Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Puasa dan Disposisi Sikap yang Rendah

×

Puasa dan Disposisi Sikap yang Rendah

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere

KHITTAH.CO, Opini – Saya—dan yang lain pun—harus meyakini seyakin-yakinnya, bahwa janji Allah itu benar. Sama halnya ketika Allah memberikan titah untuk berpuasa agar kita bertakwa—sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah [2]: 183—jangan ada keraguan sedikit pun dalam hati tentang kebenarannya.

Namun pada faktanya—sebagaimana tulisan saya, hari pertama Ramadan, Puasa Ramadan dan Filosofi Habits—ada banyak yang “menggugat”. Menuntut bukti dan menunjukkan hal paradoks, antitesis dan pada kesimpulannya tulisan dan harapan saya itu dinilai sangat utopis, dan hanya memenuhi ruang “idealitas”.

Saya pun tidak bisa mengelak apalagi untuk mau “marah” karena pada kenyataannya ada banyak fenomena paradoks atau inkonsistensi dari perilaku orang yang telah menjalankan puasa. Dalam hati dan melalui komentar, saya hanya mengatakan, bahwa gugatan itu bisa benar, dan akan saya tuliskan yang menegaskan bahwa sesungguhnya bukan puasa dalam posisi “terdakwa”.

Saya pun mengakui bahwa ada banyak perilaku paradoks dari orang-orang yang “mengaku” berpuasa. Apa yang dijanjikan Allah (takwa) terhadap dirinya selaku orang yang berpuasa, sulit ditermukan. Saya ingat betul beberapa tahun yang lalu dan oleh seseorang telah diabadikan dalam bentuk tulisan yang mencerahkan, bahwa ada “oknum” tertangkap (mungkin tepatnya OTT) kasus korupsi pada saat dirinya sedang “sahur”. Betulkah dia sedang berpuasa (karena sedang sahur), lalu mengapa dia korupsi?

Ini cukup menggelitik, meskipun demikian ini satu fenomena paradoks atau inkonsistensi. Ada banyak hal lain yang digugat oleh para komentator terhadap tulisan saya tersebut. Sama hal tingkat konsumsi yang sangat tinggi pada bulan Ramadan. Padahal telah dipahami bersama, puasa mengajarkan untuk mengendalikan diri, hawa nafsu termasuk dalam hal konsumtif.

Sebagaimana yang pernah saya tulis melalui media online suaramuhammadiyah.com, “menurut data hasil riset yang pernah dirilis—dan data sejenis itu pun yang dijadikan bahan gugatan oleh komentator yang menggugat tulisan saya—bahwa pada umumnya di bulan Ramadan, tingkat transaksi jual beli melambung tinggi dibandingkan sebelas bulan lainnya”.

Terkait data tersebut, saya tidak mau menyebutnya “daya beli masyarakat yang meningkat”. Dan ini juga seringkali dikapitalisasi dan dikonversi sebagai “kabar gembira” karena secara statistik menunjukkan berkah Ramadan mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi. Dibalik ini pun masih banyak hal paradoks.

Fenomena di atas merupakan satu hal. Hal lainnya—meskipun dipandang tidak memiliki garis relasi secara langsung, tetapi dalam aspek batiniah bagi saya memiliki relasi, yakni hasil riset Micoroft. Microsoft melakukan riset mengukur “tingkat kesopanan” pengguna internet sepanjang tahun 2020. Hasilnya cukup menyesakkan dada. Indonesia berada di urutan ke-29 dari 32 negara yang disurvey. Dengan hasil tersebut Indonesia menjadi negara dalam tingkat kesopanan yang paling rendah di Asia Tenggara.

Mungkin ada saja yang menolak karena saya menarik garis relasi antara puasa dan hasil riset Microsoft tersebut. Mereka bisa saja menolak, tetapi bagi saya ini penting menjadi perhatian karena berbicara tentang netizen Indonesia, tentunya tidak bisa dilepaskan dari data statistik, Indonesia kurang lebih 85% penduduknya beragama Islam. Jadi data buruk tersebut, bisa ditarik kesimpulan penyumbang terbesarnya dari orang yang “mengaku” beragama Islam.

Hal senada dari relasi puasa dan riset Microsoft adalah Hadi Saputra pernah membeberkan (dalam tulisannya) pernyataan Syafii Maarif dalam sebuah diskusi “Jakarta Lawyer Club yang ditayangkan Tv One (09/08/2011)”, Buya Syafii menegaskan “setiap tahun jumlah jamaah haji kita selalu bertambah, namun kesadaran religiositas tersebut tidak berbanding lurus dengan perilaku bangsa”.

Semua fenomena tersebut di atas bisa dilekatkan sebagai paradoks, antitesa, inkonsistensi dari “puasa” atau “perilaku orang berpuasa”. Kenapa hal itu bisa terjadi? Dan bagaimana janji Allah tentang ketakwaan bagi orang berpuasa?

Sebagaimana telah saya tegaskan pada bagian awal tulisan ini, bahwa kita harus (bahkan wajib) yakin seyakin-yakinnya, janji Allah itu benar. Dan jangan memposisikan puasa sebagai “terdakwa” dalam berbagai hal paradoks atas perilaku orang-orang yang “mengaku” berpuasa.

Jawaban singkatnya adalah karena dalam diri orang yang “mengaku” berpuasa ada sejenis dimensi psikis yang bisa disebut dengan istilah “disposisi sikap yang rendah”. Mereka memang berpuasa, tetapi karena disposisi sikapnya tidak tinggi (melainkan rendah) sehingga perilaku tidak mencerminkan nilai yang diperoleh dari puasanya.

Apa itu diposisi sikap yang rendah?. Selain disebut rendah bisa juga disebut “lemah”. Menjadi disposisi sikap yang lemah. Disposisi sikap menyangkut kaitan antara kesadaran tindakan dengan pengetahuan yang mendasari tindakan. Sedangkan disposisi sikap yang rendah (lemah) secara sederhana bisa dipahami—sebagaimana penjelasan Buya Syafii—“gap, jurang atau inkonsistensi antara kata dan perbuatan”. Atau dalam konteks puasa, ada gap antara nilai yang diketahui—saya tidak mau menyebut dipahami—tentang puasa, dengan perbuatan yang dilakukan.

Contoh sederhana yang mungkin bisa diilustrasikan agar mudah dipahami. Kita melakukan demonstrasi menolak produk negara A (sebagai contoh), namun tanpa disadari para demonstran ternyata menggunakan produk negara A terssebut (misalnya merk handphone yang digunakan). Ini yang disebut dengan disposisi sikap yang rendah.

Relasi dan garis relevansi seperti apa yang terjadi antara puasa dan disposisi sikap yang rendah tersebut? Bukan sesuatu yang sulit ditemukan faktanya, bahwa masih ada di antara umat yang beragama Islam, itu lebih karena faktor keturunan. Ajaran agamanya tidak pernah secara mendalam dipahami atau diseriusi untuk dipahami. Istilah “Islam KTP” yang telah dilekatkan kepada orang tertentu adalah sebuah fakta nyata.

Meskipun puasa bukan hanya dilakukan oleh umat Islam dan puasa bukan hanya berdimensi “teologis”—sebagaimana tulisan Prof. Najib Burhani hari ini, Puasa Lintas Tradisi—namun saya tetap fokus untuk konteks puasa dalam tulisan ini adalah puasa bagi umat yang beragama Islam.

Dalam pemahaman teologis, orang yang diwajibkan berpuasa atau yang dipanggil untuk berpuasa adalah “orang yang beriman”. Dari ini Buya Syakur menarik sebuah kesimpulan posisi “iman” atau “keimanan” lebih tinggi daripada posisi “Islam” atau “keislaman”—berdasarkan yang saya pahami dari ceramah beliau via Youtube. Namun dalam tulisan ini tidak fokus untuk membahas kajian Buya Syakur.

Yang saya mau tegaskan bahwa, sebelum berpuasa yang harus diperkuat terlebih dahulu adalah persoalan “iman”. Apalagi jika kita pahami teori ESQ Ary Ginanjar. Iman memiliki posisi penting untuk melindung suara hati, suara kebenaran, god spot agar senantiasa terdengar dengan baik sebagaimana fungsinya “mengajak kita kepada kebaikan”, dan “mencegah kita pada kemunkaran”. Puasa dan 4 rukun Islam lainnya, posisinya sebagai penjaga, pengasah, charger iman agar tetap kokoh menjaga suara kebenaran hati.

Kekeliruan memahami posisi iman atau keimanan salah satu hal yang bisa menyebabkan terjadi disposisi sikap yang rendah. Selain daripada itu, jika merujuk tentang urgensi “niat” bisa jadi dan saya kira ini juga fenomena nyata, ada saja orang-orang yang memposisikan agama dan ajaran agamanya hanya sebagai “pseudo religious” dan “religiotainment”.

Agama dan ajarannya hanya terkesan sebagai pelarian dikala terjebak pada problem besar, setelah itu lupa, ini yang bisa diistilahkan pseudo religious. Selain daripada itu agama dan ajarannya hanya sebagai instrument untuk mencapai target duniawi dan pragmatis semata. Seperti tidak sedikit ada fenomena “keintiman beragama” pada saat sedang perhelatan kontestasi politik tertentu. Agama dan ajarannya hanya lip service. Ini yang bisa digambarkan sebagai religiotainment.

Penulis adalah Mantan Ketua Pemuda Muhammadiyah Bantaeng dan Komisioner KPU Bantaeng.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply