Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LingkunganLiterasiNasionalOpiniPolitik dan Hukum

Kota dengan Dua Wajah

×

Kota dengan Dua Wajah

Share this article
Sumber Internet

Oleh : Asratillah

 

Maka Bertandanglah Ke Kota

Kota selalu menarik untuk dipercakapkan, mungkin karena lebih setengah dari penduduk Indonesia telah memilih bermukim di kota (tingkat urbainsasi di Indonesia pada tahun 2011 menyentuh angka 50 %, dan terus menanjak, bahkan diperkirakan tingkat urbanisasi di Indonesia menyentuh angka 63 % pada tahun 2035). Kota dengan kemilaunya senantiasa menyampaikan asa, bahwa jika anda menganggap diri anda sebagai orang yang kurang beruntung, maka bertandanglah ke kota, hidupmu akan semakin baik.

“Semakin baik” yang dimaksud di sini adalah, “baik” dari kacamata ekonomi. Urbanisasi diharapkan akan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi sebuah negara. Kecuali jika sebuah kota sudah mengalami apa yang disebut dengan “levelling-off”, yakni saat tingkat urbanisasi mencapai 75 %, dan ekonomi tidak akan banyak berubah dari tahun ke tahun. Atau saat sebuah kota mengalami gejala “urbanization without development”, dimana pertumbuhan penduduk perkotaan tidak disertai dengan pertumbuhan ekonomi.

Tapi justru indikator “hidup yang semakin baik” yang melulu berdasar pertumbuhan ekonomi inilah yang melahirkan banyak kesemrawutan di perkotaan. Jika kita menggeser sedikit cara pandang kita maka kota akan menyampaikan cerita yang lain.

Kota Makassar misalnya, bolehlah kita bangga bahwa sebelum pandemik pernah mengalami pertumbuhan ekonomi di atas pertumbuhan ekonomi nasional. Tapi lihatlah perubahan bentang alam yang diakibatkan tumbuh kembang infrastruktur di Makassar yang cenderung tidak mengikuti pola perencanaan tertentu (ini ditandai dengan belum disahkannya Rencana Detail Tata Ruang Kota Makassar). Kawasan resapan air yang berfungsi membantu meregulasi air permukaan (surface water), telah diubah fungsinya menjadi kawasan perekonomian. Apa yang terjadi ? genangan air (eufemisme dari banjir) menjadi langganan warga kota, walaupun hujan turun belum terlalu lama. Kawasan-kawasan kota yang tahun-tahun sebelumnya tidak pernah kedatangan banjir, kini mesti hidup intim bersama banjir.

Belum lagi obsesi para pengusahan (dan tentunya dengan persetujuan penguasa), untuk menimbun sana-sani. Maka ini akan membuat kawasan yang dulunya hijau (terutama di daerah sekitar Makassar yang merupakan sumber bahan galian C) mengalami devegetasi, kemampuan resapan air berkurang, sehingga banjir tidak hanya bertambah frekuensinya di dalam Kota Makassar tetapi juga melebar ke kabupaten-kabupaten tetangga. Hal ini akan berimbas ke kualitas air tanah, karena bertambahnya air permukaan secara hidrologis akan mengurangi air hujan yang mengalami perlokasi (pengisian kembali aquifer air tanah) ke dalam tanah.

Komodifikasi ruang-ruang publik, menambah semakin sulitnya warga kota untuk mengakses hak-haknya atas kota. Wicaksono Sarosa dalam Kota Untuk Semua  (2020) menuliskan “ yang lebih terlihat oleh awam adalah tampilan fisik sebuah kota dengan dua wajah : Menara-menara pencakar langit yang berkilau berdampingan dengan perkampungan kumuh bersanitasi buruk; mobil mewah berbagi jalan dengan gerobak pemulung sampah yang ditarik dengan susah payah oleh seorang tua renta; kawasan hunian yang mewah yang dipagari tinggi-tinggi agar di dalam terlihat rapi serta terasa aman dan nyaman, sementara kawasan  permukiman informal dibalik pagar tumbuh semakin tidak beraturan”.

Wicaksono Sarosa sedang ingin menceritakan mengenai ketimpangan di kota-kota kita, termasuk Makassar. Dan ini didukung oleh hasil Penelitian Bank Dunia tentang kondisi perkotaan di Indonesia dalam konteks pembangunan perekonomian, seperti yang disebutkan dalam Time to ACT : Realizing Indonesian’s Urban Potential (2019). Hasil penelitian tersebut memberikan informasi bahwa terjadi peningkatan kesenjangan ekonomi di semua kota di Indonesia, dan ini terlihat secara konsisten dari tahun 2003 hingga tahun 2017, kawasan metropolitan memiliki ketimpangan yang paling tinggi. Hal menarik lain dari penelitian tersebut, yakni ditemukannya bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga kaya akan memiliki akses yang lebih besar ke pendidikan, dan ini akan menawarkan imbalan lebih tinggi pada kemudian hari, ketimbang yang dimiliki oleh anak-anak dari keluarga miskin, dan ini akan berkontribusi pada semakin senjangnya masyarakat perkotaan di Indonesia.

Kota dan Part La Sans-Part

Kesenjangan di perkotaan tentunya akan melahirkan ketidaksetaraan warga kota dalam merealisasikan hak mereka atas kota (right to the city). Ada sekelompok kecil warga kota yang dengan bebas dan leluasanya bisa menikmati waktu senggang di pusat-pusat perbelanjaan, tanpa mesti khawatir dengan urusan perut, kesehatan dan pendidikannya. Tapi tidak sedikit (bahkan ini barangkali bagian yang terbanyak) yang senantias dihantui oleh persoalan-persoalan yang menurut kita sepele, dihantui oleh ongkos transportasi, ongkos pemeriksaan kesehatan, ketidakmampuan menyewa (apalagi membeli) tempat tinggal yang layak, dihantui oleh lingkungan yang tidak aman. Dan celakanya mereka merasa tidak bisa berbuat apa-apa, merasa tidak mempunyai akses dan koneksi ( apalagi jika yang bersangkutan terdeteksi menjadi tim sukses kandidat yang kalah) untuk merubah situasi mereka.

Mereka inilah yang dalam pemikiran Jacques Ranciere, filsuf Perancis, yang disebutkan dengan “part la sans-part”, mereka yang masuk dalam kategori “bagian yang tidak memiliki bagian”. “part la sans-part”  adalah subjek (warga kota dalam konteks esai ini) yang tersingkir akibat skandal ekonomi-politik yang berlabel demokratis. “part la sans-parta” adalah subjek yang mengalami diskriminasi, penyingkiran dan pelemahan semena-mena dalam mengakses hak-hak mereka, terutama hak atas kota.

Secara teoritis “part la sans-part” hadir dari upaya untuk membungkam “mereka-mereka” yang kemungkinan besar menyampaikan ketidaksetujuan kepada “rezim”. “Rezim” berhasrat agar kota menjadi satu tubuh (corpus) yang patuh, dimana yang dilibatkan dalam kota hanyalah mereka-mereka yang memungkinkan bersetuju total dengan konsensus yang dibangun oleh rezim. Perbedaan-perebedaan dalam hal pandangan politik dianggap sebuah penyakit dan ketidaksetujuan-ketidaksetujuan dianggap sebagai makar.

Maka apa yang mesti dilakukan oleh kelompok, pihak atau komunitas yang telah terkategorisasi sebagai “bagian yang tidak memiliki bagian” ?, . Ranciere memberikan dua pilihan, yang pertama mereka yang tersingkir/terdiskriminasi/dilemahkan bisa menunggu status kesetaraan mereka (sebagai warga kota dalam konteks esai ini) secara pasif, inilah yang disebut oleh Ranciere dengan passive equallity. Kesetaraan pasif adalah kesetaraan yang dianugerahkan oleh rezim, yang anda lakukan hanyalah menunggu atau sekalian “menjilat”. Dari sudut pandang “yang berkuasa”, kesetaraan pasif ini kongruen dengan kata “mengakomodir”. Melawan atau terlalu banyak mengkritisi adalah hal yang tak perlu, yang penting adalah kepentingan jangka pendek anda diakomodir.

Pilihan kedua dari Ranciere adalah merebut kesetaraan secara aktif, inilah nanti yang melahirkan active equallity (dan inilah opsi yang disarankan Ranciere). Subjek (alias warga kota) mesti mengaktivasi pikiran, imajinasi, kreativitas dan aksi mereka untuk mematahkan kesewenang-wenangan rezim. Warga kota (dalam konteks esai ini) mesti mampu mengorganisir diri, menyampaikan aspirasi secara otentik dan otonom.

Bagi saya, sangat kerdillah rasanya, jika dalam situasi perkotaan yang semakin kompleks seperti saat ini, masih terus menuntut adanya konsensus penuh, tanpa memberikan ruang hidup bagi ketidaksetujuan-ketidaksetujuan. Demokratis tidaknya sebuah kota, bukan hanya diukur dari sejauh mana suksenya pemilihan kepala daerah, tapi justru dilihat dari sejauh mana rezim yang baru mampu menyediakan tempat bagi “suara-suara lain”, terutama  suara dari mereka yang sering menganggap diri mereka tak berdaya dan kalah oleh derap kencangnya laju kehidupan kota. Apalagi jika di ruang public ada statement untuk “meresetting” atau “me-restart” pihak-pihak yang berpandangan lain dengan rezim kota, bahkan  meminta agar yang tak bersetuju untuk menyingkir secepat mungkin.

Tapi, saya sepakat dengan perspektif Ranciere, kita tidak bisa menunggu kebaikan hati penguasa, sampai mereka mau merealisasikan hak-hak kita sebagai warga kota. Kita mesti punya inisiatif dan keberanian dalam menuntut hak kita menikmati udara kota yang bersih, menikmati fasilitas air bersih, hak kita untuk mengajak keluarga bercanda dan bermain-main di ruang terbuka yang aman dan nyaman, hak untuk bebas dari teror kelaparan dan kekerasan, hak untuk sehat dan sebagainya.

 

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply