Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Sastra

Catatan Rindu Seorang Guru

×

Catatan Rindu Seorang Guru

Share this article

Oleh: Sulistiyani*

Hujan turun tak mau berhenti

Membawa kenangan silih berganti

Hanya Tuhan yang tahu pasti

Kapan pandemi berlalu pergi

Sayup-sayup terdengar merdu

Jeritan rindu mengalir syahdu

Murid dan guru ingin bertemu

Inilah catatan rindu seorang guru

Sudut mata Rindu mulai kembali menekuri satu-persatu tulisan yang ada di depan layar. Sudah seharian ia berada di kursi kayu yang sudah terlihat usang. Warna kuning catnya pun mulai pudar. Tak ada bantalan busa yg dapat membuat duduknya lebih nyaman untuk berjibaku dengan nilai siswanya, yang entah berapa lama lagi dapat diselesaikan. Sesekali terlihat Rindu membetulkan kacamata-nya yang ke-sekian kali harus turun ke pangkal hidungnya yang minimalis. Perpaduan wajah oval dengan bibir mungil dengan kedua alisnya yang terlihat masih asli tak pernah mendapat sentuhan pinset sama sekali. Tidak ada yang menyangka, usianya sudah menginjak 59 tahun. Mendekati masa pensiun.

“Bunda, istirahat dulu yuk. Nanti Bunda sakit jika harus berlama-lama di depan laptop!” ajak suaminya yang sedari tadi membaca buku di ruangan yang sama dengannya.

“Ayah saja yang istirahat dulu. Nanti Bunda nyusul,” jawab Rindu sembari jemarinya menari di atas keyboard dengan pandangan lurus ke arah layar. Suaminya yang tidak tega melihatnya mencoba menemaninya di ruangan itu,  dengan duduk di kursi yang berjarak 1,5 meter dari tempat istrinya duduk. Mulai subuh, dilihat istrinya bergeming di depan laptop. Berhenti sejenak, mengolah makanan di dapur, kemudian melanjutkan kembali pekerjaannya di depan laptop. Laptop yang berumur   sama dengan saat di berlakukannya WFH bagi guru-guru di tempat ini. Wilayah yang termasuk zona merah, sehingga mengharuskan guru untuk Bekerja Dari Rumah (BDR).

Rindu, di usianya menjelang pensiun, perlu waktu untuk belajar kembali menggunakan teknologi yang menjadi bagian dari pembelajaran Daring (Dalam Jaringan). Tidak mudah mempelajarinya, apalagi di usianya yang mulai senja. Bersyukur ada guru muda yang dengan sabar mengajarinya. Menyediakan waktu kerumahnya, untuk mengajari bagaimana agar dapat melaksanakan Pembelajaran Tatap Muka melalui Zoom, bagaimana membuat kelas Learning Management System (LMS) menggunakan Schoology. Serta bagaimana mengolah nilai, bukan di atas kertas, namun secara online.

Berat sekali saat pertama kali Rindu harus menghadapi kenyataan itu, tetapi semangatnya selalu membara. Gajinya dari sekolah swasta tidaklah banyak, cukup untuk memenuhi biaya hidup berdua dengan suaminya yang sudah tidak lagi bekerja. Sehingga, ia harus menjual motor suaminya untuk mendapatkan sebuah laptop baru agar bisa bekerja saat Work From Home (WFH).

Selama hampir setahun pandemi, ia bisa melewati masa-masa mengajar dengan Daring. Meski di awal sulit, karena butuh adaptasi dengan belajar teknologi, tetapi pada akhirnya semua dapat terlewati. Hingga tiba saat mendekati akhir semester, seluruh guru disibukkan untuk mengolah nilai. Di sinilah Rindu kembali berjuang, membuka satu-persatu tugas online siswanya, memeriksanya, dan memberikan penilaian di  Schoology. Butuh waktu dari mulai membuka aplikasi, membuka tugas siswa, memeriksa dan memberikan nilai. Apalagi jika sinyal internet tak bersahabat, maka proses penilaian tidak dapat di laksanakan. Tidak semudah saat mengoreksi nilai anak-anak di atas kertas, hanya butuh beberapa menit menyelesaikannya.

Itulah mengapa Rindu sedari pagi bergeming dari tempatnya duduk. Meresahkan hati suaminya yang khawatir jika ada sesuatu hal yang tidak diinginkan. Apalagi di usia istrinya yang tak lagi muda. Suaminya sangat mengenal istrinya dengan baik, jika belum selesai pekerjaan, tidak mungkin berlalu dari tempat duduknya. Kecuali jika memang dia benar-benar tak kuasa menahan lelahnya. Akan dihentikan sendiri pekerjaannya tanpa di paksa. Suaminya kemudian berlalu, meninggalkan Rindu yang tetap fokus pada layar. Sejenak tangannya berhenti, kemudian membaca nama di depan layar, sembari mengerutkan dahi. Satu nama yang mulai kembali diingat perlahan.

Elang. Dari empat tugas yang diberikan, dua nilai ulangan harian, dua portofolio, dan Penilaian Akhir Semester, tak satupun dikerjakan. Kolom nilai Elang kosong. Sejak awal Elang tidak pernah masuk kelas online. Rindu sudah mencoba menghubungi Elang, tetapi tidak bisa menghubungi nomor yang tersimpan di gawainya. Rindu menyampaikan kepada wali kelasnya untuk menindak-lanjuti masalah Elang. Hingga saat ini, tak ada kabar berita darinya. Saat dilakukan Home Visit kerumahnya, ternyata rumah kontrakan yang ditempati Elang bersama keluarganya kosong. Menurut informasi dari tetangga Elang, mereka pindah ke kampung halamannya.

Teriris hati Rindu mendengarnya. Sangat lekat di ingatannya saat awal masuk sekolah, Elang menjadi perhatian utamanya. Tiap masuk kelas di saat jam pelajaran Rindu, Elang selalu terlambat masuk kelas, dan beberapa kali tidak masuk tanpa keterangan. Hingga Rindu mencari keterangan tentang Elang, dan mencoba melakukan pendekatan dengan kesabaran seperti pada anaknya sendiri. Rindu adalah guru yang sabar, keibuan, hingga banyak siswa yang merasa nyaman jika harus bercerita masalah mereka kepada Rindu. Meski di usia tuanya belum memiliki keturunan, tetapi justru keibuannya sangat terlihat jelas di mata murid-muridnya.

“Duduk nak,” ucap Rindu pada Elang yang sudah berada di ruang BK saat itu.

“Terima kasih, Bu,” jawab Elang.

“Elang. Kita ngobrol ya. Ibu ingin mendengar cerita Elang, tenang saja Nak, tidak ada yang perlu ditakutkan. Ceritakan semua dengan jujur. Agar ibu tahu alasan Elang yang sering terlambat dan tidak masuk kelas,” pinta Rindu.

“Ibu mau tahu cerita Elang tentang apa?” tanya Elang kembali.

“Semua Nak. Dari perjalananmu ke sekolah, dan keluargamu. Namun, sebelumnya kita makan kue dulu ya, sambil minum. Temani ibu istirahat dulu, karena ibu juga lapar ini. Ayuk kita makan dulu!” ajak Rindu pada Elang. Usai makan dan minum, Rindu meminta Elang menceritakan semua kisahnya.

“Elang sudah tidak punya orang tua, Bu,” katanya. Terlihat matanya mulai berkaca. Lelaki yang terlihat garang di mata teman-temannya dan siapapun yang melihatnya, kini nampak rapuh di depan gurunya. Rindu mengusap bahu Elang sekilas untuk menenangkan dan kembali mengajaknya berbicara dengan hati-hati.

“Orang tua Elang meninggal karena kebakaran. Elang saat itu masih kecil, dan Elang di selamatkan oleh tetangga yang rumahnya tidak sampai ikut terbakar. Elang sejak kecil tinggal di panti asuhan. Hingga ada keluarga Elang yang akhirnya mengajak Elang ikut tinggal di rumahnya,” suaranya terhenti. Tangisnya tak sanggup ia bendung. Hatinya terlihat rapuh. Rindu coba menenangkan kembali dengan sabar.

“Sabar ya Nak, doakan orang tuamu tenang di sana. Saat ini Allah sayang pada Elang dengan diberikan ujian seperti ini. Karena Elang hebat, Elang kuat, itulah kenapa Elang adalah hamba pilihan. Jangan meratapi kesedihan, karena Elang adalah lelaki tangguh. Lalu Elang kenapa terlambat dan sering tidak masuk sekolah?” tanya Rindu kembali.

“Elang harus ikut bekerja membantu keluarga yang Elang tinggali. Terkadang beberapa malam berada di laut untuk mencari ikan. Saat terlambat itu karena Elang ketinggalan kapal yang membawa Elang ke sekolah. Jadi Elang harus mencari tumpangan kapal lainnya, Bu.” Kata Elang menjelaskan.

Semenjak pertemuan dengan Elang, Rindu tergerak hatinya untuk membantu membelikan makanan ataupun uang jajan untuk Elang. Perhatian itulah yang membuat Elang bersemangat belajar, dan mengatur waktunya agar tidak terlambat kesekolah. Nilai pelajaran juga naik. Hingga saat pandemi terjadi, Rindu tak lagi mendapat kabar dari Elang. Tak bisa menghubunginya, hingga wali kelas menyampaikan jika Elang dan keluarganya sudah tidak lagi tinggal di rumah kontrakannya di daerah pesisir pantai. Rumah yang harus ditempuh perjalanannya melalui kapal kecil atau biasa masyarakat menyebutnya dengan kapal klotok. Terasa berat perjuangan anak nelayan mencari ilmu karena jarak dan waktu.

Rindu mengusap airmata yang sedari tadi tak terbendung. Mengalir tanpa henti, mengingat kepedihan yang terpancar pada wajah Elang saat itu. Kini, nilai Elang kosong, seperti keberadaan Elang yang hilang tanpa ada kabar beritanya. Kosong. Seperti hatinya saat ia harus berjuang tanpa kedua orang tuanya. Hatinya menjerit, sekian tahun menunggu keberadaan anak dalam rahimnya, tetapi ujian kesabaran harus ia terima dengan kesepian yang mendera. Andaikan saja Elang adalah anaknya, akan ia rawat dan didik penuh cinta. Namun, takdir tak mempertemukan mereka saat ini. Kerinduan tanpa henti pada hati, terlebih saat pandemi. Ingin menyapa anak- anak didiknya, bertemu muka dan mengajar secara langsung kepada mereka.

Rindu yang semakin syahdu, mengumbar rasa perih mengingat satu-persatu kisah murid-muridnya. Elang, dan Elang-Elang lain yang belum ia ceritakan. Rindu mendengar jeritan hati anak-anak yang mengalami kesulitan belajar, yang mengurai kisah lain yang tak pernah diceritakan dunia. Hanya percaya kepada guru yang ingin mendengar kisahnya, untuk berbagi dan peduli dengan mereka. Betapa rindu ingin memeluk mereka, mendengarkan kisah anak-anak yang dirundung lara. Bertatap muka mengajarkan mereka penuh cinta, menyadarkan murid-muridnya tentang arti ketulusan seorang guru, yang tak hanya tertulis dalam selembar kerta surat tugas. Namun, orang tua yang selalu peduli dengan mereka.

Terkadang, kita harus memeluk duka, untuk merengkuh bahagia. Begitulah Rindu selalu menguatkan murid-muridnya yang merasa patah sayapnya. Agar kelak, mereka mampu melewati tiap ujian kehidupan dengan penuh perjuangan. Hingga dunia dapat mereka genggam. Inilah catatan Rindu seorang guru. Rindu tanpa kata, rindu tanpa suara, rindu tanpa jarak dan waktu.

*Penulis/Guru di SMKN 2 Balikpapan

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply

Opini

Oleh: Dzanur Roin* Seorang ayah bersama putranya berjalan ke…

Sastra

Oleh: Rita Audriyanti*  Sejak Bapak dimakamkan tanpa kehadiran Emak…