Oleh: Muhammad Chirzin
Pendidikan adalah usaha untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia, baik di hadapan sesama maupun di hadapan Tuhan. Segala hal yang merintangi dan menghambat tercapainya tujuan mulia itu harus disingkirkan. (Jika belum membaca tulisan bagian 1, sebaiknya dibaca melalui link: Republik Muhammadiyah (Bagian 1))
Muhammadiyah menempuh jalan sunyi, tidak beroposisi terhadap Pemerintah; tidak memusuhi dan tidak pula menjilat Pemerintah. Muhammadiyah berakhlak wasathiyah. Semua dilakukan oleh para pejuang Muhammadiyah secara mandiri dengan ikhlas. Muhammadiyah menjawab problem sosial dengan amal. Masalah kesehatan, Muhammadiyah membangun rumah sakit, masalah pendidikan, Muhammadiyah membangun lembaga pendidikan dari tingkat TK sampai dengan Perguruan Tinggi. Masalah ekonomi, Muhammadiyah menggerakkan Lazismu dan amal usaha lainnya, walaupun hasilnya belum maksimal.
Muhammadiyah merupakan gerakan pembaharuan keagamaan Islam era modern yang menurut istilah Prof. M. Amin Abdullah menggabungkan dimensi teologis-filosofis dan sosial praktis. Kedua wilayah tersebut ibarat dua sisi dari sekeping mata uang yang sama. Corak pembaharuan pemahaman keagamaan Islam Muhammadiyah pada zamannya cukup orisinal dibandingkan dengan corak gerakan pembaharuan keagamaan Islam yang berkembang di luar negeri.
Belakangan muncul kritik internal kepada persyarikatan Muhammadiyah yang terkesan kering dan tidak lagi vokal dan seagresif dahulu dalam menyerukan ide-ide pembaharuan pemahaman keagamaan, khususnya dalam hubungannya dengan realitas historis masyarakat Muslim yang hidup di tengah-tengah era modernitas. Para aktivis dan penerus gerakan Muhammadiyah terkesan telah terjebak oleh rutinitas menjalankan perputaran roda organisasi. Mengapa gerakan sosial keagamaan Islam yang bercorak organisatoris yang dahulu bebas dan leluasa bergerak akhirnya terjebak oleh liku-liku birokrasi organisasi yang diciptakan sendiri untuk mencapai tujuan yang ditetapkan oleh persyarikatan?
Keterjebakan itu pada wilayah pendidikan, dari TK sampai dengan Perguruan Tinggi, dan bidang pelayanan kesehatan; rumah sakit, poliklinik, rumah bersalin, dan lain sebagainya. M. Amin Abdullah mengajukan tiga resep untuk membangkitkan kembali semangat gerakan pembaharuan Muhammadiyah yang bercirikan keterkaitan antara normativitas wahyu dan historisitas keberagamaan Islam. Ketiganya merupakan kesatuan yang tak terpisah.
Pertama, pemahaman ijtihad dan tajdid Muhammadiyah diarahkan kepada objek sasaran kehidupan sosial keagamaan yang semakin kompleks dalam era modernitas yang menyentuh dataran cara berpikir, mentalitas, dan perilaku keagamaan pada umumnya.
Kedua, pola perjuangan keagamaan Muhammadiyah yang masih bersifat konvensional perlu disesuaikan dengan wilayah religiusitas keberagamaan Islam masa kini seiring dengan perkembangan wilayah kebudayaan ilmu dan teknologi yang merebak hingga kini.
Ketiga, mengevaluasi sumber pangkal tolak rutinitas atau kemandegan berupa struktur organisasi kepengurusan, dan mengembangkan struktur organisasi Muhammadiyah sesuai dengan perkembangan manajemen organisasi modern. Barangkali termasuk periodesasi masa bakti dan kaderisasi pada setiap lini amal usaha Muhammadiyah.
Masih menurut Prof. M. Amin Abdullah, simbol-simbol kultural baru telah bergeser ke arah upaya memperkuat disiplin nasional, kepedulian sosial berupa gerakan orang tua asuh, pelestarian lingkungan hidup, dan lain-lain. Agenda ijtihad Muhammadiyah perlu merambah pada pemikiran politik; demokratisasi, hubungan yang transparan antara negara dan warga negara, penguatan masyarakat sipil, hak-hak tenaga kerja, kesadaran hukum dan persamaan hak di muka hukum, hak asasi manusia, alternatif budaya tekonlogi modern, pendayagunaan hutan, tata guna lahan, tata wilayah kota, dan lain-lain.
Prof. Kuntowijoyo mengidentifikasi enam tantangan masyarakat yang kompleks dan multidimensional yang dihadapi Muhammadiyah. Pertama, sekularisme yang meniadakan transendental agama dalam kehidupan. Kedua, spiritualisme berupa kecenderungan untuk mencari makna-makna pada hal-hal yang spiritual, tetapi tidak identik dengan agama, bahkan muncul spiritualitas yang menolak agama secara formal. Ketiga, intelektualisme, yakni kecenderungan menjadikan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai agama baru. Keempat, keruntuhan dan hilangnya kepercayaan pada ideologi-ideologi mapan seperti yang ada selama ini. Kelima, demokrasi dalam segala hal. Terakhir, postmodernisme.
Menurut Prof. Koentowidjoyo, ilmu sosial tidak boleh berpuas diri dalam usaha untuk menjelaskan atau memahami realitas dan kemudian memaafkannya begitu saja, tapi lebih dari itu ilmu sosial harus juga mengemban tugas transformasi menuju cita-cita yang diidealkan masyarakatnya dengan tiga nilai dasar sebagai pijakan ilmu sosial profetik, yaitu humanisasi, liberasi, dan transendensi.
Prof. M. Din Syamsuddin mencatat bahwa selama ini warga Muhammadiyah menggunakan istilah gerakan, dakwah, tajdid; trilogi gerakan yang disampaikan dalam training-training di Angkatan Muda Muhammadiyah, tetapi by design and by concept, apakah Muhammadiyah memenuhi syarat sebagai gerakan dalam tataran teoretis; kemudian lihat pada dataran empiris di lapangan. Organisasi lebih rapi, punya instrumen yang lebih rapi, serta piranti-piranti lunak dan keras yang baik, dan juga ada proses organisasional yang baik dengan prosedur dan mekanisme yang baik. Sebuah gerakan lebih dari sekadar organisasi. Gerakan (harakah) paling tidak mengandung dua aspek utama, yaitu adanya proses sistematis-dinamis, dan sistem yang dinamis untuk mencapai tujuan; atau dinamis yang sistematis.
Masih menurut Prof. Din Syamsuddin, Muhammadiyah perlu menjelaskan sejelas-jelasnya apa tujuannya dalam satu blue print (cetak biru) masyarakat ideal atau cita-cita sosial yang dimiliki. Muhammadiyah bertujuan mewujudkan masyarakat yang utama. Dalam kasus mendirikan sebuah universitas, misalnya, aksi untuk beramal tinggi, tapi dimensi refleksinya kurang, yakni dengan memikirkan fakultas apa saja yang cocok dan perlu dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan zaman. Barangkali termasuk penempatan kader-kader persyarikatan terbaik pada lembaga-lembaga amal usaha sesuai dengan bakat, keterampilan, keahlian, dan kepakaran, serta tanggung jawabnya.
Menurut Prof. H. Noeng Muhadjir, muslim harus menjadi kontributor signifikan bagi pengembangan teknologi. Jangan hanya dapat mengucap masyaallah ketika terkagum pada temuan hebat, atau mengucap astaghfirullah ketika temuan teknologi membuat malapetaka. Umat Islam harus berkiprah dalam forum apa pun.
Prof. H. Suyanto berpesan, bahwa jika pendidikan Muhammadiyah ingin berubah sesuai dengan kompleksitas masa depan, perubahan-perubahan itu perlu dilakukan secara terus-menerus secara tersistem, karena di masa depan tingkat keusangan kelembagaan pendidikan Muhammadiyah akan berjalan sangat cepat.
Menurut Prof. H. Djamaluddin Ancok, pendidikan adalah wahana untuk mempersiapkan manusia di dalam memecahkan problema kehidupan di masa kini maupun di masa datang. Oleh karena itu sistem pendidikan yang dikembangkan oleh suatu masyarakat harus mampu membangun kompetensi manusia untuk mempersiapkan kehidupan yang lebih baik.
Ilmu dan teknologi menjadi bagian dari rangkaian ijtihad manusia memahami hakikat kebenaran Ilahi yang menjadi dasar setiap realitas faktual yang menjadi objek kajiannya, kata Prof. Musa Asy’arie. Implementasi kesatuan organik akal dalam proses belajar mengajar di dunia pendidikan Muhammadiyah seharusnya dapat dikembangkan secara aktual dalam berbagai kajian dan rancangan studi-studi, sehingga tidak terjebak dalam dikotomi kiri-kanan, jasmani-rohani, dunia-akhirat, agama-nonagama, dan lain-lain yang justru tidak mencerahkan.
Tentang seni, H.M. Muhammad Muqoddas berpendapat bahwa berkesenian itu bila dilaksanakan untuk ibadah akan mendapat pahala. Sedangkan menurut Hj. Siti Chamamah Soeratno, dalam era pembangunan nasional, karya-karya sastra Indonesia yang fungsional dalam kehidupan masyarakat diciptakan oleh warga masyarakat yang committed dengan upaya menciptakan masyarakat dan bangsa idaman. Dengan demikian, kehadiran cipta sastra di persada Indonesia ini sangat fungsional, khususnya pembangungan di bidang sumber daya manusia.
Tentang peran perempuan, Prof. Hj. Siti Chamamah Soeratno berpendapat, selama ini belum disadari secara baik, bahwa perhatian terhadap wanita Indonesia tidaklah berarti persamaan haknya dengan kaum pria, melainkan menempatkan fungsinya sebagai faktor yang potensial di masyarakat. Dengan demikian, wanita dilihat dari segi kiprahnya sebagai sumber daya manusia yang potensinya sama pentingnya dengan pria. Maka wanita Indonesia yang jumlahnya lebih dari separoh penduduk, menyimpan potensi yang harus diperhitungkan dalam pembangunan bangsa dan masyarakat.
Prof. H. Yunahar Ilyas menegaskan bahwa perempuan dapat berperan dalam organisasi massa Islam, pengurus yayasan, aktivis lingkungan, pejuang hak asasi, aktivis partai politik, jadi menteri, bahkan menjadi presiden sekalipun.
Menurut Prof. H.M. Dawam Rahardjo, puncak dari hasil perkembangan intelektual dan kultural bangsa Indonesia dalam merumuskan konsep nasionalisme Indonesia adalah dirumuskannya Pancasila, yang terutama menggambarkan nilai-nilai fundamental yang dianut oleh bangsa Indonesia. Tantangan yang perlu jawaban Muhammadiyah adalah soal etika bisnis. Kesenjangan ekonomi antara kekutan ekonomi konglomerasi dan kekuatan ekonomi rakyat dewasa ini memberi petunjuk adanya ketidakberesan dalam aturan main dunia bisnis. Tetapi belum ada orang yang secara intelektual dan mental mampu mengungkapkan ketidakberesan tersebut. Muhammadiyah sebagai gerakan amar makruf nahi mungkar sehausnya memiliki kekuatan mental untuk bisa mengungkapkan ketidakberesan itu.
Dalam mengembangkan demokrasi, menurut Prof. H.M. Zamroni, diperlukan pendidikan demokrasi. Pendidikan demokrasi hanya akan lahir dalam pendidikan yang demokratis. Oleh karena itu, demokratisasi pendidikan Indonesia merupakan keniscayaan.
Menurut Prof. H. Sjafri Sairin, sebab-sebab KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) selain tunakuasa adalah rendahnya pendapatan dan beratnya beban kultural (cultural burden) yang bergelayut di bahu masyarakat. Beban kultural akan menjadi lebih berat ketika masyarakat mengalami mobilitas sosial secara vertikal, tiba-tiba, dan keluar dari alur kehidupan yang telah lama digelutinya.
Prof. H. Haedar Nashir memberikan beberapa catatan sebagai berikut. Muhammadiyah saat ini berada dalam pusaran ideologi dan dinamika kehidupan masyarakat yang angat kompleks, baik pada tingkat nasional maupun golobal. Lebih khusus perkembangan umat Islam dengan segala macam orientasi ideologis dan gerakannya. Muhammadiyah tidak cukup hanya mengandalkan usaha-usaha pragmatis atau berjalan mengikuti hukum dinamika alamiah belaka, tanpa berpijak pada prinsip-prinsip gerakannya yang bersifat ideologis, sesuai dengan pesan Al-Quran, Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan. (QS 59:18).
Muhammadiyah telah merumuskan kondisi objektifnya sebagai berikut. Kekuatan Muhammadiyah terletak pada: (1) fondasi Islam yang berlandaskan pada Al-Quran dan Al-Sunnah disertai pengembangan ijtihad; (2) reputasi Muhammadiyah sebagai gerakan Islam modern yang terbesar dan dikenal luas secara nasional maupun internasional: (3) jaringan organisasi yang tersebar di seluruh penjuru tanah air dan beberapa negara; (4) perkembangan amal usaha Muhamadiyah yang sangat besar secara kuantitatif yang menjadi aset sumber daya, fasilitas, infrastruktur yang sangat penting bagi persyarikatan dalam memajukan kehidupan bangsa dan umat manusia; (5) Muhammadiyah sebagai kekuatan organisasi kemasyarakatan yang telah berkiprah lama dan luas menjadi modal sosial dan moral serta kekuatan politik kebangsaan yang diperhitungkan.
Muhammadiyah memiliki beberapa peluang dalam gerakannya: (1) keterbukaan masyarakat Indonesia yang semakin baik dan demokratis untuk mengembangkan geraknya lebih luas dalam berbagai lini kehidupan; (2) era otonomi daerah yang memberikan keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangganya menjadi peluang bagi Muhammadiyah di daerah-daerah untuk lebih berperan dalam pengambilan keputusan publik dan pembangunan daerah; (3) pengakuan masyarakat internasional terhadap Muhammadiyah membuka peluang kerjasama yang sangat luas dengan pemerintah di berbagai negara maupun lembaga-lembaga internasional; (4) ASEAN Charter memberikan peluang bagi Muhammadiyah untuk memperluas gerakannya menembus batas NKRI dan memasuki wilayah sepuluh negara ASEAN; (5) Momentum bergesernya titik berat gravitasi geo-politik, geo-ekonomi, dan geo-sosial budaya dari Eropa dan Amerika Utara ke Asia, khususnya China, dapat dimanfaatkan untuk lebih memperkuat, memodernisasi, dan merekontekstualisasi gerakan Muhammadiyah.
Para begawan tidak bisa berumah di atas angin, lebih-lebih tenggelam di bawah atap kantornya sendiri, tanpa melibatkan diri dalam agenda-agenda pemikiran dan aksi pencerahan bangsa. Di dunia Muslim, mereka yang berilmu tinggi tidak cukup sekadar menjadi al-rasikh al-‘ilm, mereka pun harus menjadi ulul albab, yang selain berilmu dan berspiritual tinggi, sekaligus harus menjadi al-muhtadun, penyebar hidayah Tuhan di muka bumi. Dengan kata lain, sebagai pembawa obor pencerahan.
Menurut Prof. H.M. Yunan Yusuf, umat Islam mempunyai kewajiban memberikan kontribusi yang sebesar-besarnya di tengah-tengah masyarakat yang sedang memasuki era reformasi. Dalam kaitan inilah internalisasi etika Islam dalam etika nasional menjadi strategis dalam membangun masyarakat Indonesia Baru.
Membicarakan pangan di Indonesia sangat identik dengan padi. Setiap saat permintaan beras luar biasa lonjakannya. Ironisnya yang hidupnya paling miskin adalah petani yang menanam padi. Demikian, tegas H. Said tuhuleley.
Prof. H. Ismail Sunny menyatakan bahwa rule of law menjamin stabilitas politik dan ekonomi. Islam mewajibkan kita untuk melaksanakan dan memperjuangkan terlaksananya sistem ekonomi kerakyatan dan sistem politik yang adil dan demokratis. Artinya, Islam mengharuskan adanya demokrasi ekonomi dan demokrasi politik dalam arti yang sebenarnya, kata Sritua Arief.
Menurut H.M. Sukriyanto AR, bila Muhammadiyah berhasil dalam melakukan gerakan ekonomi, maka usaha-usaha untuk menjadi Gerakan Islam dan Gerakan Dakwah dalam arti yang sebenarnya insyaallah akan dapat diwujudkan.
Prof. H. Yahya Muhaimin mencatat bahwa kemampuan pertahanan Indonesia harus dibina secara relatif merata dengan proporsi yang tepat dari kekuatan laut, udara, dan darat. Sinergi kekuatan gabungan yang handal dan selalu siap tempur yang biasa disebut military preparedness merupakan unsur penting bagi kekuatan suatu bangsa atau national power.
Menurut Prof. Syafiq A. Mughni, yang paling penting dilakukan oleh Muhammadiyah ialah menyediakan diri tumbuh sebagai kekuatan reformatif di abad ke-21 sebagaimana Nabi saw dan para sahabatnya telah melaksanakan itu di abad ke-7. Muhammadiyah tidak boleh berhenti pada keberhasilan reformasi moral di abad ke-7; karena itu harus ada reformasi yang sama di abad ke-21. Reformasi semacam itu hanya akan mungkin dilakukan Muhammadiyah jika mampu mengendalikan humanisme sekuler ke arah humanisme religius, yakni nilai-nilai kemanusiaan yang tidak terpisah dari Islam.
Optimalisasi peran Muhammadiyah sekarang dan untuk masa depan harus didukung berbagai gagasan dan peran pembaharuan yang selalu berada di garda depan. Optimalisasi Muhammadiyah setidaknya terdiri atas peran kultural, peran struktural, peran intelektual, dan peran spiritual. Demikian menurut Dr. Asep Purnama Bakhtiar.
Sebagai penutup, Hj. Kusnariyati Sri Rahayu berpesan, “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, sehingga Muhammadiyah menjadi kuat dan mampu memberikan kehidupan yang lebih baik bagi warganya sepanjang masa.” Selamat ber-Muhammadiyah!
* Guru Besar Tafsir Al-Qur’an UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Dosen Pascasarjana Universitas Yogyakarta.
Sumber ilustrasi: LintasBatas.co