kita masih ada yang terjangkiti virus lain, yaitu virus intoleransi. Diskriminasi dan intoleransi tidak berhenti di beberapa tempat.”
Pada 16 Maret 2020, sekelompok masa yang menamakan dirinya Aliansi Benteng Aqidah (ABA) menekan Bupati Bogor agar melarang Ahmadiyah. Pada 6 April 2020, Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya melalui Bakorpakem berupaya menyegel Masjid Al-Aqso milik Jemaat Ahmadiyah di Singaparna.
Pada 20 Juli 2020, ada penyegelan terhadap pasarean sesepuh Adat Karuhun Urang Sunda Wiwitan di Kuningan oleh Satpol PP. Dan terakhir, pada 8 Agustus 2020, sekelompok laskar membubarkan acara doa di Solo karena dianggap terkait tradisi Syiah.
“Berbagai peristiwa itu menunjukkan bahwa ada sebagian dari kita yang masih tak suka terhadap mereka yang berbeda atau menganggap kebinekaan itu sebagai ancaman,” kata Najib. Paparan Najib mengulas penyebab persoalan diskriminasi terhadap minoritas yang seperti menjadi penyakit di Indonesia, dan juga di dunia, justru ketika dunia menjadi semakin tak berjarak dan demokrasi di negara kita semakin membaik. Orasi ini hendak menggarisbawahi satu faktor, yaitu persoalan kultural yang menjadi pupuk dan lahan bagi berkembangnya diskriminasi dan intoleransi.
Menurut Najib, ada beberapa persoalan kultural yang menyebabkan sebagian orang tidak merasa bahwa telah terjadi berbagai diskriminasi dan intoleransi terhadap minoritas agama tertentu di Indonesia.
Pertama, ada tendensi merasa menjadi juru selamat. Para pengikut minoritas agama tertentu dianggap sebagai tidak beragama atau belum beragama atau mengikuti ajaran yang sesat dan tidak sehat, sehingga mereka perlu diobati dan dibawa kembali atau dibina kepada pemahaman agama yang sehat.
Kedua, kebajikan yang salah (false virtue) seperti merasa bahwa yang dilakukan adalah panggilan kebenaran dan membawa misi suci.
Ketiga, narasi eufemistik tentang intoleransi semisal penggunaan peribahasa: di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung.
Keempat, konstruksi mental konservatif yang bahkan menyebar di benak para pejabat negara atau pengambil kebijakan, para guru atau tokoh agama, dan bahkan para wartawan.
Kelima, pluralisme yang terbatas yang dianut oleh bangsa Indonesia, semisal tercermin dalam UU No. 1/PNPS/1965 tentang tiga kategori agama, sehingga melahirkan favoritisme, terjadi pengkelasan di masyarakat, dan pelayanan penuh hanya kepada warga negara agama resmi.
Najib Burhani menegaskan bahwa minoritas adalah konsep tentang keberpihakan, sebuah kajian kemanusiaan yang memihak kepada mereka yang mengalami ketidakberuntungan di masyarakat, terutama karena sistem dan struktur negara dan masyarakat mendukung minoritisasi tersebut.
“Berpijak dari pemahaman itu, saya beranjak kepada theoretical insight, yang pertama, yaitu tentang relativisme konsep minoritas, terutama jika dasar yang dipakai semata statistik. Ada kelompok masyarakat yang jumlahnya besar tetapi bisa disebut sebagai minoritas karena posisinya justru sebagai subordinate dari kekuasaan tertentu. Karena sistem patriarki, misalnya, perempuan yang jumlahnya sangat besar di masyarakat kadang disebut sebagai kelompok minoritas, atau minoritas yang mayoritas.”
Wawasan kedua adalah bahwa Kesesatan Lebih Dibenci Daripada Kekufuran. Mengapa kebencian sebagian umat Islam terhadap Ahmadiyah lebih besar dari kebencian mereka kepada umat yang secara utuh memiliki agama yang berbeda?
Seperti kelompok yang dianggap ‘sesat’ lainnya, posisi Ahmadiyah dalam Islam terletak pada “an intense union of both nearness and remoteness” (kesatuan antara kedekatan dan kejauhan). Wawasan ketiga adalah bahwa Ortodoksi dan Heterodoksi Tidak Permanen. Bagaimana membedakan antara reformis dan orang sesat?
Sekilas, perbedaan di antara keduanya sangatlah tipis—keduanya sama-sama mencoba memberikan interpretasi baru terhadap ajaran agama. Namun seiring berjalannya waktu, yang dianggap reformis itu akan dapat diterima secara sosial walaupun sebelumnya mendapat penolakan dari masyarakat.
Apa yang bisa dilakukan dalam menyikapi fenomena ini? Najib menawarkan beberapa solusi. Pertama, penekanan dan pendekatan HAM. Kedua, penekanan tentang adanya kewarganegaraan yang setara dalam NKRI tanpa dibedakan berdasarkan agama atau etnis.
Ketiga, pendekaran teologis dengan menekankan bahwa sikap toleran terhadap minoritas bukanlah sesuatu yang asing dari agama. Bahkan ia menjadi anjuran agama untuk berlaku baik kepada mustadl’afin. Keempat, memberikan pendidikan perdamaian kepada putra-putri bangsa dan memberlakukan kebijakan yang non-diskriminatif.