Oleh: Muhammad Chirzin*
Diskusi, perbincangan, dan perdebatan, hingga tuduhan, hujatan, makian, serta tuntutan, bertolak dari Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Agustus 2021 oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, ttd. Nadiem Anwar Makarim. Diundangkan di Jakarta pada tanggal 3 September 2021 oleh Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia ttd. Benny Riyanto.
Berita Negara RI Tahun 2021 Nomor 1000.
Salinan sesuai dengan aslinya, Kepala Biro Hukum Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, ttd. Dian Wahyuni, NIP 196210221988032001.
Menimbang:
- bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan perlindungan dari segala bentuk kekerasan termasuk kekerasan seksual sesuai dengsn Pancasiladan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945; dst.
Mengingat:
- Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia; dst.
Memutuskan: Menetapkan: Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Terdiri atas BAB I sampai dengan BAB IX, Pasal 1 sampai dengan Pasal 58.
BAB I Pasal 1 ayat (1): Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.
Pengertian kekerasan seksual yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) itu pun telah memunculkan perbedaan pendapat dan perdebatan yang akan berkepanjangan tiada akhir, menyangkut argumentasi sebab terjadinya peristiwa tersebut.
Pasal 2: Peraturan Menteri ini bertujuan: a. sebagai pedoman bagi Perguruan Tinggi untuk menyusun kebijakan dan mengambil tindakan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang terkait dengan pelaksanaan Tridharma di dalam dan di luar kampus; dan b. untuk menumbuhkan kehidupan kampus yang manusiawi, bermartabat, setara, inklusif, kolaboratif, serta tanpa kekerasan di antara Mahasiswa, Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Warga Kampus di Perguruan Tinggi.
Pasal 3: Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dilaksanakan dengan prinsip: a.kepentingan terbaik bagi Korban; dst sampai denan huruf h.
Pasal 4: Sasaran Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual meliputi: a. Mahasiswa; b. Pendidik; c. Tenaga Kependidikan; d. Warga Kampus; dan e. masyarakat umum yang berinteraksi dengan Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan dalam menjalankan Tridharma.
Pasal 5:
Ayat (1) Kekerasan Seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui informasi dan komunikasi.
Ayat (2) Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehksn tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender Korban; b. memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan korban; (cetak tebal dari penulis). c. menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada Korban; d. menatap Korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman; e. mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada Korban meskipun sudah dilarang Korban; f. mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban; g. mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa petsetujuan Korban. h. menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban; i. mengintip atau dengan sengaja melihat Korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan/atau pada ruang yang bersifat pribadi; j. membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui Korban; k.memberi hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual; l. menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium, dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban; m. membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban; dst sampai dengan huruf terakhir, u. melakukan perbuatan Kekerasan Seksual lainnya.
Ayat (3) Persetujuan Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, f, g, l, dan m, dianggap tidak sah dalam hal Korban: a. memiliki usia belum dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. mengalami situasi dimana pelaku mengancam, memaksa, dan /atau menyalahgunakan kedudukannya; c. mengalami kondisi di bawah pengaruh obat-obatan, alkohol, dan/atau narkoba; d. mengalami sakit, tidak sadar, atau tertidur; e. memiliki kondisi fisik dan/atau psikologid yang rentan; f. mengalami kelumpuhan sementara; g. mengalami kondisi terguncang.
Frasa persetujuan Korban dalam ayat (2) tersebut diperjelas dengan ayat (3) huruf a sampai dengan huruf g.
Menurut hemat penulis hal itu menegaskan tentang konteks tindakan seksual yang termasuk dan/atau tidak termasuk tindakan seksual, pelanggaran seksual, kekerasan seksual, serta kejahatan seksual atau bukan.
Pihak-pihak yang kontra terhadap PERMENDIKBUDRISTEK tersebut antara lain 13 ormas Islam yang tergabung dalam Majelis Ormas Islam (MOI). Mula-mula Muhammadiyah dan NU belum mengemukan pandangan tentang hal itu. Melalui juru bicaranya, Nazar Haris, MOI meminta agar Permendikbutristek itu dicabut.
Ketua MUI Bidang Fatwa, KH Asrorun Niam Sholeh berpendapat sama, walaupun ia menggarisbawahi bahwa aturan pencehahan kekerasan seksual sangat dibutuhkan untuk mencegah terjadinya aktivitas yang merendahkan derajat kemuliaan manusia.
Menyusul dikeluarkannya sikap Muhammadiyah soal Permendikbudristek tersebut, Dr. Adian Husaini, Ketua Dewan Dakwah Islam Indonesia, menyampaikan terima kasih.
Dr. Cholil Nafis, seperti diungkap Repelita.com, menyampaikan Keputusan Ijtima Ulama MUI menolak Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 yang dimaksud.
Tentang pro dan kontra Permendikbudristek 30 ini, pakar hukum Romli Atmasasmita, sebagaimana dilaporkan Sindonews 13/12/2021 20:16, menilai maksud baik Pemerintah telah dinodai oleh penyusunan peraturan tersebut dengan frasa tertentu, yakni dengan persetujuan.
Menurutnya, frasa tersebut justru menimbulkan pertanyaan masyarakat, khususnya para orangtua, apakah Permendikbud tersebut hendak menciptakan kampus merdeka berseks bebas. Frasa pada Pasal 5 tersebut menghilangkan makna dari kebaikan Permendikbud itu.
Rektor UNU Yogyakarta, Prof. Dr. Purwo Santoso mengatakan bahwa kerangka kebijakan Permendikbudristek tetsebut tanggung dan tidak jelas. Salah satunya ditandai dengan adanya Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Selain itu, sanksi dalam Permendikbud juga menimbulkan pertanyaan. Apakah Rektor dapat mengambil alih tugas polisi dalam penindakan terjadinya kekerasan seksual di kampus?
Menurut Prof. Purwo Santoso Permendikbudristrk tersebut dibangun menggunakan logika liberal. Hal itu terlihat dalam pendefinisian kekerasan seksual pada Pasal 5.
Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta, Dr. Ma’mun Murod Al Barbasy, Ahad, 14/11/2021 di akun Twitter-nya menyatakan bahwa Permendikbudristek No 30/2021 berpotensi melegalkan seks bebas di kalangan mahasiswa. Beberapa aturan dalam Permendikbudristek No 30/Tahun 2021 yang berpotensi seks bebas perlu direvisi.
Prof. Nizam membantah para penolak Permendikbbudristek tersebut dengan menyatakan bahwa Pasal 5 yang dipermasalahkan sama sekali tidak mengandung maksud mengizinkan perzinaan. Hal itu menurut dia karena kesalahan persepsi.
Dr. Bagus Riyono menanggapi Pelaksana tugas (Plt) Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Prof. Nizam yang menyatakan bahwa Permendikbud tersebut tidak bermasalah. Bagus Riyono menulis opini, “Waspadai Reverse Psychology dalam Permendikbudristek No 30 Tahun 2021” yang diunggah Hidayatullah.com, Sabtu, 13 November 2021.
Sekjen Kemenag RI Prof. Nizar Ali, seperti dilaporkan Kompas.com, mengatakan, semua Rektor Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (PTKN) satu suara mendukung Permendikbud 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS).
Prof. Nina Nurmila, pakar Studi Islam dan Gender UIN Sunan Gunungjati Bandung, menilai penolakan beberapa pihak terhadap Permendikbud 30/2021 tentang penanganan kekerasan seksual di kampus itu bersifat politis dan populis.
Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), sebagaimana diberitakan suaraislam.co, melalui juru bicaranya Kiai Faqihudin Abdul Qadir, Jumat, 12/11/2021, menyatakan mendukung Permendikbud PPKS.
Melalui akun FB-nya Kiai Faqihudin Abdul Qadir menggelar argumentasi, termasuk kritik terhadap kaidah ushuliyah mafhum mukhalafah frasa “tanpa persetujuan Korban” yang menurutnya tidak tentu tepat.
Salah seorang anggota grup WA menulis, “Kita berdoa saja, semoga “Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021” terus berjalan meskipun banyak kritik.
Teman yang lain menambahkan, “Mungkin sebagai akibat dari perbedaan sudut pandang; dan perbedaan di alam demokrasi itu hal biasa. Semoga berakhir dengan berkah.”
Untuk itu saya tulis, “Fas’alu ahladz-dzikri in kuntum la ta’lamun …”. Saya tambah komentar: Fenomena al-manthuq wal mafhum… wat-tabaduru dalilul haqiqah...
Sahabat tersebut menambahkan, terkadang dalam memahami teks, pemahaman manthuq tidak secara otomatis bisa dipahami mafhumnya secara bebas, karena manthuq sendiri ada macam-macamnya dan mafhum pun bermacam-macam. Misalnya, di pinggir jalan ada tulisan “tidak boleh kencing di sini” tidak bisa dipahami, “oh berarti kalau berak boleh.” Wallāhu a’lam.
Kalau kencing di sana boleh… (mana sih batas sini dan sana?). Itu cuma contoh memahami teks di pinggir jalan, kalau contoh serius untuk memahami manthuq mafhum banyak dalam Al-Quran ataupun al-hadis. Mari kita gali bersama-sama.
Mungkin Permendikbud no. 30 dibuat untuk betul-betul mengatasi kekerasan seksual. Tapi kenapa harus ada pasal kontroversi yg luar biasa? Apakah untuk pengalihan isu Ibu Kota Baru, utang yang menggila, tenaga asing yang berduyun-duyun, Tragedi KM 50, dan lain-lain? Permendikbukbudristek RI Nomor 30 Tahun 2021 tanggal 31 bulan Agustus 2021 menjadi bola liar nasional.
Biar tidak liar, bagaimana caranya Kyai?
Segera bawa ke Mahkamah Konstitusi!
* Guru Besar Tafsir Al-Qur’an UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.