KHITTAH.CO, MAKASSAR – Proses pengkajian Islam di Universitas Muhammadiyah Makassar dilakukan secara intensif. Setiap Senin-Sabtu, Pimpinan Universitas dan Fakultas bergantian membawakan pengajian singkat tiap usai salat Dzuhur.
Bukan hanya itu, setiap bulan, Unismuh juga menggelar pengajian rutin. Pada bulan Desember 2021, pengajian Unismuh digelar di Masjid Subulussalam Al Khoory Unismuh Makassar, Kamis (9/12/2021).
Pengajian yang diikuti segenap civitas akademika Unismuh Makassar ini, menghadirkan narasumber Ustaz Ir H Abdul Hafid Paronda MT IPM. Mubalig yang berkiprah di Jakarta ini, sehari-hari merupakan dosen Unisma Bekasi.
Ia merupakan putra Bone, yang menyelesaikan S1 di Teknik Elektro Unhas (1989), sedangkan jenjang S2 ditempuhnya di Teknik Elektronika ITB (1999).
Konsep Ulil Albab
Dalam pengajiannya, Hafid Paronda menjelaskan bahwa istilah “Ulil Albab” disebutkan sebanyak 9 kali, sedangkan konsep “Ulul Albab” diulang 7 kali. “Jadi 16 kali konsep ini disebut dalam Alquran,” pungkasnya.
Salah satu makna Ulil Albab, kata Hafid Paronda, yaitu orang orang yang berakal. Surah ali Imran ayat 190-191 misalnya menyebutkan Allah swt berfirman:
“Sesungguhnya, dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.” (QS. Ali-‘Imran: 190-191).
Selain itu, mantan aktivis IMM Makassar ini, juga mengulas QS Az Zumar ayat 18, yang terjemahannya: (yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal sehat.`
Ayat ini, menurut Hafid Paronda, sangat tepat untuk diselami para akademisi. Ia berpendapat bahwa ayat ini mendorong umat Islam berpikiran terbuka.
“Penerimaan informasi dari luar untuk dikelola dan dijadikan acuan pengambilan keputusan, dilakukan dengan kritis, obyektif, dengan penyaringan berjenjang yang sangat ketat,” jelasnya.
Menurutnya, keterbukaan terhadap setiap informasi merupakan keniscayaan, kemudian akan disaring secara berjenjang untuk dijadikan acuan.
“Dimulai dengan inventarisasi, identifikasi, kategorisasi dan klasifikasi atas segenap informasi yang diterima. Kemudian dilakukan verifikasi dan validasi, yang dilanjutkan dengan penetapan preferensi, disertai konsistensi dan kesiapan menghadapi konsekuensi,” ungkapnya.
Dalam proses membangun narasi, setiap nilai yang tidak memenuhi standar pasti tertolak, sedangkan sebaliknya, muatan informasi yang memenuhi kelayakan, teruji dan valid, akan dipertahankan dengan penuh kesungguhan, simpulnya.