Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Ombak yang Besar atau Perahu yang Kecil?

×

Ombak yang Besar atau Perahu yang Kecil?

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere*

Tulisan ini bukanlah sebuah novel yang penuh dengan kalimat sastra, atau pun berwujud cerita pendek (cerpen). Tulisan ini adalah sejenis refleksi yang terbersit atas akumulasi pembacaan suatu caption, ingatan akan cerita inspiratif, dan harapan besar untuk memberikan motivasi dan pencerahan sederhana agar bisa berfungsi sebagai modal psikologis dan teologis dalam mengarungi kehidupan.

Sambil melaku perjumpaan imajiner di sudut pustaka pribadi “CAHAYA INSPIRASI” yang saya miliki, di beranda facebook tiba-tiba lewat status (tulisan) Mas Deni Al-Asy’ari (Direktur Suara Muhammadiyah), sejenis caption yang mendeskripsikan foto dirinya. “Bukan Ombak Yang Terlalu Besar, Mungkin Perahu Kita Yang Terlalu Kecil. Bukan Masalah Hidup Yang Terlalu Rumit, Mungkin Iman Kita Yang Terlalu Sempit”, pesan singkat Mas Deni ini, langsung memantik diri dan memori yang saya miliki, serta terbersitlah inspirasi untuk menuliskannya.

Saya pun mengomentari “status” Mas Deni, “Bisa jadi judul tulisan ‘Ombak yang Besar atau Perahu yang Kecil?, sangat menarik”. Beberapa menit berlalu, Mas Deni pun merespon “…wah setuju. Seorang jurnalis dan penulis, selalu melihat sisi lain dari teks untuk menjadi karya besar..bagus mas…”.

Mas Deni menyebut saya sebagai jurnalis, mungkin karena dirinya mengetahui bahwa saya pernah beberapa tahun yang lalu, mungkin 6-7 tahun, terlibat dalam suatu pelatihan jurnalistik online. Bahkan saya pernah ditawari menjadi kontributor oleh media besar (karena mungkin saya dinilai tepat karena sering mengirim rilis berita), meskipun ada hal yang menjadi pertimbangan, sehingga menolak dengan santun tawaran itu. Sedangkan dirinya (baca: Mas Deni) menyebut saya penulis, mungkin karena setiap pekan (mudah-mudah kelak bisa setiap hari) saya menulis dan salah satu sasaran share tulisan tersebut adalah group WhatsApp di mana beliau menjadi bagian di dalamnya.

Ada hal menarik dan memiliki nilai inspiratif. Seringkali dalam hidup ini, diri kita tidak mampu melihat dan membaca keadaan yang sesungguhnya. Setelah itu kita melakukan kesalahan dan kekeliruan kedua, karena menyalahkan pihak lain. Jika hal pertama dan kedua ini menjadi bagian dalam diri maka bisa dipastikan, kita akan senantiasa mengalami sebuah problematika hidup dan senantiasa kesulitan untuk menemukan solusi.

Mirip dengan caption Mas Deni di atas, kita tidak bisa melihat keadaan sesungguhnya apakah ombak yang besar atau ternyata perahu kita yang kecil dan bahkan terlalu kecil. Dan jika fokus penglihatan dan penilaian kita pada ombaknya yang besar, dan buta melihat perahu kita sendiri yang sesungghnya kecil, maka tidak akan pernah ada upaya untuk menambah kapasitas atau ukuran perahu yang dimiliki. Ombak itu diandaikan masalah, dan perahu itu dianalogikan sebagai diri.

Saya teringat dengan satu kisah atau cerita inspiratif yang memiliki relevansi dengan tulisan ini. Suatu ketika seorang guru meminta kepada muridnya untuk mengambil satu gelas air dan satu sendok garam. Setelah murid tersebut menyerahkan apa yang diperintahkan oleh gurunya, maka sang guru menuangkan satu sendok garam itu ke dalam gelas yang berisi air tersebut, lalu diaduk. Setelah itu, sang guru meminta kepada muridnya untuk meminum air tersebut. Satu tegukan, si murid langsung memuntahkan air tersebut karena dirinya tidak bisa menahan rasanya yang sangat asin.

Sang guru itu kembali memerintahkan kepada muridnya untuk mengambil satu piring garam. Seketika muridnya melaksanakan permintaan gurunya. Beberapa menit kemudian si murid menyerahkan satu piring penuh garam. Lalu sang guru mengajak si murid menuju belakang rumahnya, tepatnya di sebuah kolam. Setelah itu semua garam dalam piring itu dituangkan ke dalam kolam tersebut, lalu diaduk. Setelah diaduk, sang guru kembali meminta kepada muridnya untuk mencoba minum air dari kolam itu. Reaksi murid, tidak sama ketika meminum air sebelumnya yang terlalu asin. Yang kedua ini sama sekali tidak ada rasa asin.

Ketika garam itu diandaikan sebagai masalah, serta air dan gelas termasuk air dan kolam itu diandaikan dengan diri kita, ada hibrah yang bisa kita petik di dalamnya. Bahwa masalah dan efek psikologis dan teologisnya dalam diri sangat tergantung pada diri orang yang bersangkutan, yang mengalami/merasakan masalah tersebut.

Sesuatu bisa dinilai sebagai masalah ketika ada hal yang menjadi harapan lalu kenyataan atau realitas yang ada tidak bersesuaian. Dalam pemahaman saya, bisa saja sesuatu yang dipandang sebagai masalah bagi orang tertentu, tetapi bagi orang lainnya, itu bukanlah masalah.

Jika ada sesuatu yang bisa menjadi masalah bagi banyak orang, tetapi bisa saja ada orang tertentu yang merasakan dampaknya biasa-biasa saja. Meskipun bisa ada yang berbeda, ada pula yang sangat merasakan bahkan membuat diri merasa sesak atau memilih mengakhiri hidupnya.

Pada dasasrnya sesuatu yang dimaknai sebagai masalah, sangat tergantung bagi personal orang yang mengalaminya. Relevan dengan cerita dan kisah inspiratif di atas, maka di sinilah dibutuhkan kapasitas atau kelapangan diri.

Kapasitas dan kelapangan diri, begitupun upaya peningkatannya, senantiasa sangat dibutuhkan dalam mengarungi kehidupan ini. Ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk kepentingan tersebut. Upaya peningkatan kapasitas dan kelapangan diri, bukan berarti menambah ukuran fisik badan kita, yang membuat berat badan bertambah.

Mendekatkan Diri kepada Allah

Yang utama dalam hidup, terutama dalam menghadapi apa yang dimaknai sebagai masalah adalah mendekatkan diri kepada Allah Swt. Senantiasa menghadirkan Allah dalam setiap napas kehidupan. Bahkan Allah menegaskan melalui firmannya QS. Al-Baqarah [2]: 45, “Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat”. Ini relevan karena sesungguhnya siapa pun dia dan di mana pun, jika terjebak dalam sebuah masalah maka sesungguhnya, pertolonganlah yang diharapkan.

Bisa saja pertolongan yang diharapkan secara rasional, adalah pertolongan nyata dari orang lain. Tetapi jika seandainya itu tidak ada, atau pun ada tetapi tidak mau memberikan pertolongan, maka sesungguhnya tidak ada lain dan idealnya harus kembali mengharapkan pertolongan kepada Allah.

Mengapa harus dengan Allah? Allah-lah sang penguasa langit dan bumi. Allah yang menciptakan hukum yang berlaku di alam semesta ini. Dan sesungguhnya jika kita merenungi apa pun bentuk masalah yang dihadapi sesungguhnya kita sedang berada dalam tekanan hukum atau sunnatullah yang telah ada di alam semesta. Dan perlu dipahami bahwa Allah memiliki hak prerogatif untuk mengintervensi hukum atau sunnatullah yang telah diciptakannya sendiri.

Masih ingatkah ketika Ibrahim As menghadapi masalah, hendak dibakar oleh raja Namrud? Hukum api adalah mampu membakar manusia, siapa pun dia. Seperti itulah hukum atau sunnatullah yang Allah tetapkan dalam api. Lalu mengapa Ibrahim tidak terbakar? Karena pada saat itu Allah hadir mengintervensi hukum/sunnatullah ciptaan-Nya sendiri.

Dalam firman di atas Allah menegaskan tentang “sabar” dan “shalat”. Jika kita mencermati beberapa ilmu psikologi termasuk tentang sabar, ternyata ini sangat penting dalam menghadapi masalah. Sabar salah satu maknanya, jika meminjam perspektif Arvan Pradiansyah, adalah menunda respon. Dalam menghadapi masalah menunda respon itu pun penting karena jangan respon yang muncul justru adalah tindakan gegabah yang mengakibatkan kondisi yang lebih fatal. Dalam ilustrasi sederhana, seseorang yang bermasalah dan berupaya mengakhiri hidupnya, karena dirinya tidak mampu bersabar, tidak mampu menunda respon.

Shalat pun penting karena shalat selain mendekatkan diri kepada Allah, mampu mengaktivasi beberapa potensi dalam diri yang telah built-in sejak kita lahir sebagai satu paket penciptaan dan sekaligus modal mengarungi hidup. QS. Ar-Ra’d [13]: 28 menegaskan bahwa ingat Allah hati menjadi tentram. Saya yakin tidak keliru jika tentram di sini dimaknai pulang tenang.

Sedangkan jika kita memahami teori neurosains berdasarkan perspektif Quantum Learning Bobbi DePorter & Mike Hernacki, saya menemukan satu substansi, bahwa ketenangan hati, akan mampu mengaktivasi kedahsyatan dan kecerdasan otak. Otak yang cerdas tentu saja akan mampu melahirkan ide-ide cemerlang termasuk ide yang berupa solusi untuk melepaskan diri sebuah problem (masalah).

Selain itu jika kita pun memahami teori gelombang otak, maka ketika hati tenang justru hal itu akan mengaktivasi gelombang otak Alpha bahkan Theta yang fungsinya bisa memancarkan frekuensi pikiran yang tenang. Dan berdasarkan hukum tarik menarik, yang ini pula adalah ciptaan Allah, sesuatu menarik sesuatu yang sama. Sebaliknya jika hati gelisah justru akan memicu atau mengaktivasi gelombang beta, yang dipahami oleh beberapa pakar bisa menimbulkan perasaan gelisah, stress. Mungkin di sinilah relevansinya, jika dalam hati ada penyakit, maka Allah akan menambahkan penyakitnya.

Dalam buku Paradigma Al-Fatihah”, M. Masri Muadz mengutip pandangan Byrne. Dalam pandangan itu ditegaskan pula tatkala anda berpikir sesuatu, anda sedang menarik pikiran yang sama kepada anda.

Jadi ketika kita sabar, dan lalu ingatan kita tertuju kepada Allah, otomatis hati akan menjadi tenang. Selanjutnya hati yang tenang bisa dipastikan akan memancarkan frekuensi tenang. Dan bisa dipastikan pula akan menarik hal yang sama. Bahkan Byrne dalam Masri (2013), pikiran itu akan mampu menjadi realitas. Hal ini sering saya buktikan dalam kehidupan, meskipun untuk dalam ruang tulisan ini tidak cukup untuk mendeskripsikannya. Mungkin pada kesempatan lain dalam tulisan yang berbeda.

Konversi Perasaan & Prinsip Bintang

Ary Ginanjar Agustian dalam konsep dan buku spektakulernya, “ESQ”, mengajarkan tentang apa yang diistilahkannya tentang prinsip. Salah satunya disebut star principle (prinsip bintang). Sederhananya prinsip bintang ini adalah berpedoman kepada rukun iman pertama, yaitu iman kepada Allah.

Prinsip bintang menegaskan tentang pentingnya mengokohkan prinsip kepada Allah, senantiasa menghadirkan Allah, termasuk hadirnya pemahaman dan kesadaran penuh untuk menjadikan Allah yang tumpuan, pelindung dan penolong utama. Satu contoh saja yang bisa saya berikan dalam tulisan ini yaitu: dalam hidup ini semestinya kita harus memiliki keyakinan penuh, bahwa setelah ikhtiar dimaksimalkan maka selanjutnya tawakkal kepada Allah. Karena kita pahami bersama, “tidak akan jatuh sehelai rambut pun, tanpa se izin Allah”. Keyakinan ini harus kokoh dalam diri.

Keyakinan yang kokoh kepada Allah akan memberikan kemampuan untuk konversi perasaan. Ibarat file ada perubahan bentuk satu ke bentuk yang lainnya. Konversi perasaan bisa berarti dari perasaan negatif ke perasaan positif. Sebagai contoh cemas, khawatir, dan takut bisa itu adalah hal manusiawi, tetapi dengan menghadirkan Allah kita akan mampu mengoversi perasaan, bahwa perasaan itu, sesungguhnya adalah ajakan Allah untuk semakin dekat kepada diri-Nya dalam perjuangan atau pun masalah yang dihadapi.

Bahkan  prinsip bintang, sebagaimana yang telah saya rumuskan sendiri mampu menjadi benteng yang sangat kokoh bagi diri atau siapa saja yang memilikinya. Benteng ini berdasarkan rumusan yang ada, saya istilahkan benteng “Psiko-Religious-Spiritualistik”. Artinya mental atau psikis dilandaskan atas nilai-nilai yang sesuai dengan ajaran agama, nilai ilahiah, dan keyakinan akan adanya hikmah terbaik dari Allah akan setiap situasi dan kondisi yang dihadapi.

Suara Hati

Dalam diri kita ada hati, meskipun hati yang dimaksud bukanlah organ yang disebut liver, melainkan heart (jantung). Yang terakhir ini pun masih ada perdebatan kontroversial, bahwa bukan jantung melainkan otak. Untuk konteks tulisan ini, saya sedang tidak mengajak pembaca pada perdebatan itu, meskipun saya sendiri untuk saat ini lebih sepakat bahwa yang dimaksud adalah otak. Untuk sementara kita sebut saja hati. Hati dalam pemahaman saya memiliki dua fungsi atau bisa juga disebut suara hati: Pertama, mengajak kepada kebaikan. Dan kedua, mencegah dari keburukan. Berarti semuanya baik.

Jadi agar tidak ingin menghadapi atau merasakan masalah harus mendengar suara hati. Dan termasuk jika sedang menghadapi masalah idealnya harus mendengarkan suara hati. Hanya saja suara hati yang sebenarnya tidak terdengar karena tertutupi oleh apa yang disebut―meminjam perspektif Ari Ginanjar―”belenggu hati”. Ada tujuh belenggu hati, yang pernah saya amati secara sederhana selama tujuh tahun, dan ternyata betul orang yang menghadapi masalah, terjebak di antara tujuh belenggu ini.

Belenggu hati tersebut: Pertama, prasangka negatif. Kedua, dominasi kepentingan pribadi, duniawi, sesaat daripada kepentingan umum, jangka panjang dan akhirat. Ketiga, pengalaman negatif yang membuat diri trauma dan putus asa. Keempat, prinsip hidup yang salah, padahal―jika meminjam konsep luar biasaAry Ginanjar―Allah telah mengajarkan rukun iman yang bisa menjadi prinsip hidup kita. Kelima, sudut pandang yang sempit, linear, monodisiplin, ekslusif, dan kaku. Keenam, pembanding yang salah, hanya berdasarkan yang nyata atau pragmatis dan materialistik. Dan ketujuh. literatur yang salah. Islam telah mengajarkan dan meninggalkan dua literature utama yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.

Di tujuh belenggu hati yang berpotensi menimbulkan masalah dalam kehidupan. Hanya saja tulisan ini tidak cukup menjadi ruang untuk eksplorasi atau jelaskan lebih mendalam. Dan jika ingin mengdapatkan solusi atau terhindar dari masalah maka belenggu hati itu harus dibersihkan dari hati, agar tidak menutup suara hati.

Ada banyak cara untuk melapangkan dada agar perahu sebagai analogi bisa besar sehingga ombak besar pun bisa dihadapi. Kemudian sesungguhnya konsep masalah tanpa kecuali apa yang disebut problem solving sangat luas, yang saya rumuskan sendiri saja, cukup luas, apalagi jika dipadukan dengan rumusan para pakar lainnya.

Masalah ada banyak ragamnya ada yang bersifat personal, kolektif, bahkan pada skala yang lebih luas cakupannya seperti permasalahan bangsa dan negara. Pendekatan solusinya pun dalam pandangan saya ada yang bersifat teknis, prosedural-mekanistik. Ada pula non teknis. Tulisan ini, dan sebagaimana yang telah diuraikan di atas hanya bersifat non-teknis. Lebih fokus pada sesuai harapan dan caption Mas Deni.

Jika tulisan ini, bermanfaat bagi para pembaca dan bermuara pada pahala kebaikan. Insya Allah, saya meyakini pahala itu pun mengalir ke dalam diri Mas Deni, yang menjadi pemantik awal lahirnya tulisan ini.

 

* Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023

Sumber ilustrasi: malangtimes.com

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply