Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Shalat: Tinjauan Filosofi Habits dan Upaya Transformasi Nilai

×

Shalat: Tinjauan Filosofi Habits dan Upaya Transformasi Nilai

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere*

Satu di antara lima rukun Islam adalah shalat. Dalam ajaran Islam, hampir semua umat Islam memahami bahwa shalat memiliki posisi utama dan bahkan dipandang pula sangat mendasar ketimbang aktivitas ibadah lainnya. Shalat pun dinilai sebagai kunci diterimanya ibadah-ibadah yang lain.

Kewajiban shalat, sebagaimana pandangan M. Quraish Shihab dalam kata pengantarnya pada buku Buat Apa Shalat? karya Haidar Bagir, merupakan sebuah aksioma. Artinya kewajiban yang kepastiannya sudah tak lagi dipertanyakan bagi umat Islam. Ada hal menarik pula terkait shalat meskipun dalam makna berdo’a, yang dikutip oleh Quraish Shihab dari William James—seorang filosof dan psikolog Amerika, “Anda bisa masuk ke suatu wilayah, lalu Anda di situ tidak menemukan bioskop, pasar, atau tempat hiburan. Tetapi tidak mungkin Anda tidak menemukan tempat untuk berdo’a”.    

Pada dasarnya shalat adalah kebutuhan jiwa, dan bahkan menjadi kebutuhan akal. Mengapa disimpulkan seperti itu? Dalam kehidupan ini, penuh dengan ketidakpastian, dan disadari bahwa itu betul karena dalam hidup ini tidak ada yang abadi kecuali perubahan itu sendiri. Dibalik ketidakpastian, secara psikologis, seringkali diliputi perasaan cemas, apalagi diperkuat dengan adanya harapan. Nah, pada posisi buntu akan keterbatasan yang ada, maka secara naluriah kembali menautkan harapan kepada realitas tidak terbatas yaitu Allah, yaitu melalui do’a. Shalat pun dalam makna tertentu adalah berdo’a.

Pembahasan mengenai shalat bisa dipastikan bukan persoalan baru. Hal ini sering kita dapatkan melalui buku-buku mata pelajaran, termasuk ceramah-ceramah di masjid, khususnya selama bulan Ramadhan. Saya yakin kebanyakan membahas persoalan shalat dalam perspektif fiqh dan tasawuf. Namun, bisa jadi, masih sangat sedikit yang membahasa shalat dalam perspektif psikologi yang dalam substansi tulisan ini pada pendekatan filosofi habits, dan upaya transformasi nilai dalam realitas kehidupan.

Shalat tentunya tidak hanya bermuara pada surga-neraka. Shalat tidak hanya dituntut untuk memahami rukun-rukunnya yang meliputi bacaan-bacaan dan gerakan-gerakannya. Penegasannya bisa kita pahami dari QS. Al-Ankabut [29]: 45, “….Sesungguhnya s[h]alat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar….”Tujuan shalat ini, dalam pemahaman saya berdimensi psikologi dan sosial, karena perbuatan keji dan mungkar itu berada dalam ranah keduanya: psikologi, dan sosial.

Untuk mencapai substansi tujuan utama shalat dalam dimensi psikologi dan sosial maka, saya berupaya memahaminya dalam perspektif habits, dan selanjutnya dengan penuh harapan bermuara secara fungsional dalam realitas sosial, sehingga penting untuk melakukan transformasi nilai. Aktivitas shalat itu, berada dalam mekanisme kerja sikap dan perilaku, berarti ini memang bisa dibenarkan berdimensi psikologi. Selain itu, menjangkau ranah sosial.

Sebelum lebih jauh membahas terkait shalat dalam perspektif atau filosofi habits dan upaya transformasi nilainya. Terlebih dahulu, saya ingin menegaskan bahwa segala sesuatu yang di dalamnya mengandung mekanisme yang berbentuk aktivitas, maka di dalamnya mengandung tiga mekanisme kerja yang disebut “input”(masukan), “process”(proses), dan “output”(keluaran). Meskipun ada satu lagi, yaitu “outcome” (hasil atau lebih tepat dampak).

Tiga hal tersebut di atas: input, process, dan output bukan hanya berlaku sebagai mekanisme kerja dalam teknologi, tetapi sesungguhnya dalam diri kita selaku manusia, mengalami tiga mekanisme kerja yang sama. Ini seperti keniscayaan, sehingga perlu mendapatkan perhatian serius.

Dalam relasi triadik—saya menyebutnya dengan istilah demikian saja—shalat, manusia, dan realitas kehidupan, niscaya mengandung tiga mekanisme kerja tersebut: input, process, dan output. Secara filosofis, saya memahami bahwa ketika kita sedang menunaikan shalat, maka sesungguhnya itu mengandung makna terjadinya “input”. Setelah itu, sekaligus di dalamnya mengandung mekanisme kerja “process”. Dan selanjutnya diharapkan ada “output”.

Mekanisme kerja “process” shalat ini, dalam pandangan saya, bukan hanya menjadi wilayah kerja malaikat Raqib (yang bertugas mencatat amal kebaikan, jika shalat benar dan baik), dan Atid (yang bertugas mencatat amal buruk, jika shalat yang dilaksanakan lalai). Namun “process” ini pun berada dalam wilayah kerja alam bawah sadar yang telah built-in dalam diri manusia, sebagai satu paket penciptaan dari Allah. Hal ini pula sehingga, saya sering mengatakan bahwa amal kebaikan tanpa kecuali ibadah shalat, dan ibadah-ibadah lainnya, bukan hanya menjadi bagian buku catatan para malaikat, tetapi akan tercatat dengan baik di alam bawah sadar kita, dan selanjutnya, bahkan bisa memengaruhi mekanisme on/off  DNA  dalam diri manusia.

Dari pemahaman dan kesadaran di atas, dan sebagaimana yang saya pahami dengan baik terkait  filosofi habits, maka shalat yang rutin dilakukan idealnya dan bahkan bisa dipandang sebagai suatu keniscayaan, akan memberikan efek positif atau baik dalam realitas kehidupan keseharian kita. Rutinitas kita melaksanakan shalat, idealnya bukan hanya mengejar dimensi kuantitas yang salah satu penandanya yang selalu disebut-sebut, bahkan dipuja, yaitu “jidat hitam, sebagai bekas sujud”.

Idealnya, dalam pandangan/perspektif filosofi habits, shalat yang kita lakukan, tidak hanya secara kuantitatif meninggalkan bekas berupa “jidat-hitam”, melampaui dari itu, memengaruhi kualitas hidp dalam realitas kehidupan. Ketika ada orang yang mengaku atau secara nyata rajin shalat bahkan telah nampak nyata “jidat-hitam” pada dirinya, lalu pada tempat dan kesempatan lain melakukan korupsi. Saya bisa pastikan, shalatnya belum bisa dikategorisasikan “berkualitas”, hanya bersifat “kuantitatif” saja. Mohon maaf, para pembaca, mengapa kebanyakan tulisan saya menggunakan contoh “korupsi”, karena saya meyakini perilaku korupsi, adalah perbuatan yang paling buruk dan merusak tatanan kehidupan dalam berbangsa dan bernegara.

Sebelum saya melanjutkan pembahasan, saya ingin memberikan sedikit pemahaman, meskipun pada tulisan-tulisan saya yang lain, saya pernah menguraikannya lebih mendalam, bahwa habits itu mengandung dua hal practice (latihan), dan repetition (pengulangan). Dan berdasarkan hukum alam, baik yang terjadi dalam makrokosmos (alam semesta) maupun mikrokosmos (diri manusia), bahwa segala yang dilakukan secara berulang-ulang akan meninggalkan jejak/bekas. Contoh nyata, jalanan kebun yang ada tidak pernah secara sengaja dibentuk, tetapi terjadi karena sering dilewati. Dalam dunia pendidikan pun dikenal sejenis aksioma “ala bisa, karena biasa”.

Shalat yang telah dilakukan secara rutin, idealnya di dalammya berlaku hukum habits (kebiasaan). Dan yang harus kita pahami, meskipun sesungguhnya para pembaca pasti sudah mengetahuinya, bahwa dalam shalat, proses repetition (pengulangan) yang ada bukan hanya dimensi fisik-material-lahiriah, yang bisa saja jejak/bekasnya berwujud “jidat-hitam”. Dalam shalat pun, proses repetition yang ada mencakup dimensi atau berada dalam ranah psikologis-mental-jiwa-nurani-ruh. Meskipun ini abstrak tetapi jejak dan efeknya jauh lebih dahsyat dan bahkan sebagaimana ayat yang saya sebutkan di atas, sesungguhnya ini yang menjadi bagian dari tujuan utama shalat.

Ingat, dan ini pun bisa dibenarkan oleh hukum fisika quantum, bahwa sesuatu yang bersifat/ berwujud fisik-material di alam semesta ini, termasuk pada diri kita yang nampak luar biasa kekuatannya, semua itu terjadi karena di dalamnya terdapat sesuatu yang sifatnya immaterial. Contoh sederhana, mesin apalagi yang berbasis teknologi digital, yang memiliki kehebatan, kemampuan, dan kualitas kerja yang luar biasa, di dalamnya ada sesuatu yang saya sebut “immaterial”. Ada program, yang hanya berisi bahasa pemprograman, dan termasuk mekanisme on/off pada satu bit data sekali pun yang membuat teknologi bergerak dan menunjukkan kekuatan luar biasa. Sama halnya pada diri manusia, fisik yang kuat ini, karena di dalam diri kita terdapat “DNA” yang di dalam DNA pun terdapat sesuatu yang bersifat informasi yang tersusun dari empat huruf kimiawi yang sering pula diistilahkan alfabet-basa, membentuk kode-kode genetika yang termasuk bisa memengaruhi hal psikis dan fisik sekalipun.

Dalam shalat, bukan hanya mengandung gerakan-gerakan dan bacaan-bacaan verbal. Dalam shalat, mengandung pula bacaan yang memiliki makna, berwujud do’a, dan bernilai harapan-harapan. Dan kandungan shalat yang, saya sebutkan terakhir ini, itu pun dilakukan secara berulang-ulang, mengalami sebuah proses repetition. Sejatinya dalam tinjaun filosofi habits, dan termasuk jika memahami secara psikologis mekanisme dan fungsi “alam bawah sadar”, maka setelah proses input, process, akan menghasilkan output berupa sikap, dan bahkan akan berwujud karakter sesuai dengan do’a, harapan-harapan, dan makna dalam bacaan-bacaan shalat kita. Makanya baik Dr. Asep, maupun Ary Ginanjar Agustian, menegaskan bahwa shalat merupakan character Building.  

Atas dasar pemahaman inilah, yang membuat saya sedih ketika ada orang menampilkan sikap ketakutan yang sangat besar akan strategis orang lain dalam sebuah kompetisi. Mengapa saya sedih, karena saya melihat orang itu rajin shalat, tetapi pada saat yang lain mengalami ketakutan yang luar biasa. Lalu di mana fungsi, efek, jejak, bekas dari takbir “Allahu Akbar” (Allah Maha Besar) yang selama ini, secara rutin diucapkan setiap kali shalat dan bukan hanya sekali. Bukankah kita senantiasa menanamkan melalui bacaaan ke dalam jiwa, pikiran dan alam bawah sadar kita akan kebesaran Allah, sedangkan yang lainnya kecil.

Berdasarkan filosofi habits, takbir itu idealnya memberikan bekas dahsyat dalam diri kita, dan memancarkan proses berupa eksternalisasi interior (mengeluarkan nilai dari dalam diri) bahwa ada Allah Yang Maha Besar, tidak perlu takut. Lalu, mungkin saja, ada yang berkesimpulan berarti perspektif filosofi habits penulis yang keliru karena tidak terbukti. Tidak. Anda keliru. Pembaca yang keliru, saya berani mengatakan bahwa filosofi habits sebagai sunnatullah   selalu akan benar dan terbukti, kecuali jika hak prerogatif Allah hadir memberikan intervensi.

Mereka, atau orang yang membuat saya bersedih itu, bisa saja belum melakukan mekanisme kerja “input” dan “process” yang baik pada saat sedang shalat termasuk dalam mengucapkan “Allahu akbar”. Belum diresapi dengan baik, hanya terucap secara verbal melalui lisannya, tanpa ada proses maknawi yang mendalam melalui jiwa, hati, dan pikirannya.

Sama halnya ketika ada yang rajin shalat, tetapi pada kesempatan lain, saat dirinya merasa cemas, dan seakan mengalami kebuntuan perjalanan, lalu menempuh langkah solutif terhadap sesuatu yang tidak diridhoi Allah, seperti menggunakan kekuatan “ghaib atau bantuan jin”. Saya bisa memastikan, bahwa orang yang seperti itu shalatnya masih perlu lagi ditingkatkan kualitasnya. Umat Islam, atau orang-orang yang shalatnya sudah mampu membekas dalam jiwa, hati, dan pikirannya, sejatinya tidak menempuh jalan perjuangan yang tidak diridhoi Allah.

Satu tambahan pemahaman yang saya ingatkan kepada teman-teman pembaca, bahwa berdasarkan teori alam bawah sadar, apa pun yang diulang-ulang, tentunya termasuk dzikir kita, akan tersimpan di alam bawah sadar. Dan segala sesuatu yang tersimpan di alam bawah sadar, maka akan memiliki daya respon yang sangat cepat. Alhamdulillah, terkait fungsi alam bawah sadar ini, saya sering merasakan, salah satunya jika ingin menyelesaikan tulisan, jika tema-tema itu adalah yang sering saya baca, maka pada saat saya menuangkan dalam tulisan, terasa mengalir, meskipun jika ada kutipan langsung, maka etikanya saya harus merujuk pada referensi asalnya dan merujuknya dengan tepat. Tulisan ini pun terasa mengalir.

Uraian di atas, tentunya sedikit sudah bisa menggambarkan bagaimana shalat dalam tinjauan filosofi habits. Saya tidak mengulas lebih dalam terkait habits karena saya mengasumsikan teman-teman pembaca sudah pernah membaca beberapa tulisan saya yang membahas tentang habits.

Setelah itu, tentunya nilai shalat yang tertanam dalam diri, khususnya pada alam bawah sadar sejatinya bukan hanya mengantarkan orang yang bersangkutan untuk mencapai surga. Namun, mampu melakukan transformasi nilai dalam realitas kehidupan.

Orang-orang yang shalat, tentunya tidak akan korupsi, amanah dalam menjalankan tugas, fungsi, kewajiban dan wewenangnya. Mereka tidak menebarkan kebencian, karena setiap shalat menyebut sifat kasih sayang Allah. Tidak menggunakan kekuatan yang tidak diridhoi Allah dalam perjuangannya, karena dirinya setiap kali shalat mengucapkan “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in(u)” (Hanya kepada Engkaulah kami menyembah, dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan).

Membahas persoalan shalat, tanpa kecuali relasinya dengan filosofi habits, dan upaya transformasi nilainya, itu tetap bagaikan samudera, sedangkan keilmuan saya masih memiliki kekurangan, apalagi media online ini punya banyak keterbatasan, sehingga hal ini menggerakkan jemari ini untuk berhenti menari di atas tuts keyboard laptop.

 *Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply