Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Relasi Puasa dan Kemajuan Bangsa

×

Relasi Puasa dan Kemajuan Bangsa

Share this article


Oleh: Agusliadi Massere*

KHITTAH.CO, – Relasi agama dan negara saja masih sering menjadi perdebatan. Bahkan terkadang peran strategis agama dalam ruang publik seringkali hilang, salah satunya (bisa saja) karena ada sejenis doktrin klasik yang kurang tepat, bahwa agama adalah ranah private. Ini jangan dimaknai bahwa di alam bawah sadar saya, ada harapan yang bermuara agar Indonesia menjadi negara Islam. Dalam pandangan dunia saya, Pancasila sudah final. Jika relasi agama dan negara saja mendapat berbagai respon, apalagi relasi puasa dan kemajuan bangsa. Mungkin saja, ada yang menilai ini adalah sesuatu yang utopis. Idealitas yang sulit menjadi realitas.

Saya pun sadar atas “radiasi budaya” Arnold Toynbee, yang merupakan intisari dari riset peradabannya yang menemukan dan mengungkapkan empat lapisan budaya yang membuat suatu peradaban bertahan/tidak, dan maju atau mundur. Yang membuat suatu peradaban—tentunya bisa pula dimaknai suatu bangsa—bisa bertahan, sangat tergantung pada lapisan terdalamnya, yaitu visi dan/atau nilai spiritualitas. Selain itu yang membuat suatu peradaban maju dan mampu memengaruhi peradaban lain, adalah lapisan terluarnya: teknologi-sains. Dua lapisan budaya lainnya dalam “radiasi budaya” Toynbee adalah etika dan estetika.

Toynbee mempertegas seperti itu, dan saya setuju dan memercayai teorinya. Namun, saya menyadari bahwa sebelum mencapai yang namanya kemajuan, maka berdasarkan filsafat eksistensialisme, harus “ada” terlebih dahulu. Dan saya pun menyadari, teknologi-sains yang tidak dibingkai dengan nilai spiritualitas dan etika, akan semakin liar dalam mencapai kemajuan-kemajuannya. Dan yang terakhir ini nyata kita rasakan, di mana nalar/paradigma post truth menjadi laku keseharian umat manusia dibalik kemajuan teknologi: kebohongan terus diproduksi dan direproduksi.

Selain pemahaman teoritik di atas, berdasarkan perenungan atau sejenis inner journey (berselancar ke dalam jiwa) pula, saya memiliki pandangan dan keyakinan bahwa puasa bisa berkontribusi dalam realitas sosial. Ada banyak hal yang telah mengalami internalisasi (pemahaman mendalam), sehingga secara algoritmik dalam diri ini berakumulasi dan memantik sehingga judul di atas terpancar, dan tergerak untuk diselesaikan.

Indonesia sebagai negara-bangsa, tentunya telah mengalami kemajuan-kemajuan dari masa ke masa, dengan titik berangkat minimal dari masa proklamasi kemerdekaannya. Namun tidak dimungkiri, Indonesia masih tertinggal dari derap langkah kemajuan bangsa-bangsa lain. Padahal modal intelektualitas dan sumber daya alam, sumber daya manusia, termasuk apa yang disebut sebagai “genius nusantara” lebih dari cukup bisa membawa bangsa dan negara ini untuk mencapai keunggulan peradaban di mata dunia.

Indonesia tidak kekurangan pemikir, ilmuwan, cendekiawan, ulama. Indonesia meskipun bukan negara agama, tetapi bukan pula negara sekuler. Secara ideologis, Indonesia menegaskan diri sebagai negara yang memiliki basis dan kesadaran yang kuat akan spiritualitas: mulai dari pembukaan UUD Tahun 1945 sampai pada Pancasila-nya, terdapat hal yang menegaskannya.

Peluang Indonesia untuk unggul dan menjadi pusat peradaban dunia sangat potensial. Bahkan Indonesia dengan ideologi Pancasila-nya dipandang memiliki dipandang sebagai sesuatu Par Excellence. Ini pernah ditegaskan oleh Soekarno. Indonesia pun, dalam pandangan berbagai pakar, pemikir atau ilmuwan, tidak kekurangan konsep. Bahkan memiliki banyak konsep yang luar biasa.

Dari berbagai keunggulan dan hal potensial yang dimiliki oleh bangsa dan negara Indonesia, jika kita mau merenungkan dan jujur mengatakannya, yang menjadi kekurangan bagi kita, sehingga masih sulit menjadi pusat peradaban atau memenangkan percaturan global adalah “pengendalian diri” (self controlling) yang masih sangat rendah, terutama oleh elit bangsanya. Salah satu indikatornya adalah tingkat korupsi yang sangat memprihatinkan.

Lalu apa relevansinya dengan puasa? Dan bahkan terkesan, penulis memiliki keyakinan bahwa puasa memiliki korelasi positif dengan kemajuan bangsa? Puasa—sebagaimana ditegaskan oleh Prof. Haedar Nashir—meskipun berdasarkan verbal syariah berarti “menahan diri dari makan, minum, dan pemenuhan kebutuhan biologis dari terbit fajar hingga terbenan matahari. Namun makna hakikinya adalah menahan diri dari hawa nafsu atas dunia, yang sering menjerumuskan manusia pada cinta dunia melampaui batas, sehingga hidupnya jadi pemuja kesenangan (hedonis), pengejar kegunaan (pragmatis), dan pemburu kesempatan (oportunis) dengan mengabaikan nilai-nilai utama kebenaran, kebaikan, dan etika”.

Latar historis puasa pun—sebagaimana Haedar mengutip pandangan Syed Ameer Ali—“merupakan laku ibadah yang sah untuk mengendalikan hawa nafsu”. Secara historis, bahwa jahiliah sebelum Islam dikenal rakus, mengumbar nafsu, dan kejahatan melampaui batas.

Haedar Nashir pun meminjam perspektif dan ungkapan sufi ternama Jalaluddin Rumi “ibu dari semua berhala”. Yang digambarkan ini adalah hasrat makan, minum, dan hasrat biologis yang disimbolkan sebagai “nafsu dunia”. Bahkan digambarkan “segala petaka hidup bermula dari hawa nafsu primitif yang tak terkendali, yang mendorong manusia ingin menguasai dunia melampaui batasan.

Nafsu dunia, yang menjadi “ibu dari semua berhala”—apalagi sekarang memang nyata dalam realitas kehidupan, adanya berhala kontemporer, dengan menuhankan jabatan, harta, dan popularitas—dan “sumber segala petaka” seakan nampak sebagai tontonan yang mengasyikkan. Saya menyebutnya demikian karena terkesan, kita belum maksimal secara massif untuk bergerak bersama melawannya, tanpa kecuali masih ada “oknum” dalam lembaga yang berwenang dan memiliki otoritas, yang belum maksimal kinerjanya—untuk tidak mengatakannya sudah “diam dan membatu”.

Melihat fenomena tersebut, saya sepakat jika ada yang mengatakan kita lupa, tidak memaksimalkan, tidak melakukan transformasi nilai atas puasa yang telah kita tunaikan minimal selama sebulan dalam setiap bulan Ramadhan. Padahal puasa—meminjam istilah Haedar Nashir—adalah “Mozaik Spiritualitas Luhur”.

Puasa yang dilakukan selama 29/30 hari dalam bulan Ramadhan sejatinya menjadi habits (terkait relevansi puasa dan habits telah pernah saya tuliskan pada bulan Ramadhan tahun lalu), mampu membentuk karakter dengan perilaku yang mengedepankan “pengendalikan diri” (self controlling) terutama terhadap “nafsu dunia”. Puasa jangan hanya menjadi, sebagaimana disinyalir oleh Rasulullah Muhahammad saw “Berapa banyak orang yang berpuasa, tiada hasil dari puasanya, kecuali lapar dan dahaga” (HR Ibnu Majah).

Saya teringat, dengan sebuah tulisan teman dan berita, beberapa tahun yang lalu, seorang koruptor yang sebelumnya menjadi buronan, tertangkap pada saat sedang “sahur” (berarti yang bersangkutan sedang ingin berpuasa pada hari itu). Yang menjadi paradoks “kok, orang yang berpuasa, korupsi?” Buya Syafii (panggilan akrab Ahmad Syafii Maarif), pernah “menyentil” hal paradoks sejenis, “Setiap tahun jumlah jamaah Haji kita selalu bertambah. Namun kesadaran religiusitas tersebut tidak berbanding lurus dengan perilaku bangsa.” Ini diungkapkan Buya Syafii dalam sebuah diskusi “Jakarta Lawyers Club” yang ditayangkan TvOne (09/08/2011). Dan idealnya jumlah kuota jamaah haji Indonesia yang setiap tahun terus bertambah, menurut Hadi Saputra “cukup memadai untuk menebarkan keteladanan di tengah masyarakat Indonesia”.

Saya pun ingin mengatakan, jumlah yang berpuasa di Indonesia, lebih dari cukup untuk mengendalikan kehancuran, termasuk kebobrokan netizen yang menyebabkan jatuhnya penilaian bahwa Indonesia sebagai netizen paling tidak beretika di Asia. Apa pun bentuk kehancuran, pada intinya basisnya adalah minimnya sikap dan perilaku yang dimaknai “pengendalian diri” (Self contolling).

Puasa yang pada hakikinya adalah “pengendalian nafsu dunia”, sebagaimana ditegaskan oleh Haedar Nashir bisa menjadi “spiritualitas luhur” bisa mengendalikan nafsu dan kerakusan yang berujung pada kehancuran. Dan Haedar pun menegaskan bahwa “agama dan spiritualitas luhur selalu menjadi tempat rujukan untuk mencari kanopi suci bagi kehidupan yang galau dan tidak pasti.

Ketika pembaca sampai pada poin terakhir di atas, mungkin akan berkata tetapi realitas yang ada sangat paradoks. Betapa banyak yang berpuasa, dan gairah aktivitas keagamaan yang tinggi justru kemajuan-kemajuan bangsa dan negara belum sepenuhnya sesuai, sebagaimana yang menjadi idealitas para founding fathers dan termasuk harapan mulia kita semua hari ini.

Jawaban minimalisnya, puasa yang kita lakukan bisa saja, jika meminjam teori habitus Pierre Bourdie masih sebatas proses internalisasi eksterior. Dan hal ini diperkuat adanya sejenis “blok paradigma” sebagai doktrin klasik, bahwa puasa atau agama secara umum itu, ranahnya bersifat private, dan saya pun menemukan pencerahan-pencerahan spiritualitas, seringkali puasa hanya diorientasikan dengan versi dan porsi yang besar yang muaranya pada “surga”.

Padahal puasa, setelah proses internalisasi, maka sebagaimana yang bisa dipahami dari Pierre Bourdie perlu ada proses eksternalisasi interior. Sederhananya bisa dipahami, bahwa nilai-nilai puasa itu harus ditransformasikan dalam realitas kehidupan, kehidupan sosial, bahkan termasuk dalam tata kelola pemerintahan dan negara. Jika ini dimaksimalkan, sejatinya mampu mengurangi dengan tingkat capaian yang tinggi terhadap perilaku korupsi.

Begitu pun, dengan transformasi nilai puasa, sejatinya hoax tidak terus diproduksi dan direproduksi yang seringkali membuat gaduh, bukan cuma di media sosial, tetapi tanpa kecuali dalam realitas kehidupan. Agama, tanpa kecuali puasa, sejatinya jangan hanya—meminjam istilah yang pernah dikutip oleh Kak Hadi (panggiran akrab saya kepada Hadi Saputra) “pseudo religious” dan “religion tainment”. Harapannya agar dengan nilai puasa, konsep-konsep yang luar biasa akan kemajuan bangsa tidak hanya sebatas di atas meja dan ruang diskusi, dan bangsa dan negara Indonesia ini, tidak mengalami “cultural lag” (cupet/cekat/tidak sampai) dan “cultural shortage” (kecekakan/ketekoran budaya).

Ketika berbagai modal telah dimiliki oleh suatu bangsa dan negara, syarat selanjutnya untuk mencapai kemajuan adalah kemampuan mengendalikan diri. Puasa sejatinya mampu membentuk habitus dan bahkan karakter dengan tingkat self controlling yang tinggi.

*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner PMB UNIMEN

Leave a Reply