Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Tetap Bahagia di Tengah Wabah

×

Tetap Bahagia di Tengah Wabah

Share this article

Oleh: M. Husnaini* 

Covid-19 melanda dunia. Selama hampir dua tahun ini, tiada negara dipastikan selamat dari virus mematikan tersebut. Berasal dari Wuhan, Covid-19 menyebar ke mana-mana. Cepat sekali. Jutaan korban berjatuhan. Dunia medis berjuang keras. Sedihnya, beberapa dokter—yang ibarat panglima di garda paling depan dalam perang sengit melawan Covid-19—juga tumbang.

Pemerintah, ilmuwan, dan ulama di seluruh dunia telah satu kata: Covid-19 harus dihalau dengan cara-cara, antara lain menjaga jarak dari sesama, memakai masker, hindari keramaian, kurangi bepergian, dan di rumah saja. Karena itu, setiap komentar, ajakan, atau bahkan arahan supaya menyepelekan Covid-19, meski dengan dalil-dalil agama, itu jelas sesat dan menyesatkan.

Menjaga keselamatan diri dan lingkungan dari segala yang merusak itu perintah Allah yang wajib dilaksanakan setiap Muslim yang mengaku takut kepada Allah. Orang bertakwa tidak akan bersikap egois. Dia pasti menyayangi dirinya dan tidak mau mencelakai saudara-saudaranya demi hawa nafsunya. Tawakal memang wajib, tetapi harus didahului ikhtiar secara maksimal.

Kisah yang sering dikutip, Khalifah Umar bin Khattab hendak berangkat ke Damaskus. Oleh karena dikabari bahwa Damaskus sedang dilanda wabah mematikan, sang khalifah yang ketika itu sudah berada di tengah perjalanan langsung putar haluan, kembali ke Madinah. Urusan nyawa memang di tangan Allah. Tetapi masuk ke area wabah secara sengaja sama dengan bunuh diri.

“Jangan kamu jatuhkan dirimu ke dalam kebinasaan,” tegas Allah dalam Al-Baqarah/2: 195. Dalam An-Nisa’/4 : 29), Allah juga nyata-nyata melarang, “Jangan kamu bunuh dirimu sendiri.” Dengan demikian, kita jangan habis waktu untuk berdebat. Perdebatan, apalagai untuk saling menjatuhkan tiada guna. Setiap pilihan ada harganya. Setiap keputusan juga ada konsekuensinya.

Yang paling penting, wabah juga jangan merenggut kebahagiaan kita. Jangan terlalu risau soal rezeki, dan tidak perlu kita iri dan dengki kepada rezeki orang lain. Tidak lari rezeki dikejar, dan tidak pula akan tertukar. Sabda Nabi: “Seandainya anak Adam lari dari rezekinya sebagaimana dia lari dari kematian, rezekinya pasti menjumpainya sebagaimana kematian menjumpainya.”

Nabi berkata lagi: “Setiap jiwa tidak akan mati sampai sempurna ajalnya dan dia habiskan semua jatah rezekinya. Karena itu, bertakwalah kepada Allah dan perbaguslah cara mengais rezeki.” Tentu makna rezeki bukan melulu materi. Hadis ini tidak mengajarkan kita berpangku tangan atau bermalasan, tetapi meneguhkan kita bahwa Allah tidak alpa terhadap nasib hamba-Nya.

Modal hidup yang telah diberikan Tuhan untuk manusia begitu paripurna. Tinggal bagaimana kita memanfaatkan sebaik mungkin agar hidup mencapai kesejahteraan, kemuliaan, kemanfaatan, dan keberkahan. Tidak ada orang bodoh. Yang ada hanya orang malas belajar. Tidak pula ada orang hina dan melarat. Yang ada hanya orang jauh dari ibadah dan tobat.

Hari-hari manusia hanya dua: bahagia atau susah. Bersyukurlah ketika bahagia dan bersabarlah ketika susah. Impitan hidup ibarat ampelas yang akan menghaluskan kepribadian kita. Buku ini bercerita tentang aneka kreativitas, inspirasi, dan pengalaman positif selama wabah Covid-19. Jadilah pribadi tangguh yang tidak kurang daya di tengah keadaan yang berubah dan serba susah.

“Carilah kebahagiaan pada diri Anda. Orang yang berbahagia selalu melihat sisi indah sesuatu. Kalau malam gelap, dia memandang bulan. Kalau bulan tak tampak, dia mengamati bintang. Kalau terbakar terik matahari, dia bersyukur bahwa terang matahari menghapus kegelapan. Bila matahari terbenam, dia masih menikmati angin malam yang menyentuhnya” (Shihab, 2017).

* Kandidat Doktor di International Islamic University Malaysia. Telah menulis puluhan buku

 

 

 

 

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner PMB UNIMEN

Leave a Reply