KHITTAH. co, MAKASSAR – Sejak tahun 2000, UNESCO menetapkan 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional. Bahasa Ibu merupakan bahasa yang pertama kali kita dengar, lalu kita kuasai sebagai bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi pada masa pertumbuhan.
Kebanyakan, bahasa ibu juga merupakan bahasa daerah, walaupun tidak selalu. Bisa jadi, bahasa ibu seseorang adalah bahasa nasional atau bahkan bahasa asing.
Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau di Indonesia muncul pemahaman bahwa bahasa ibu sama dengan bahasa daerah. Kemudian, peringatan Hari Bahasa Ibu menjadi identik dengan perayaan bahasa daerah.
Hal itu terungkap dalam Peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional 2022 yang digelar dalam bentuk Seminar Nasional dengan tema “Pemertahanan Bahasa Ibu Pada Era Pandemi COVID-19”. Kegiatan ini digelar oleh Universitas Muhammadiyah Makassar bekerjasama dengan Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Selatan.
Kegiatan yang dibuka Rektor Unismuh Prof Dr Ambo Asse ini digelar secara virtual melalui aplikasi Zoom Meeting, Sabtu, 26 Februari 2022.
Acara ilmiah ini menghadirkan pembicara utama Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemdikbudristek RI Prof Endang Aminudin Aziz PhD.
Pembicara lainnya, Ketua HPBI Sulsel sekaligus Asdir III PPS UNM Prof Dr Anshari, Ketua Prodi S2 Linguistik Universitas Hasanuddin Dr Ery Iswary, dan Wakil Rektor II Unismuh Makassar Dr Andi Sukri Syamsuri.
Kepala Balai Bahasa Provinsi Sulsel Drs Yani Paryono MPd berperan sebagai pemandu seminar tersebut. Kegiatan diikuti sekitar 300 orang peserta yang merupakan dosen, guru, mahasiswa dan pemerhati Bahasa Ibu. Peserta berasal dari berbagai provinsi di Indonesia, antara lain dari Sulawesi Tengah, Kalimantan Utara, maupun sejumlah kabupaten di Sulsel.
Pentingnya Pelestarian Bahasa Daerah
Prof Aminuddin Aziz memeparkan, berdasarkan riset Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Indonesia memiliki 718 bahasa daerah dari 2560 daerah pengamatan. Sebagian besar ditemukan di wilayah timur Indonesia.
“Di Sulawesi ada 62 bahasa, di Papua 428 bahasa. Jumlah penutur bahasa daerah rata-rata sedikit. Akibatnya, ancaman kepunahan bahasa-bahasa daerah seperti ini menjadi sangat kuat. Situasinya akan semakin parah kalau tidak ada keberpihakan dari penuturnya,” ungkap Aminudin.
Beberapa faktor penyebab kemunduran atau bahkan kepunahan bahasa daerah, kata Prof Aminuddin, antara lain, sikap penutur bahasa daerah terhadap bahasanya, dan migrasi atau mobilitas sosial yang tinggi.
“Ketika para penutur bahasa daerah melihat bahasa daerahnya tidak lagi fungsional, kurang bergengsi, tidak keren, atau bahkan kampungan, maka keadaan dan cara pandang seperti itu menjadi pintu gerbang pertama bagi bahasa daerah menjadi punah,” ujar Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung ini.
Bahasa daerah, lanjut Prof Aminudin, merupakan salah satu kekayaan kultural bangsa Indonesia yang berbineka. Kelahiran bangsa Indonesia tidak terlepas dari keberagaman budaya yang ada di dalamnya, termasuk bahasa-bahasa setiap suku bangsa dan kelompok masyarakat tutur yang lebih kecil.
“Bahasa daerah merekam kearifan lokal, khazanah pengetahuan dan kebudayaan, serta kekayaan batin penuturnya,” pungkasnya.
(Rls)