Oleh: Agusliadi Massere*
KHITTAH.CO, – Hari ini tidak terbantahkan jika disimpulkan sebagai era digital. Saya yakin tidak keliru jika disejajarkan dengan istilah, yang oleh Yasraf Amir Piliang menyebutnya era pasca industri. Era digital ataupun pasca industri secara sederhana bisa dipahami, dan sekaligus ini adalah ciri utamanya adalah ruang dan waktu ditaklukkan oleh kekuatan elektromagnetik. Teknologi atau perangkat digital berbasis pada kekuatan elektromagnetik.
Dalam suasana Ramadan seperti hari ini, untuk memenuhi kebutuhan primer dan sekunder, bahkan tersier (barang yang tergolong mewah) bagi yang berpuasa, bisa dilakukan dengan cara sangat praktis, efektif, dan efesien tanpa bersusah payah mengeluarkan tenaga alamiah dalam menaklukkan ruang dan waktu untuk menjangkaunya. Tanpa kecuali tidak perlu lagi—bagi yang mau memanfaatkan teknologi—untuk menaklukkan ruang dan waktu dengan kekuatan mekanik mesin (seperti motor atau mobil), dengan konsekuensi kemacetan yang terkadang tidak bisa dihindari. Dengan kekuatan elektromagnetik—perangkat teknologi digital seperti smartphone berbasis android—emak-emak sudah bisa memenuhi semua kebutuhannya tanpa kecuali “baju lebaran” hanya dengan beberapa pencetan touchscreen yang berada dalam genggamannya.
Hal di atas sebagai bentuk, ciri dan fungsi yang bisa dirasakan dari perkembangan revolusi teknologi digital yang semakin pesat sampai hari ini, hingga pada masa yang akan datang. Pada dasarnya, teknologi tanpa kecuali teknologi digital dibuat dengan spirit mampu menjamin dan menjanjikan kemudah-kemudahan bagi manusia. Tanpa kecuali menjanjikan nilai ekonomis, atau penghematan. Meskipun demikan tidak bisa dimungkiri secara faktual kemajuan pesat revolusi teknologi digital hari ini, tidak dimanfaatkan secara maksimal ke arah positif. Tidak sedikit, dan saya yakin pembaca merasakan hal yang sama, bahwa kemajuan teknologi ini diarahkan dan/atau dimanfaatkan secara maksimal ke arah negatif.
Tanpa pandang waktu, baik di luar maupun dalam bulan Ramadan, masih banyak dijumpai kasus-kasus penipuan dengan pemanfaatan maksimal kemajuan teknologi digital. Contoh sederhana saja, yang pernah dialami teman dan keluarga, akun facebooknya dibobol oleh oknum yang tidak bertanggungjawab untuk melakukan penipuan berkedok pinjaman yang mengatasnamakan koperasi. Termasuk ada kasus penipuan yang menguras saldo rekening si korban.
Selain itu, kita pun pernah atau senantiasa menjumpai pemanfaatan teknologi digital ke arah negatif dengan menyebarkan kebencian-kebencian di media sosial. Menyebarkan narasi yang menyesa(t/k)kan. Ada kebiasaan sharing tanpa saring, dan bahkan perintah agama untuk ber-tabayyun tidak diindahkan lagi. Dan kondisi ini pun, yang malas tabayyun, yang oleh Yasraf menyebutnya “kehidupan inersia”.
Bahkan era digital ini pun melahirkan kondisi yang disebut post truth. Yang secara sederhana kondisi ini bercirikan, “berita-berita bohong atau palsu sekali pun sangat efektif digunakan untuk menyulut emosi dan sentimen publik”. Ada beberapa kasus yang berujung pada keretakan sosial, dan berujung pada pembunuhan, berawal dari hoax. Dan hal-hal ini terkadang menyebar secara massif dan cepat, apatah lagi hari, dalam kehidupan ini-sebagaimana pandangan Paul Virilio, kecepatan telah menjadi indikator kemajuan.
Yang memalukan pula bagi bangsa Indonesia—apa lagi mayoritas penduduknya beragama Islam yang di dalam ajarannya dikenal adanya “spiritualitas ihsan”—hasil survey Microsoft menyebut netizen (warganet) Indonesia “termasuk yang paling tidak sopan”. Hal ini berdasarkan riset Microsoft yang mengukur tingkat kesopanan pengguna internet sepanjang tahun 2020. Hasilnya, Indonesia berada di urutan ke-29 dari 32 negara yang disurvei. Dari data ini pula, tergambar untuk Asia Tenggara, Indonesia menduduki posisi paling rendah. Sedangkan negara tetangga yang kecil wilayahnya seperti Malaysia dan Singapura menjadi teladan karena berada diurutan ke-2 dan ke-4.
Bukan hanya hal di atas, yang bisa menjadi penanda bahwa teknologi digital masih lebih banyak diarahkan ke hal negatif. Berdasarkan pengamatan saya, meskipun (mungkin) ini sifatnya subjektif, tetapi saya yakin banyak pembaca setuju, bahwa—jika meminjam istilah kecenderungan sikap dan perilaku dari Erich Fromm—masih lebih banyak yang nekrofili ketimbang biofili. Nekrofili maksudnya sangat mencintai/menyukai sesuatu yang kurang/tidak memiliki/memberikan makna hidup. Sedangkan biofili, mencintai/menyukai/memiliki kecenderungan yang amat besar terhadap sesuatu yang memiliki makna hidup. Meskipun istilah “makna” terkadang bersifat subjektif, tetapi saya yakin ada hal-hal tertentu, di mana orang-orang akan memiliki pemaknaan yang hampir sama.
Terkait apa yang saya pahami dan meminjam istilah dari Fromm di atas, saya menemukan di media sosial, terkadang ada tontonan melalui live streaming, sesuatu—minimal menurut pemaknaan saya—kurang memiliki “makna kehidupan”, tetapi ditonton/diikuti puluhan ribu penonton/netizen, ketimbang sesuatu yang penuh dengan “makna”. Saya sebut saja langsung “game” yang sekaligus berbasis live streaming, seringkali diikuti ribuan bahkan puluhan ribu, ketimbang video live streaming yang membahas tema-tema “politik”, “kehidupan demokratis”, “motivasi hidup”, “dakwah atau siraman rohani dari para ustadz/ulama”.
Dan sebenarnya teknologi digital pun bisa memengaruhi nalar, apa lagi, hari ini, kebanyakan dari kita lebih banyak menghabiskan waktunya di dunia maya daripada dunia nyata. Sehingga potensi memengaruhi nalar sangat besar. Dari hal ini, berarti akan memengaruhi doing (cara bertindak), meaning (cara memaknai), relating (cara menjalin relasi atau berinteraksi dengan orang lain), thingking (cara berpikir), dan being (cara menjadi).
Selain teknologi memengaruhi nalar secara umum, lebih spesifik ternyata mampu memengaruhi kehidupan keberagamaan manusia, dan saya yakin ada pembaca yang sepakat pula dengan ini. Mungkin ini pulalah sebagaimana dikutip oleh Yasraf bahwa Jeff Zaleski memiliki karya, yang judul bukunya Spiritualitas Cyberspace: Bagaimana Teknologi Memengaruhi Kehidupan Keberagamaan Manusia. Dan yang berbahaya ke depannya, jika bukan hanya melahirkan realitas baru dengan teknologi digital itu, tetapi termasuk melahirkan “agama baru”, “spiritualitas baru”, dan/atau “Tuhan baru”. Dan ini sudah mulai nampak.
Dan kita perlu pahami bersama pula, bahwa teknologi pun tanpa kecuali teknologi digital, jika meminjam cara pandang Mark Hamilton dan Yasuhiko Kimura—sebagaimana yang dikutip oleh Yasraf ke dalam buku karyanya—memiliki fondasi nilai. Artinya apa? dibaliknya terdapat hal-hal filosofis dan ideologis yang menggerakkannya. Ke depannya teknologi pun berpotensi untuk menggiring manusia ke arah “pengingkaran terhadap Tuhan”, tanpa kecuali terhadap “pengingkaran terhadap kematian”. Yang terakhir ini, relevan dengan pandanga-pandangan yang diulas oleh Yuval Noah Harari, bahwa “homo deus” punya misi untuk hidup 150 sampai 500 tahun ke depan, yang melandaskan harapannya ini terhadap kemajuan teknologi.
Sangat jelas, bahwa teknologi selain menjanjikan dan menjamin akan memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia—termasuk dalam rangka menaklukkan alam yang secara psikologis pada masa geosentrisme dipandang memiliki power dan/atau posisi superioritas ketimbang manusia—memiliki pula dampak negatif, berbahaya, dan bahkan akan mengancam posisi manusia ke depannya. Belum lagi, adanya pihak-pihak tertentu yang sengaja mengembangkan teknologi digital bukan untuk tujuan memberikan kemudahan tetapi memiliki misi menyerang manusia lainnya.
Jika kita merenungkan, dan secara esensial maupun substansial, sesungguhnya secanggih apa pun teknologi itu, tetap adalah karya manusia berdasarkan ilmu, inspirasi, ilham yang diperoleh dari Allah. Sejatinya atau idealnya teknologi tetap tunduk pada tujuan mulia manusia, bukan justru sebaliknya teknologi memporak-porandakan kemanusiaan atau nilai-nilai manusia.
Untuk harapan yang baru saja diungkapkan, dan para pembaca baru saja membaca dan melewatinya, satu kata kunci (keyword) untuk hal tersebut yang bisa menjadi prasyarat agar teknologi digital atau kehidupan dalam era digital ini tetap bergerak sesuai harapan-harapan mulia manusia, maka manusia pun harus menjadi “manusia digital”. Jangan menjadi manusia analog yang memiliki banyak kepentingan bercampur-baur antara berbagai nilai positif dan negatif, kebenaran/kepalsuan, kebaikan/keburukan, dan berbagai hal lainnya yang paradoks dan kontradiksi.
Sebelum saya menjelaskan terkait manusia digital—yang, saya mendapatkan banyak inspirasi dari Ary Ginanjar Agustian—terlebih dahulu saya ingin menegaskan bahwa era digital dengan kekuatan elektromagnetiknya yang sangat dahsyat dalam menaklukkan ruang dan waktu, “dimulai semenjak ditemukannya bilangan biner, yaitu angka nol dan satu. Bilangan biner tidak mengenal angka lain kecuali angka nol dan satu saja”. Ary Ginanjar pun menegaskan bahwa “bilangan biner ini telah mengubah suatu zaman”.
Bilangan biner yang menjadi basis utama kemajuan teknologi digital yang terakumulasi menjadi era digital, bisa diderivasi, dilakukan internalisasi nilai ke dalam diri manusia, agar manusia pun menjadi manusia digital. Artinya manusia pun bisa menjadi manusia digital, yang tentunya akan memiliki pula kekuatan dahsyat, tanpa kecuali mengarahkan dan mengendalikan kecenderungan kea rah negatif pemanfaatan teknologi, dengan berbasis bilangan biner pula: angka nol dan satu.
Ary Ginanjar memaknai angka “0” (nol) adalah lambang kesucian hati dan pikiran, sedangkan angka “1” (satu) adalah lambang Tuhan, atau hanya berprinsip kepada Dia Yang Maha Esa. Sebelum lebih jauh lagi mengulas hal ini, saya ingin menegaskan bahwa di sini tidak menerima logika “jika ada 1 berarti ada 2 dan seterusnya”. Maka Ary Ginanjar, dan saya pun ingin menegaskan bahwa satu di sini dimaknai “Esa”.
Bisa pula dimaknai laa (0) ilaha illallah (1). Jadi sebagaimana pandangan Ary Ginanjar bahwa manusia digital, yaitu manusia harus menjadi tulus dan ikhlas (0) karena berprinsip kepada Allah (1) dan tidak menuhankan yang lainnya (0). Saya menyadari bahwa sebuah kehancuran termasuk kehancuran yang ditimbulkan oleh teknologi digital, berawal ketika manusianya atau orang-orang sudah mulai menuhankan selain Allah. Seperti ketika teknologi buatan manusia digunakan untuk menghancurkan manusia lain dengan tujuan-tujuan pragmatis tertentu, berarti dirinya menuhankan hal-hal pragmatis tersebut.
Diyakini pula, apabila manusia berjiwa suci/murni yang disimbolkan dengan angka (0) maka ia akan menemukan potensi dirinya, sekaligus menemukan siapa Tuhannya, yang dalam konteks tulisan ini disimbolkan (1), atau prinsip yang sesungguhnya. Dalam sebuah hadits qudsi ditegaskan, “Siapa yang mengenal dirinya, maka akan mengenal Tuhannya”.
Bulan Ramadan, semua umat Islam memahaminya dengan baik, bahwa bisa menjadi momentum untuk menyucikan hati, bahkan diyakini setelah menjalani puasa selama bulan Ramadan, maka kita akan kembali kepada fitrah kesucian manusia. Selain itu bulan Ramadan bukan hanya memontum untuk menyucikan diri, jiwa, hati, dan pikiran, termasuk pula untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah. mengokohkan ketauhidan, dan prinsip-prinsip yang bermuara pada Kekuasaan dan Kasih Sayang Allah.
Teman-teman para pembaca, masih ingatkah kita dengan rumus matematika bahwa “1/0” (satu dibagi dengan nol), itu hasilnya adalah “tak terhingga”. Dalam perspektif manusia digital maka jika dirinya mampu membangun kekokohan tauhid kepada Allah, dan berupaya menyucikan hatinya dari segala godaan-godaan, kepentingan-kepentingan yang tidak diridho Allah atau yang tidak sesuai dengan fitrah kemuliaan manusia, maka akan mampu menjadi manusia sebaik-baik manusia. Akan mencapai keberuntungan-keberuntungan yang “tak terhingga”.
Al-Qur’an pun menegaskan orang senantiasa mendekatkan diri kepada Allah, simbol (1), akan mendapatkan keberuntungan, sebagaimana QS. al-Maidah [5]: 35, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan”. Dan begitu pun yang senantiasa menyucikan jiwanya, simbol (0), maka akan mendapatkan keberuntungan sebagaimana QS. Asy-Syams [91]: 9, “sungguh beruntung oang yang menyucikan jiwa itu”.
Manusia di gital, tentunya tidak akan menebarkan kebencian, hoax, tidak memanfaatkan dan memberikan kontribusi besar terhadap post truth. Manusia digital akan berupaya mebarkan kebenaran, kebaikan, dan kemanfaatan bagi manusia lainnya, baik melalui dunia nyata maupun dunia maya melalui media sosial.
Manusia digital pun tidak anti teknologi termasuk teknologi digital, tetapi akan menggunakan teknologi itu sebaik mungkin demi memberikan manfaat yang besar, termasuk menebarkan narasi-narasi yang akan memperkokoh dan senantiasa menjaga nilai-nilai kemuliaan manusia. Manusia digital akan memiliki kendali yang tepat dan baik terhadap perkembangan teknologi digital.
Marilah kita memaksimalkan diri dalam menjalankan ibadah pada bulan Ramadan ini, agar menjadi momentum yang baik untuk mewujudkan diri menjadi manusia digital, sehingga akan senantiasa menebarkan kebenaran, kebaikan dan kemanfaatan di era digital. Manusia digital tidak akan menjadi manusia yang nekrofili—sebagaimana istilah dan yang disinyalir oleh Fromm, tetapi akan menjadi manusia yang biofili (memiliki kecintaan/kesukaan/hobby/kecenderungan terhadap sesuatu yang memiliki makna kehidupan. Makna di sini, tentunya maksudnya positif.
Untuk ulasan yang lebih mendalam, mungkin bisa dibahas bersama dalam ruang dan waktu yang berbeda.
*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023