Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Memulihkan Kesakitan Pancasila

×

Memulihkan Kesakitan Pancasila

Share this article

Oleh: Adrian Al-fatih

Setiap tanggal 1 Oktober, bangsa Indonesia seperti dipaksa untuk melakukan refleksi secara kolektif-formil memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Ini dimulai sejak orde baru. Bermula dari keberhasilan seluruh kekuatan nasional di bawah kepemimpinan Letjen TNI Soeharto menumpas kudeta dan pemberontakan G30S/PKI tahun 1965. Biasanya sebulan atau minimal pekan-pekan sebelumnya kita seperti sangat terbiasa mengulang ritus tahunan soal isu kebangkitan PKI. Semua meributkan PKI, mulai dari lorong-lorong sempit sampai ke ruang-ruang para elit kita.

Mungkin masih jelas dalam ingatan kita semua, bagaimana setahun yang lalu tepat bulan dengan momentum yang sama kita diributkan dengan Rancangan undang-undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) dan BPIP yang akhirnya mendapat penentangan keras dari berbagai elemen kekuatan nasional. Tentu ini bukan kali pertama pembuatan Instrumen pelembagaan Pancasila. Pada orde lama ada program Tujuh Azimat Revolusi, di orde baru ada yang disebut dengan BP7 dan P4 serta pada pemerintahan sekarang dibentuk BPIP. Apalah arti membuat instrumen Pancasila, tetapi minus political-will dan orientasi tindakan yang nyata? Apakah yang menjadi agenda paling mendesak dari Pancasila?

Yang hilang dari Pancasila

Apabila 1 Oktober hanya diperingati sebatas seremoni tahunan yang miskin pemaknaan dan perenungan, maka penting untuk kita pikirkan kembali bagaimana seharusnya Pancasila kita dudukkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika dahulu tantangan dan pengkhianatan terhadap Pancasila berupa fisik seperti revolusi dan pertumpahan darah (latar belakang historis dijadikannya 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila) maka tantangan dan pengkhianatan saat ini lebih halus dan meluas. Ia berwujud Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), Oligarki Politik-ekonomi, produk legislasi yang tidak berpihak kepada rakyat, hukum tebang pilih, penggusuran, tindakan represif aparat, kekerasan atas nama agama, kejahatan lingkungan dan lainnya. Kita sama saja membunuh Pancasila jika sebatas dislogan-jargonkan karena yang darurat dari Pancasila adalah pengamalan.

Adanya jarak yang begitu jauh antara Pancasila sebagai idealitas-ideologis dan realitas-kebijakan adalah masalah nyata kita hari ini. Radikalisasi Pancasila dari keyakinan dan pengetahuan ke praksis tindakan merupakan suatu keharusan. Walau ini merupakan pekerjaan yang sulit di suatu negeri yang dirundung banyak masalah, kata Yudi Latif dalam bukunya Revolusi Pancasila.

Pancasila tentu tidak cukup Ketika hanya menjadi seperangkat teks-ideologis karena hanya akan berakhir dengan jargon-jargon, hafalan-hafalan dan kuis berhadiah sepeda, tetapi harus naik kelas, menjadi praksis-ideologis yang memiliki kekuatan rill dalam melakukan perombakan mendasar pada ranah material-mental-politikal sebagai katalis bagi perwujudan keadilan sosial.

Menguji Kesaktian Pancasila

Cendekiawan muslim, Yudi Latif dalam “Pancasila sakti” di Republika, 2 Oktober 2013, menyatakan, “Pancasila hanya bisa menjadi sakti bila setiap sila-silanya benar-benar dibumikan dalam dunia kenyataan. Dalam terang pemahaman ini, ritual kesaktian Pancasila tidak lagi dirayakan dengan tuduhan kambing hitam yang mengucilkan suatu golongan, melainkan dengan mengobarkan semangat gotong royong, mengetuk keinsyafan semua pihak untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila,”.

Pancasila telah banyak melewati ujian sejarah, itulah mengapa lahir narasi tentang Kesaktian Pancasila. Seperti mitologi orang jawa tentang burung garuda yang perkasa. Seolah memberikan pesan, siapapun yang akan mengusik dasar negara (pancasila) akan berhadapan dengan cakar dan paruh sang garuda yang digdaya ini. Namun kesaktian ini seperti tidak berdaya di depan kekuasaan yang semakin korup. Lihatlah mereka yang disumpah atas nama Pancasila. Di saat yang sama mereka seperti berlomba-lomba mengkhianati nilai-nilai substantif Pancasila dengan terang-terangan. Pancasila dipakai hanya sebagai mantra untuk menipu kita semua.

Pancasila yang sakti tentu adalah Pancasila yang sebagai falsafah, pandangan hidup, yang oleh Soekarno disebut sebagai “philosophische grondslag” atau “Weltanschauung”, dan ideologi kenegaraan yang mengandung cita hukumnya (rechts idee) tersendiri. Bahwa nilai-nilai Pancasila harus dipandang sebagai norma dasar bernegara (Grundnorm/ Staatsfundamentalnorm) yang menjadi sumber dari segala sumber hukum di Indonesia.

Menjadi pekerjaan rumah yang besar kepada  seluruh elemen anak bangsa untuk membumikan nilai Pancasila dalam laku nyata kehidupan kita. Untuk memulihkan kesakitan menjadi kesaktian kembali, maka nilai Pancasila harus kembali kepada khittahnya sebagai jiwa dalam berbangsa dan bernegara serta menjadikannya sebagai kritik dan alat kontrol kebijakan negara.

Di tengah gelombang pesimisme terhadap masa depan kehidupan kebangsaan, Ketua umum PP Muhammadiyah pernah menyampaikan pesan dalam pidatonya #IndonesiaJalanTengahIndonesiaMilikSemua.

“Kami percaya masih banyak elite dan warga bangsa yang berhati tulus, baik, jujur, dan terpercaya dalam berbangsa dan bernegara. Bila masih terdapat saudara-saudara sebangsa yang salah dan khilaf, serta memiliki kehendak yang berlebihan dalam kekuasaan politik dan ekonomi maupun orientasi hidup lainnya, maka masih terbuka jalan kebaikan yang dibukakan Tuhan untuk kembali ke jalan terang dan tercerahkan. Kuncinya ialah kemauan, ketulusan, kejujuran, dan kebersamaan dalam berbangsa dan bernegara milik semua. Luruhkan ego diri, kroni, institusi, dan golongan dengan mengedepankan kepentingan bangsa dan negara demi masa depan Indonesia yang dicita-citakan para pendiri negara.”

Pesan Prof. Haedar Nashir diatas adalah do’a penutup dari refleksi singkat ini, semoga mendapat amin kolektif dari kita semua.

Salam Pancasila,

Billahi fii sabililhaq, fastabiqul khaerat

*) Penulis adalah Ketua Umum PC IMM Makassar Periode 2019-2020

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply