Oleh: Asran Salam*
Di bentangan sejarah manusia, selalu saja ada yang menakjubkan yang dapat kita jumpai. Walau di sisi lain, tragedi tak juga dapat diindahkan. Ia seperti dua sisi yang selalu saja hadir dalam kehidupan kita. Seolah-olah ia memang dicipta demikian adanya.
Di belahan lain tragedi begitu jelas tergambar di depan mata, seperti ingin membawa kita pada situasi kehilangan harapan. Apa yang bisa kita harapkan dari situasi perang, diskriminatif, pengasingan karena perbedaan? Karena agama, keyakinan dan suku yang berbeda, kita rela melukai siapa pun. Kita mudah saja memberi label kepada siapa pun.
Fanatisme menguasai alam pikir kita. Doktrin teologi kita bukan tentang Tuhan yang damai, tapi Tuhan yang pemarah. Pada situasi seperti ini seolah-olah damai tak memiliki kemungkinan. Dunia adalah kecamuk. Dan kita adalah aktor yang selalu siap berperang. Melahap individu dan kelompok lain. Menjadikannya tak memiliki eksistensi.
Pada wajah seperti ini, saya lalu teringat dengan Martin Buber. Ia filosof Jerman beragama Yahudi. Buber memperkenalkan sebuah relasi manusia dengan di luar dirinya. Relasi itu ia namai, relasi “I-It“–“Aku itu”. Sebuah relasi manusia dengan benda-benda. Di sisi ini, manusia “bebas” mempergunakan sesuka hatinya. Kita ke sesama manusia sepertinya lebih banyak membangun relasi seperti ini. Manusia yang lain, yang berbeda dengan kita, diperlakukan apa saja sesuka hati kita. Kita posisikan mereka sebagai benda-benda. Tak lebih.
Padahal perbedaan adalah fakta sosial. Ia sesuatu yang objektif dalam kehidupan kita. Ia bukan konstruksi pikiran. Ia sesuatu yang natural. Dalam agama kita sebutnya sunatullah.
Dogma yang membawa kita pada akhirnya tak mengenali fakta sosial itu. Doktrin bekerja mengagresi pikiran untuk sampai pada kesimpulan, bahwa realitas manusia itu harus tunggal. Soal keyakinan tidak boleh ada perbedaan. Pikiran-pikiran begini sedang bekerja di sekitar kita. Berupaya memengaruhi kita. Merusak kemanusiaan kita.
***
Beberapa hari yang lalu, di Rumah Baca Akkitanawa, rumah baca yang saya dirikan mengadakan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW. Di acara maulid itu, saya melihat bagaimana fakta sosial itu dijalani tanpa risi. Bagaimana perbedaan itu dilakoni tanpa kikuk. Ini seperti oase di gurun tragedi kemanusiaan. Tragedi labeling kafir dan sesat.
Sehari sebelum maulid, baik masyarakat sekitar maupun relawan rumah baca sibuk mempersiapkan segalanya. Rumah baca berdiri di tengah masyarakat yang beragam suku dan agama. Di sini ada Kristen dan Islam. Ada Bugis, Luwu dan Toraja.
Di acara maulid itu, mereka saling membahu. Anak-anak kecil beragama Islam dan Kristen sibuk membuat bunga male. Bunga khas maulid. Ibu-ibu baik Islam dan Kristen meramu makanan di dapur untuk sajian maulid besoknya. Demikian juga sebenarnya di hari Natal, umat Islam ikut serta membantu saudara kita yang Kristen.
Di sini, saya melihat toleransi benar-benar dihayati. Dijalani tanpa ragu. Perbedaan tidak membuat segalanya jadi muram dan menyeramkan. Namun keindahan begitu jelas bak panorama setalah hujan: pelangi.
Ada peristiwa kecil yang terjadi di maulid ini. Ketika hikmah maulid selesai, dan acara maulid telah ditutup oleh pembawa acara, selanjutnya diisi dengan kuis kepada anak dan ibu-ibu peserta maulid. Pertanyaan diajukan. Tentu seputar Rasulullah Saw. Bagi yang bisa menjawab oleh panitia diberi hadiah Al-Quran.
Dari sekian orang yang menjawab, saya ingin bercerita soal Maikal. Maikal merupakan anak binaan Rumah Baca Akkitanawa. Ia dengan fasih menjawab siapa kakek, ayah dan ibu, anak-anak, serta paman Rasulullah Saw. Mengurai cerita yang sebelumnya diulas oleh penceramah tentang kesediaan Rasulullah menerima tamu Kristen asal Turki di Masjid Nabawi.
Maikal, sudah berumur 12 tahun. Kini menginjak kelas lima sekolah dasar. Ia tumbuh dari keluarga yang taat. Maikal menggugah kita atas pengetahuannya tentang Rasulullah. Maikal menerima hadiah Al-Quran.
“Al-Quran ini saya akan berikan pada sepupu saya yang Islam,” ujar Maikal.
Maikal mengajarkan kita baiknya perbedaan diterima secara polos. Tanpa ada curiga. Di antara kita yang berbeda iman, kita bisa saling memberi. Saling menguatkan iman masing-masing. Maikal menguatkan iman sepupunya dengan memberi Al-Quran. Maikal sungguh bahagia jika sepupunya bisa mengamalkan Islam sepenuhnya.
Bagi saya, tindakan Maikal, adalah sikap pro eksistensi. Sebuah laku yang ingin mendorong kebenaran orang lain yang berbeda dengannya. Tidak hanya mengakui ada perbedaan (koeksistensi) tapi saling menyelami satu sama lain.
Maikal menyelami sepupunya. Menyelami iman yang lain tanpa harus berpindah iman. Maikal hanya ingin memastikan yang berbeda dengannya menjalankan imannya dengan benar, sebab itu, Maikal bisa menuai damai. Lalu, bagaimana dengan kita?
* Wakil Ketua Pemuda Muhammadiyah Luwu, Founder Rumah Baca Akkitanawa
Sumber ilustrasi: Harakah.id