Oleh: Rani Laylatul Fitria
(Anggota Bidang Pengembangan Kreativitas dan Kewirausahaan PW IPM Sulsel)
KHITTAH.CO – Ada ulasan menarik disetiap perhelatan besar di Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM). Entah itu dari isu yang diangkat sebagai gagasan dan ide untuk masa depan atau yang paling sering dianggap hal utama adalah siapa yang akan jadi generasi penerus di organisasi pelajar yang punya basis massa dari SMP dan SMA. Internal saja sudah tembus 3.013 sekolah yang dikutip dari pemberitaan kumparan.com tahun 2018. Luar bisa IPM dengan banyaknya massa yang semoga senantiasa berdaya.
Ngomong-ngomong soal siapa yang akan jadi penerus di IPM terutama dalam moment muktamar sebagai musyawarah tingkat nasional, jangan berharap bahwa tulisan ini akan mengarah kesana. Enggak! Tapi mau obrolin aja lewat tulisan singkat yang semoga juga jadi bahan diskusi bersama.
Bincang soal sajian materi muktamar IPM ke-22 tentu masih hangat sekali untuk kader se-Indonesia. Ada banyak tantangan zaman terutama dalam masa pandemi. Sudahi saja soal pandemi karena cukup panjang kalau harus ditulisin lagi. Oke baik, ada hal menarik dimateri muktamar yang sepertinya ada beberapa akan berfikir “kenapa sih ini mulu bahasan? Kenapa gitu? Kenapa hanya bidang ini sepertinya mau dihapusinlah, digantilah dan sebagainya.”
Sampai disini mungkin ada yang udah terkoneksi bagi yang udah baca atau bisa ada berantem karena diskusi panas tanpa ada kopi atau pisang goreng. Atau jangan-jangan sampe blokir-blokiran efek ngambekkan dibantah argumennya. Semoga kamu bukan salah satunya. Kalau iya, buruan baikan. Hehe
Perbincangan utama para kader perempuan di IPM disorot ke blueprint materi muktamar yang sudah sempat dilokakaryakan beberapa hari lalu, mungkin juga sudah dibahas dibanyak tempat kita akan berubah ke bidang pemberdayaan perempuan. Bidang IPMawati akan berubah nama.
Tampaknya ini bukan wacana baru, karena bidang ini sudah pernah dihapuskan pada muktamar XIX di Jakarta. Kembali hadir dengan wacana bidang pemberdayaan pelajar perempuan di muktamar XX di Samarinda, hampir hilang lagi di muktamar XXI di Sidoarjo dan muktamar kali ini mau berubah nama lagi. Yang menarik apalah arti sebuah nama? Mari melirik lagi kepada sebenarnya bidang ini ada untuk apa?
Kalau bincangin soal diksi kata bidang IPMawati yang mau diubah, maka perdebatan kita tiada habisnya. Jadi apapun jawabannya mari diskusikan lagi setelah membaca ini dan tetap dengan kepala dingin. Sebagai wadah bagi kader putri di IPM bidang ini menjadi cukup sakral.
Karena stigma mengakar dalam diri perempuan sebagai madrasatul’ula bagi penerusnya nanti. Selain itu, bidang hadir karena banyak persoalan perempuan yang tidak bisa diurusi bidang lain. Jadi, apa bedanya seorang IPMawati dengan pelajar putri lain diluar sana? Jika kita menelaah pada apa yang tertulis di materi muktamar jelas saja isinya tidak menunjukkan adanya perbedaan yang cukup kuat.
Jika perubahan nama bidang adalah upaya agar jaringan kolaborasi bagi Ikatan Pelajar Muhammadiyah khususnya IPMawati sebagai gelar kader putri di IPM kepada stakeholder yang ada maka tidak sedikit pula yang akan setuju dengan argumen ini. Yang kemudian menimbulkan pertanyaan “apa dengan berubah nama kita gak jadi ipmawati lagi?” dengan pertanyaan itu tentu akan ada juga yang menjawab perubahan nama bidang gak akan mempengaruhi identitas atau sebutan nama IPMawati itu.
Yang kemudian jadi bahan diskusi bersama, bagaimana kondisi IPMawati hari ini? Bolehlah sibuk dalam banyak isu nasional dan internasional. Tentu luar biasa menjadi penggerak menyelesaikan isu-isu, namun dimana identitas sebagai Kader Putri IPM?
Blueprint muktamar terkesan terlalu melangit meski akan diterjemah menjadi bumi tentu takkan bersua jua titik temu apa bidang ini merupakan bidang yang mementingkan identitas seorang pelajar putri, Islam yang harus menjalankan syari’at keislamannya? Apa artinya dengan membahas banyak isu nasional dan internasional kita tidak lagi kokoh dalam warna kita sendiri?
Penting sekali rasanya moment muktamar kali ini untuk bertukar gagasan dan ide bukan lagi soal mengganti nama, tapi apa yang akan bidang IPMawati lakukan kedepannya. Tentang bagaimana memurnikan IPMawati itu berbeda dan spesial. IPMawati itu berharga karena punya posisi khusus. Cukup lazim terdengar bahwa “kekuatan IPM ada pada IPMawatinya yang menjadi warna tersendiri” namun dimana warna itu?
Manakala kita sibuk mengurusi urusan duniawi dan memperjuangkan hak-hak perempuan lain, namun pada realita yang ada kita tidak melihat seperti apa IPMawati kita. Kadangkala masih ditemui IPMawati dengan khimar yang tidak menjulur hingga dadanya, belum lagi tingkat interaksi yang kadangkala juga khilaf hingga tidak memperhatikan nilai-nilai yang seharusnya, atau persoalan apa IPMawati harus mengenakan celana atau rok.
Ditambah lagi soal kajian keislaman yang pada dasarnya bukan menjadi prioritas pertama bidang ini, maka sungguh tak heran juga banyak kader putri di IPM yang harus belajar ke ormas lain. Mereka ikut pengajian ditempat lain karena IPM tidak hadir mengisi jiwa dan pengetahuan ke-Islaman kader. Kita hanya fokus isu dunia yang masih kurang mengakhiratkan. Cukup lucu dan kadang jadi bahan pertimbangan, sampai kapan akan begini?
Kesadaran yang dibangun IPM pada masa ini untuk membaca realita sosial pelajar khususnya pelajar putri adalah sesuatu yang memang diperlukan. Namun menguatkan kembali identitas dimulai dari kebijakan tingkat pusat adalah hal utama yang tak boleh disepelekan.
IPMawati memang harus hadir pada ruang-ruang yang lebih bergengsi, namun jangan hilangkan identitas utama. Sistem gerakan serta aksi IPMawati jangan terkungkung pada isu semata, sementara gagu saat ditanya bagaimana idealnya seorang IPMawati.
Mari menyeimbangkan sistem dari puncak hingga ke akar rumput, daripada sekadar mengganti nama namun masih tak menegaskan akan jadi apa IPMawati sebagai calon Ibunda dimasa depan. Semoga semakin tercerahkan.