Oleh: Agusliadi Massere*
KHITTAH.CO, OPINI– Indonesia sebagai nation-state hakikatnya adalah kebhinekaan, kemajemukan atau pluralitas. Semoga semua menyadari hal ini. Prof. Abdul Mu’ti—sebagaimana dalam naskah “Pidato Pengukuhan Guru Besar”-nya—menegaskan, “pluralitas adalah realitas”.
Lebih lanjut Mu’ti menjelaskan, “manusia berbeda secara basyariah (fisik), syuubiyah (suku bangsa), dan diniyah (agama). Dalam bahasa Arab, pluralitas atau kemajemukan memiliki pengertian yang kurang lebih sama dengan tanawwu, ikhtilaf, taaddud.
Sebagaimana dikutip Mu’ti dari Osman, pluralitas adalah takdir dan sunnatullah: sesuatu yang terjadi sesuai kehendak dan hukum Allah. Bahkan Qardhawi, Daqaq dan Khalil (dalam Mu’ti) menegaskan bahwa pluralitas adalah sebuah keniscayaan yang disebabkan oleh faktor-faktor alamiah, ilmiah dan amaliah.
Indonesia harus melanjutkan perjalanan sejarahnya, dan dalam meng-“institusionalisasi” dan “rasionalisasi” titah kemerdekaannya. Institutusionalisasi dan rasionalisasi, dua istilah yang saya pinjam dari Ahmad Norma Permata.
Institusionalisasi, secara sederhana saya memahami dari Permata, “jalan membangun kehidupan, baik memulai sesuatu yang sebelumnya tidak ada maupun yang sudah ada”. Rasionalisasi, dimaknainya “membuat alasan untuk membenarkan diri”. Titah kemerdekaan tersebut harus terus dibangun dan tidak ada alasan untuk berhenti hanya sebatas, termaktub dalam naskah ikrar kemerdekaan.
Dalam dua hal di atas, yang pada muaranya adalah pembangunan peradaban Indonesia, tidak sedikit bisul-bisul yang mengiringinya. Oleh Buya Syafii menyebutnya “bisul peradaban”. Mengonfirmasi hal ini tidak sulit, selain fenomena tersebut bisa disaksikan langsung, baik melalui media sosial maupun hasil riset dengan data yang lebih terpercaya.
Bisul peradaban ini adalah sebuah antitesa dari kesadaran bahwa pluralitas adalah realitas bahkan sebagai takdir ilahi. Menolak itu sama saja melawan takdir Allah. Di antara bisul-bisul peradaban yang ada adalah intoleransi (baik ekonomi, kebudayaan maupun agama). Yang lebih besar dari itu yang bisa saja dipandang sebagai hasil “metamorfosis” menjadi radikalisme, ekstremisme, konservatif dan fundamentalis. Meskipun “metamorfosis” merupakan diksi yang kurang tepat. tetapi yang pasti ini berbahaya, mengancam pertumbuhan “bibit” kohesivitas sosial dan bangunan persatuan Indonesia.
Di antara tiga ruang intoleransi yang ada, Mu’ti menegaskan bahwa yang mendapat sorotan tajam adalah intoleransi keagamaan. Menurutnya lagi, banyak pihak yang khawatir dengan meningkatnya intoleransi keagamaan di dunia, termasuk di Indonesia.
Data yang dituangkan Mu’ti dalam naskah “Pidato Pengukuhan Guru Besar”-nya bersumber dari Penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah. Data yang ada menunjukkan; 58,15 persen pelajar dan mahasiswa cenderung berpandangan radikal; 51,1 persen intoleran terhadap mereka yang seagama; 34,3 persen intoleran terhadap pemeluk agama lain.
Prof. Haedar Nashir—sebagaimana dalam naskah “Pidato Pengukuhan Guru Besar”-nya, menyampaikan “Indonesia dalam kurun terakhir seakan berada dalam darurat “radikal” dan “radikalisme”. Haedar pun memandang jika konsep radikal dikaitkan dengan apa yang oleh Taspinar menyebutnya “violent movements” (gerakan kekerasan) dapat dipahami sebagai pandangan dan kenyataan yang objektif.
Radikalisme agama, termasuk di sebagian kecil umat Islam pun tentu merupakan fakta sosial yang nyata, ini salah satu poin kejujuran Haedar. Meskipun demikian Haedar pun menegaskan—berdasarkan apa yang saya pahami dari naskah pidatonya—Radikalisme yang ada, jangan dimaknai tunggal sebagai radikalisme agama, apalagi radikalisme Islam.
Dari Haedar tersebut, saya memahami pula bahwa tulisan Hadi Saputra “Terorisme dan Kemunafikan Kita” dengan tiga “Rukun Anti Teror”-nya. Satu di antaranya disebut “cuci tangan” sebagai rukun ketiga, jangan hanya Ulil (dari NU) yang diapresiasi, Haedar (dari Muhammadiyah) pun patut diapresiasi, tidak sedang “cuci tangan” meskipun dengan konten dan pijakan yang berbeda. Sekedar diketahui, dua “Rukun Anti Teror” lainnya dari “Mazhab Hadi” adalah “kutukan” sebagai rukun pertama dan “bela sungkawa” sebagai rukun kedua.
Baik dari “Pidato Pengukuhan Guru Besar” Haedar maupun Mu’ti, tentunya kajiannya sangat dalam dan dalam konteks tulisan ini tidak cukup untuk mengurainya. Selain daripada itu keterbatasan pemahaman yang saya miliki dibandingkan pemahaman beliau berdua. Namun ada sedikit, atau ibaratnya “sebutir” dari samudera perspektif Haedar & Mu’ti yang saya pungut untuk menjustifikasi bahwa apa yang saya tulis memiliki landasan yang jelas dan bisa dipandang pula kokoh.
Haedar merujuk dari Schmid, dalam menilai kaum radikal dan ekstrimis, meskipun ada sedikit perbedaan sikap dan perilaku, namun yang saya tangkap atau istilah saya di atas “pungut” adalah “kondisi pikiran mereka tidak mentolerir adanya perbedaan”.
Dari “sebutir” perspektif inilah, “kondisi pikiran mereka tidak mentolerir adanya perbedaan” saya memandang sebagai pijakan dasar, sebagai titik berangkat (starting point) urgensi dan implikasi daripada “Pendidikan Rahsa”. Term “rahsa” sebenarnya saya tidak menemukannya dalam empat kamus yang saya miliki (termasuk dua di antaranya kamus ilmiah). Saya pun searching di KBBI Online, tidak ditemukan, langsung dialihkan ke term “rasa”. Di google selain di KBBI saya pun belum temukan dari upaya pencarian itu.
Lalu dimana saya menemukan kata yang sangat asing itu? Dan saya yakin pembaca pun akan kesulitan menemukan selain dari tulisan saya ini, dan buku yang saya rujuk jika memilikinya. Istilah “rahsa” maupun “pendidikan rahsa” pertama kali saya temukan dalam buku Haidar Bagir, “Mengenal Filsafat Islam” (2020:37). Dan untuk saat ini, istilah tersebut, sebagai hal unik di alam semesta ini.
Apa itu pendidikan rahsa? Sebagaimana dikutip oleh Bagir dari John Henry Newman—seorang filosof yang menaruh minat besar pada pendidikan—rahsa itu mungkin semacam illative sense. Dan illative sense adalah bagian intelektual manusia yang dapat mengandaikan adanya kompleksitas suatu objek, dan adanya pelbagai kemungkinan manusia mengambil sikap terhadap objek tersebut.
Illative sense itu mirip pula dengan phronesis dari Aristoteles, yakni semacam kebijaksanaan untuk mengakui segala keterbatasan pengetahuan kita, tanpa kehilangan kepastian bahwa kita dapat berbicara tentang kebenaran. Pendeknya, pendidikan rahsa, illative sense, atau phronesis itu akan membuat kita jadi tahu diri. (Haidar Bagir, 2020).
Dari Bagir pula saya menangkap sebuah pemahaman tentang hal tersebut di atas: Pertama, mengandaikan keterbukaan terhadap variasi persepsi, penafsiran, dan akhirnya perbedaan pendapat; dan kedua, sifat relative, persepsi, penafsiran dan pendapat seseorang itu tak lantas mengharuskan kita kehilangan kepercayaan terhadap adanya kemungkinan bahwa, di satu sisi, yang disebut suatu kebenaran itu benar-benar ada; dah bahwa, disi lain, manusia mungkin mencapaianya di sini mesti ditafsirkan sebagai (makin) mendekati.
Jika saya elaborasi dari apa yang saya “pungut” dari Haedar dan saya pahami dari Bagir, bahwa pentingnya kesadaran akan perbedaan, bahwa kita perlu memahami apa yang kita nilai sebagai sebuah kebenaran, bisa jadi kita hanya mampu semakin mendekatinya, meskipun kebenaran itu benar-benar ada. Apalagi jika kita pahami buku karya lain Bagir, “Islam Tuhan Islam Manusia”, akan semakin memahami bahwa pemilik kebenaran mutlak hanya Allah, dan apa yang kita pahami dari hal tersebut telah mengalami historisasi, sehingga memunculkan pemahaman yang beragam.
Inilah urgensi dan implikasi dari “Pendidikan Rahsa”. Sebagai bagian dari intelektual manusia, akan semakin kokoh jika kita mampu menangkap cahaya Al-Qur’an sebagai basis teologis dan psikologisnya.
Dalam Al-Qur’an terdapat dalil yang menumbuhkan kesadaran sikap terbaik terhadap perbedaan dan sebagai bentuk pengingat agar manusia selalu bersikap pluralis, inklusif, egaliter dan kosmopolit, yaitu secara tegas dalam QS. Al-Hujurat [49]:13.
Bahkan Prof. Umar Shihab (2014) dan saya menilai relevan dengan hal tersebut di atas, “Al-Qur’an juga mencela sikap keberagamaan yang gemar membuat pernyataan-pernyataan provokatif mengenai keunggulan pribadi dan kelompok sendiri, termasuk peniruan secara membabi buta, mengagung-agungkan kebesaran nenek moyang beserta produk budayanya. Bagi saya ini bisa juga relevan dengan intoleransi budaya, Penegasan ini bisa dilihat dalam QS. Al-Baqarah [2]: 170. Sikap ini menutup sikap keterbukaan sebagai salah satu poin penting pendidikan Rahsa.
Minimal kedua ayat dari dua surat yang berbeda di atas, bisa menjadi basis teologis untuk memperkokoh bangunan “Pendidikan Rahsa”.
Lalu seperti apa, basis psikologis yang saya maksudkan yang bersumber dari “cahaya Al-Qur’an” pula? Puasa dengan perintah yang jelas dalam QS. Al-Baqarah [2]: 183 secara psikologis memperkokoh bangunan self controlling (pengendalian diri). Sedangkan berdasarkan apa yang saya pahami di atas tentang pendidikan rahsa juga mengsyaratkan kemampuan pengendalian diri. Selain itu, kesabaran, keikhlasan, empati (kepedulian) sebagai dimensi psikologis yang terbangun dari proses puasa mampu menjadi basis psikologis penting dari pendidikan rahsa.
*Agusliadi Massere adalah Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kab. Bantaeng Periode 2018-2023