Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Algoritma, Manusia dan Kehidupan: Urgensi Iqra dan Do’a

×

Algoritma, Manusia dan Kehidupan: Urgensi Iqra dan Do’a

Share this article

Oleh: Agusliadi Masssere*

Tatanan kehidupan semakin maju, perubahan terus terjadi dan mengikuti paradigma kecepatan, perkembangan bahkan revolusi teknologi semakin pesat. Dalam perenungan dan pemahaman saya, itu disebabkan salah satunya oleh apa yang disebut dengan “algoritma”. Revolusi industri yang kini sudah sampai pada pencapaian Revolusi Industri 4.0, dan akan terus bergerak melahirkan revolusi industri yang lebih maju, pada dasarnya, semua itu bisa terwujud karena adanya “algoritma”.

Ilustrasi yang sangat sederhana, teknologi terutama teknologi digital bisa beroperasi karena adanya bahasa pemrograman. Ada input, proses, dan output. Dan ini semua bisa bekerja atau beroperasi dengan baik, sesuai harapan, mampu memecahkan masalah dan mengambil keputusan-keputusan sebagai output, karena adanya seperangkat langkah metodis. Adalah Yuval Noah Harari (Penulis buku Bestseller International, “Homo Deus: A Brief History of Tomorrow”) menegaskan bahwa “seperangkat langkah metodis inilah yang disebut algoritma”. Apa yang ditegaskan oleh Harari, berdasarkan yang pernah kami pelajari di bangku kuliah, saya sepakat.

Saya ingin menegaskan terlebih dahulu bahwa isitlah “algoritma” bagi saya bukanlah sesuatu yang asing. Kurang lebih 15 atau 14 tahun yang lalu tepatnya antara tahun 2006 s/d 2007, selama tiga semester dua kali dalam sebulan saya berhadapan dengan mata kuliah yang mengajarkan tentang algoritma. Termasuk urgensi dan bagaimana cara memahami, menyusun alur dan sistematikanya. Pada saat itu, saya sedang kuliah program D3 Teknik Komputer Jaringan (TKJ), Program Beasiswa kerjasama antara Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia dan Universitas Hasanuddin (Unhas). Dalam tahapan, memasuki semester keempat saya berhenti karena tuntutan ekonomi keluarga. Saya harus menjadi tulang punggung.

Beberapa bulan terakhir, saya semakin tertarik dengan “algoritma” dengan berbagai determinan bahkan derivasinya. Dan ketertarikan ini semakin mengakar kuat ketika membaca karya Harari buku Homo Deus, karena apa yang saya pahami secara imajinatif bahwa dalam diri manusia dan kehidupan ini, terdapat mekanisme kerja yang mirip dengan prinsip, hukum, dan sistem yang terdapat dalam “algoritma”, sebagaimana ditegaskan oleh Harari dalam buku karyanya. Jika manusia memahami prinsip, mekanisme dan hukum algoritma ini, maka saya yakin manusia pun akan bisa memiliki kemampuan dahsyat, bisa mengatur potensinya, dan bisa fokus memperhatikan sikap dan perilakunya.

Sejak tahun 2002, saya memiliki pemikiran meskipun sampai detik ini masih sebatas hipotesis, bahwa dalam kehidupan ini Allah menciptakan sejenis hukum “otomatisasi”. Mungkin ada yang menyimpulkan serupa dengan mekanisme kerja robot. Bagi saya tidak persis sama, karena dalam hukum yang diciptakan Allah ini, sebagaimana pandangan saya, tetap memiliki ruang intervensi atas hak prerogatif Allah.

Ilustrasi yang mudah dipahami atas hukum otomatisasi itu, manusia dalam kehidupannya jika melakukan langkah “A”, “B”, “C”, “G”, “J”, dan “D” sebagai misal, maka secara otomatis dirinya akan merasakan dan/atau mendapatkan hasil “AZ”. Bisa saja dengan langkah yang persis sama, namun dengan adanya do’a dari yang bersangkutan dan/atau dari orang lain, ada kebaikan yang pernah dilakukan dalam konteks ruang dan waktu yang berbeda, maka hadirlah hak prerogatif Allah untuk mengintervensi. Dan hasilnya bukan lagi “AZ” tetapi “AY”. Kode-kode ini hanya meringkas ilustrasi terkait apa yang saya pahami meskipun hanya sebatas hipotesis, belum menjadi tesis. Bahkan saya bermimpi ingin membuat skemanya berbasis teknologi, meskipun belum terwujud.

Apa yang saya pahami ini, serupa dengan hukum kausalitas (hukum sebab-akibat). Meskipun dalam kausalitas ini, saya tidak hanya fokus pada sesuatu yang berisfat prosedural-mekanistik, material, dan duniawi. Saya masih memiliki kesadaran, karena semua ini adalah masih dalam ciptaan dan bingkai kekuasaan Allah, sehingga hak prerogatif Allah, sewaktu-waktu bisa saja hadir mengintervensi.

Algoritma

Algoritma bukan hanya menjadi bagian penting dalam kedahsyatan fungsi teknologi. Ternyata proses algoritma atau algoritmik ini terdapat pula dalam diri manusia termasuk kehidupan secara umum. Algoritma sebagai seperangkat langkah metodis yang bisa digunakan untuk mengalkulasi, pemecahan masalah dan mencapai keputusan-keputusan, tentunya dalam diri manusia termasuk kehidupan ini, melampaui pengertian, pemaknaan dan pemahaman tersebut.  Algoritmiknya lebih rumit, komprehensif, dan sangat dinamis.

Sebagai langkah metodis yang melakukan proses kalkulasi, Harari menggambarkannya dengan baik. “Jika Anda ingin mengalkulasi rata-rata antara dua anggota, Anda bisa menggunakan algoritma sederhana”. Algoritmanya “Langkah pertama, jumlahkan dua angka. Langkah kedua, bagi dua jumlah itu”. Dari algoritma ini, maka ketika kita memasukkan angka “4” dan “8” maka secara otomatis akan menghasilkan angka “6”.

Contoh yang lebih rumit dan lebih canggih diberikan pula oleh Harari. Mungkin kita pernah melihat “mesin penjual minuman”. Kita hanya memasukkan uang koin, atau lembaran uang tertentu, lalu menekan tombol pilihan jenis minuman yang disukai, maka seketika setelah itu, mesin tersebut melakukan proses sendiri, mengola jenis minuman yang kita sukai, menambahkan gula, susu, dengan takaran yang pas, sebagai misal. Mesin bereaksi memenuhi pilihan jenis minuman kita, hanya menekan tombol pilihan jenis minuman yang disukai. Hal ini bisa terjadi karena dalam mesin itu terdapat sesuatu yang dimaknai atau disebut sebagai “algoritma”.

Ternyata mekanisme kerja ini, berdasarkan hasil perenungan dan pemahaman saya, apalagi setelah membaca buku karya Harari, terdapat pula dalam diri kita bahkan dalam kehidupan yang lebih luas, alam semesta. Meskipun, sebagaimana telah saya tegaskan di atas, proses algoritmiknya jauh lebih rumit, komprehensif, dan dinamis. Bahkan bukan sekadar bersifat prosedural-mekanistik, dan material semata.

Jika algoritma yang mengendalikan mesin-mesin penjual atau teknologi-teknologi yang super canggih itu bekerja dengan gir-gir mekanik dan sirkuit elektrik. Yang tentunya di dalamnya pun lengkap dengan bahasa pemrograman. Algoritma yang mengendalikan manusia—sebagaimana ditegaskan oleh Harari—bekerja dengan sensasi-sensasi, emosi-emosi, dan pikiran-pikiran.

Saya menambahkan dari yang telah dijelaskan oleh Harari, jika mesin-mesin itu, algoritmanya bersifat (terkesan) statis, seperangkat langkah metodisnya tetap sesuai yang telah ditanamkan (diprogramkan) sejak awal teknologi atau aplikasi itu diciptakan. Bagi saya, algoritma yang terdapat dalam diri manusia, itu lebih dinamis, bisa mengalami perubahan “langkah metodis” berdasarkan akumulasi dari banyak hal yang dipahami dan dialami oleh orang yang bersangkutan.

Istilah “seperangkat langkah metodis” yang diberlakukan dalam mesin itu sudah tepat. Untuk diri manusia, saya sedikit kurang sepakat menyebut istilah yang sama, mungkin ada istilah yang lebih tepat selain “seperangkat langkah metodis” tersebut. Saya belum menemukan istilah yang tepat, namun mungkin bisa disejajarkan dengan istilah “prinsip-prisinp dasar” atau “hukum dasar” saja.

Dalam artian ada prinsip-prinpsi dasar atau hukum dasar yang berlaku dalam diri manusia dan kehidupan—yang fungsi dan mekanisme kerjanya menyerupai algoritma—yang selanjutnya memengaruhi kalkulasi, pemecahan masalah sampai pengambilan keputusan-keputusan (atau dalam konteks manusia menentukan sikap dan perilakunya). Atau istilah “langkah metodis” dalam konteks teknologi/aplikasi, dan istilah—menurut saya sendiri—“prinsip-prinsip/hukum dasar”, bisa pula disejajarkan atau disebut sebagai sunnatullah dan/atau law of attraction.

Mesin-mesin atau aplikasi itu akan bermanfaat sesuai harapan pembuatnya, jika prosesnya masih berjalan sesuai dengan alur algoritmik yang telah dirumuskan oleh programernya. Berbeda dengan manusia, Allah selaku penciptanya memberikan satu langkah alogiritmik atau prinsip/hukum dasar yang tidak kaku berupa “kehendak bebas”. Selain itu, di antara sekian banyak langkah metodis, algoritmik, prinsip/hukum dasar, Allah pun membuat “ruang” dalam diri manusia dan kehidupan (alam semesta) ini, untuk kapan saja hak prerogatif-Nya bisa hadir memberikan intervensi yang akan merubah dan/atau memengaruhi alur algoritma yang sudah ada, termasuk memengaruhi proses dan hasil kalkulasi, tanpa kecuali pengambilan keputusan.

Bagi manusia atau dalam dirinya, termasuk dalam kehidupan (alam semesta) ini, alur algoritmiknya lebih rumit, dinamis, fleksibel, dan komprehensif daripada yang ada dalam mesin-mesin tersebut. Hal ini, khususnya bagi manusia menuntut kemampuan untuk meningkatkan porsi perhatian atas segala sikap dan perilakunya, tanpa kecuali ilmu pengetahuan yang harus diinternalisasi dan difilternya. Memperhatikan ibadahnya kepada Allah karena semua ini, akan memengaruhi algoritma yang selanjutnya memengaruhi kemampuan kalkulasi, perhitungan probabilitasnya dalam setiap situasi dan kondisi, termasuk dalam menentukan dan/atau menetapkan sikap dan perilaku yang harus diambil.

Ibarat dua langkah metodis yang dicontohkan oleh Harari di atas dan menghasilkan angka “6”, sebagai bentuk algoritma sederhana, maka ilmu pengetahuan, sikap dan perilaku, bukan hanya berperan dan berfungsi sebagai input yang akan diproses, kemudian menghasilkan output, tetapi hal ini bisa pula bisa merubah dan memengaruhi langkah algoritma itu sendiri. Ini yang saya maksudkan bahwa proses algoritmik dalam diri manusia bersifat dinamis, berbeda yang terdapat dalam mesin-mesin teknologi/aplikasi yang menurut saya bersifat statis.

Ada banyak rumus algoritma yang tertanam dalam diri manusia dan alam semesta ini, meskipun dalam konteks tulisan ini sebagai ruang, masih sangat terbatas. Algoritma ini sebagai langkah metodis, tepatnya adalah sebagai prinsip-prinsip dasar, hukum dasar, sunnatullah, dan law of attraction. Namun semoga pemaparan di bawah ini bisa semakin memudahkan untuk pemahaman yang menjadi substansi dari tulisan saya.

Pertama, Allah memberikan “kehendak bebas” bagi manusia, meskipun dibalik kebebasan itu dilengkapi dengan berbagai konsekuensi yang berada di luar kendali manusia. Manusia diberikan kebebasan untuk memiliki sikap dan perilaku apa saja, dan bahkan ini sejenis the power of choice (kekuatan memilih), hanya saja Allah pun telah menetapkan berbagai konsekuensi dari setiap pilihan yang diambil.

Kedua, manusia diberikan “segumpal daging” jika itu baik maka baiklah semuanya. Segumpal daging ini, masih menimbulkan hal kontroversial, apakah yang dimaksud itu adalah “heart”(jantung) atau otak. Tulisan ini tidak fokus pada hal kontroversial tersebut, meskipun saya sendiri lebih setuju—meskipun belum saya simpulkan—bahwa yang dimaksud adalah “otak”.

Ketiga, otak manusia ada yang disebut, reptil, mamalia, dan neokorteks, pemungsian secara baik, benar dan seimbang atas bagian-bagian otak ini, akan memengaruhi sikap dan perilaku. Sikap-sikap atau perilaku negatif, seringkali karena diri seseorang dikuasai atau lebih didominasi pemungsian atas otak reptilnya, bukan neokorteks.  

Keempat, manusia memiliki alam sadar dan alam bawah sadar. Prinsip atau hukum dasarnya, jika sesuatu dilakukan berdasarkan pelibatan fungsi alam bawah sadar maka pengaruhnya 88% dibandingkan alam sadar yang hanya 12%. Sikap, baik positif maupun negatif, terutama yang sifatnya spontan/refleks, lebih sering dipengaruhi oleh data, informasi, pengetahuan yang tersimpan di alam bawah sadar.

Kelima, pikiran menarik sesuatu berdasarkan frekuensi yang sama. Jadi sesuatu yang mendatangi diri kita, bukan berdasarkan apa yang kita suka atau tidak, tetapi berdasarkan frekuensi pikiran apa yang lebih sering kita pancarkan. Termasuk pikiran yang terus menerus dilakukan sampai melahirkan tindakan yang menjadi kebiasaan akan mampu memengaruhi dan/atau melahirkan katakarakter serta nasib.

Keenam, pikiran, gelombang otak bukan hanya memancar dari otak yang satu ke otak yang lainnya, termasuk memancarkan dan memengaruhi alam fisik, alam/benda material yang ada di sekelilingnya atau menjadi arah yang ditujunya.

Ketujuh, kata-kata bukan hanya sebagai penggambaran sebuah realitas, tetapi termasuk mampu memengaruhi atau menciptakan sebuah realitas baru. Bahkan apa yang dimaknai sebagai “kata-kata” bisa memengaruhi sesuatu yang awalnya bersifat “haram” menjadi “halal”.

Kedelapan, niat menentukan hasil terhadap sesuatu. Niat dalam makna yang lebih luas, bisa dimaknai sebagai sikap awal, dan ini relevan dengan pernyataan John. C. Maxwell bahwa “sikap awal menentukan lebih dari apa pun juga”.

Kesembilan, Allah menjanjikan keunggulan bagi orang yang beriman dan berilmu.

Kesepuluh, dalam prinsip-prinsip dasar, hukum dasar, sunnatullah dan/atau law of attraction, Allah menyiapkan satu “ruang” untuk hak prerogatif-Nya untuk bisa kapan saja memberikan intervensi. Intervensi Allah ini, tentunya bisa saja berfungsi agar semuanya (prinsip/hukum dasar, sunnatullah dan/atau law of attraction) tidak berfungsi lagi sebagaimana mestinya, termasuk pula bisa memengaruhi agar fungsinya lebih cepat dan lebih dahsyat.

Minimal kesepuluh, prinsip-prinsip atau hukum dasar ini—meskipun masih jauh lebih banyak lagi yang tidak sempat saya tuliskan dalam ruang tulisan ini—akan memengaruhi proses algoritmik dalam diri manusia. Selain itu bisa pula berfungsi sebagai bagian dari big-data yang sangat berpengaruh dalam proses algoritmik.

Urgensi Iqra dan Do’a

Memperhatikan alur algoritmik, urgensi, signifikansi, dan implikasinya, termasuk sepuluh prinsip/hukum dasar di atas maka saya menemukan satu pemahaman, bahwa di sinilah ruang relevansi pentingnya iqra dan do’a.

Iqra, jika saya mengikuti tafsir Quraish Shihab, bukan hanya sekadar membaca, apalagi membaca dalam makna hanya melantunkan sebagaimana yang disorot dan dikritisi oleh Miftah Faqih (dalam kata pengantar buku karya Hasan Hanafi, Studi Filsafat 1. Membaca termasuk memahami secara filsufis, menelaah, meneliti, dan mendalami. Selain itu berarti proses internalisasi ilmu pengetahuan yang sangat penting untuk memahami minimal prinsip-prinsip yang saya sebutkan di atas.

Do’a yang tentunya termasuk dalam pemahaman ini juga berarti shalat dan dzikir, adalah satu hal yang bisa berfungsi meningkatkan keimanan. Keimanan kepada Allah, minimal dalam pemahaman secara algoritmik di atas, untuk melengkapi kesadaran dan memfokuskan diri pada harapan-harapan bahwa suatu waktu, kehadiran Allah, intervensi sebagai bagian dari hak prerogative Allah bisa hadir memengaruhi minimal prinsip-prinsip/hukum dasar, sunnatullah dan/atau law of attraction yang ada.

Iqra dan do’a bisa berfungsi untuk mencapai tingkat keimanan dan keilmuan yang akan bermuara pada turunnya janji Allah, atas keunggulan yang dimaksud.
 * Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner UIAD

Leave a Reply