Oleh: Muhammad Chirzin*
Kebahagiaan adalah dambaan setiap manusia. Ada orang yang sangat memikirkan apakah dirinya bahagia atau tidak. Tentu itu karena bagi manusia kebahagiaan adalah hal utama. Tetapi, haruskah bahagia? Bagi sebagian orang bahagia atau tidak bahagia bukan sesuatu yang terlalu berarti. Kebanyakan orang memutuskan apakah dirinya bahagia atau tidak dari membandingkan dirinya dengan orang lain.
Kebahagiaan tidak ditentukan oleh penghasilan, lokasi, luas rumah, sekolah, dan pencapaian anak-anak, dan lain-lain. Apa pun yang dilakukan, hal yang terpenting adalah orang itu suka melakukannya. Jika yang dijadikan standar adalah orang lain melakukan ini dan itu, maka pasti timbul rasa lelah. Karena, harus begini dan begitu adalah suatu beban.
Penyebab rasa frustrasi ada pada hal-hal kecil, seperti ingin lebih banyak dipuji orang lain, karena sudah berusaha, atau ingin merasakan lebih banyak hal menyenangkan, karena sudah bersabar. Terus-menerus terikat pada cara pandang orang lain akan membuat seseorang tidak menyadari substansi frustrasi yang dialami.
Pada dasarnya bahagia adalah perasaan yang sangat tidak stabil dan tidak bisa dijadikan pegangan. Kebahagiaan jarang bisa terus berlanjut untuk waktu panjang. Jangan berpikir berlebihan, bergembiralah dan nikmati ketika mendapatkan hal yang menyenangkan. Kalau ada ada hal yang harus dikerjakan, lakukan saja dengan ringan. Bukankah hidup adalah perulangan hal itu?
Banyak orang yang sebenarnya tahu, bahwa apa yang mereka lakukan adalah salah, tetapi dengan harapan beberapa “pakar” akan meyakinkan mereka bahwa perbuatan itu bisa dimaklumi. Jauh dalam lubuk hati, kebanyakan orang-orang tahu apa yang salah dan apa yang benar, hanya saja, sebagian orang tidak mendengarkannya dengan saksama.
Ada dua jenis kebebasan yang dapat ditemukan di dunia: kebebasan untuk berkeinginan, dan kebebasan dari berkeinginan. Budaya modern Barat hanya mengenal jenis kebebasan yang pertama saja. Orang memujanya sebagai sebuah kebebasan dengan mengabadikan di pembukaan undang-undang nasional dan piagam hak asasi manusia. Paham yang mendasari kebanyakan sistem demokrasi Barat adalah untuk melindungi kebebasan rakyat mewujudkan hasratnya sejauh mungkin. Anehnya, di negeri-negeri seperti itu orang-orangnya tidak benar-benar merasa bebas.
Kebebasan jenis kedua, kebebasan dari berkeinginan, hanya dikenal dalam bebarapa komunitas religius. Mereka menjunjung rasa kecukupan dan kedamaian yang bebas dari berkeinginan. Anehnya, dalam komunitas yang penuh aturan disiplin, orang-orangnya justru merasa benar-benar bebas.
Semua orang senang dipuji, tatapi sayangnya hampir sepanjang waktu mereka hanya mendengar tentang kejelekannya. Itu adil, karena sepanjang waktu mereka jarang sekali mengucapkan pujian. Semua orang ingin mendengar dirinya dipuji, mereka hanya ingin memastikan bahwa apa yang telah dilakukan sudah benar adanya. Tanpa pujian dan dorongan positif terhadap sifat-sifat yang baik, sifat-sifat yang baik itu akan layu dan mati. Seulas pujian bisa menjadi tonggak pengobar semangat. Pujian bisa mempererat hubungan dan menciptakan kebahagiaan. Sanjungan itu membahagiakan.
#1 Pengajaran yang Tak Ternilai
Seorang perempuan menelepun biksu yang terkenal sebagai guru meditasi, untuk bertanya mengenai cara meditasi.
“Saya dengar Anda mengajarkan meditasi,” tanyanya dari balik telepun.
“Ya benar, Bu,” jawab biksu dengan sopan.
“Berapa tarif Anda?” si perempuan langsung bertanya ke inti masalahnya.
“Tidak ada tarif, Bu.”
“Kalau begitu, Anda pasti tidak bagus!” dia menukas dan langsung menutup telepunnya.
Biksu yang lain mengalami hal serupa.
“Benarkah ada ceramah di wihara Anda nanti malam?” tanyanya.
“Ya Bu. Mulai jam 8 malam.” Jawabnya.
“Berapa bayarnya?” tanyanya.
“Tidak ada, Bu. Gratis,” jelasnya. Setelah jeda bebarapa saat perempuan itu berkata,
“Anda belum menangkap maksud saya. Berapa uang yang harus saya berikan kepada Anda untuk mendengarkan ceramah itu?”
“Bu, Anda tidak perlu memberikan uang, ini gratis,” katanya selembut mungkin.
“Berapa banyak yang harus saya bayar untuk bisa masuk?” tanyanya ketus.
“Bu, Anda tidak perlu membayar apa pun. Anda masuk saja, duduk, dan boleh pergi kapan pun Anda mau. Tak ada yang menanyakan nama dan alamat Anda. Anda tak akan diberi selebaran apa pun, dan Anda tidak akan dimintai sumbangan apa pun di pintu. Ini benar-benar gratis.”
Lalu dia bertanya, dengan sungguh-sungguh ingin tahu, “Baiklah, jika gratis, lalu apa yang kalian dapatkan dari situ?”
“Kebahagiaan, Bu.” Jawabnya, “kebahagiaan.”
Setelah itu, jika ada yang bertanya berapa harga pengajaran ini, ia tak pernah bilang gratis. Ia menjawab, pengajaran itu tak ternilai.
#2 Ini pun Akan Berlalu
Seorang narapidana baru merasa ketakutan dan tertekan. Tembok-tembok batu di selnya seperti menyerap habis semua kehangatan. Jeruji-jeruji bagai mencemooh segala belas kasihan. Di tembok, di atas kepala tempat tidur lipatnya, dia melihat sebuah kalimat yang tergores di sana. INI PUN AKAN BERLALU.
Kalimat itu melecut semangatnya, mungkin demikian juga dengan narapidana lain sebelum dia. Tak peduli betapa beratnya, di akan menatap tulisan itu dan mengingatnya: ini pun akan berlalu. Pada hari dia dibebaskan, dia mengetahui kebenaran dari kata-kata itu. Waktunya telah terpenuhi; penjara pun telah berlalu.
Ketika dia menjalani kehidupan normalnya, dia sering merenungi pesan itu, menulisnya di secarik kertas untuk ditaruh di samping tempat tidurnya, di mobil, dan di tempat kerja. Bahkan saat dia mengalami hal-hal yang buruk, dia tak akan menjadi depresi. Dengan mudah dia akan mengingat, “ini pun akan berlalu,” dan terus berjuang. Saat-saat yang buruk pun tidak perlu waktu lama untuk berlalu. Ketika saat-saat yang menyenangkan tiba, dia menikmatinya, tetapi tanpa terlalu sembrono. Sekali lagi dia akan mengingat, “ini pun akan berlalu,” dan terus lanjut bekerja, tanpa menggampangkan hal yang menyenangkan itu. Saat-saat yang indah biasanya juga tak akan bertahan lama-lama.
Pada hari terakhirnya di atas ranjang kematian, dia membisikkan kepada orang-orang yang dicintainya, “Ini pun akan berlalu,” dan dengan ringan dia meninggalkan dunia ini. Kata-katanya adalah pemberian cinta terakhir bagi keluarga dan teman-temannya. Mereka belajar darinya bahwa “kesedihan pun akan berlalu.”
Orang-orang bijak berkata,
“Nikmatilah kebahagiaan dari hal-hal yang sederhana.”
“Orang yang tidak merasa bahagia dengan yang sedikit, selamanya tidak akan menemukan kebahagiaan.
“Kebahagiaan hidup yang sebenarnya adalah hidup dengan rendah hati.”
“Kebahagiaan dirasakan oleh orang-orang yang bisa merasa puas terhadap diri sendiri.”
“Orang yang hanya memikirkan dirinya sendiri tidak akan mengalami kebahagiaan.”
“Kebahagiaan haruslah diperjuangkan, bukan dengan mengeluh, meminta belas kasihan orang lain, atau dengan pasrah kepada nasib.”
“Untuk mencapai kebahagiaan, hiduplah sederhana.”
“Kesehatan masyarakat adalah dasar kebahagiaan dan kesanggupan mereka untuk mempertahankan negara.”
“Berbahagialah orang yang menemukan pekerjaan sesuai dengan bakatnya; ia tidak perlu lagi mencari dan mengejar kebahagiaan lain.”
“Kebahagiaan tak mungkin terwujud tanpa dukungan ketabahan.”
“Raja ataupun petani akan merasa bahagia bila mendapat kedamaian dalam rumah tangganya.”
“Keadilan, kebenaran, dan kebebasan, itulah pangkal kebahagiaan.”
“Kebahagiaan adalah keharmonisan apa yang dipikirkan, dikatakan, dan dilakukan.”
“Perkawinan yang bahagia adalah sebuah gedung yang setiap hari harus dibangun kembali.”
“Tanpa cinta, engkau tak akan merasa bahagia.”
“Anjurkanlah kepada anak-anak supaya berkelakuan baik; hanya itulah yang dapat menimbulkan kebahagiaan pada mereka, bukan emas atau harta kekayaan.”
“Jalan menuju kebahagiaan: bebaskan hatimu dari rasa dendam dan rasa takut; hidup sederhana, sedikit berharap, banyak memberi; isilah penuh harapanmu dengan kasih sayang; pancarkanlah cahaya matahari; lupakanlah dirimu sendiri dan ingatlah orang lain; perlakukanlah sesama manusia seperti engkau ingin diperlakukan.”
“Berbahagialah atas apa yang kaudapat hari ini dan berusahalah serta mohonlah kepada Tuhan Allah swt untuk kebaikan hari esok.”
Kebahagiaan bukan sesuatu yang kamu dapatkan. Kebahagiaan adalah sesuatu yang kamu lakukan. Ketika kamu menganggap bahwa kebahagiaan sebagai sesuatu yang harus didapat, sebuah target pencapaian, maka ada dua kemungkinan hasil: tercapai (bahagia) atau tidak tercapai (nggak bahagia). Ketika kamu mencoba mencapai kebahagiaan, kamu dapat mengalami momen kebahagiaan. Tetapi ketika kamu menjadi orang yang bahagia, kamu akan mengalami hidup bahagia.
Berilah dirimu sebuah momen kedamaian,
dan engkau akan mengerti,
betapa bodohnya terburu-buru.
Belajarlah untuk hening,
dan engkau akan mengetahui,
dirimu telah terlalu banyak bicara.
Jadilah bajik,
dan engkau akan menyadari,
dirimu telah terlalu keras menghakimi orang lain.
(Pepatah Tiongkok Kuno)
Bacaan
Ajahn Brahm, Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya: 108 Cerita Pembuka Pintu Hati.
Tanpa kota: Awareness Publication, 2020.
Ali Zaenal Abidin, Karena Bahagian Bukan Tujuan, Terus Hidup Mau Ngapain? Bandung: Mizan, 2021.
Tsuneko Nakamura dan Hiromi Okuda, Hidup Damai Tanpa Berpikir Berlebihan: Cara
Mengompromikan Perasaan dengan Kenyataan. Jakarta: Gramedia, 2021.
* Guru Besar Tafsir Al-Qur’an UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta