Oleh: Agusliadi Massere*
KHITTAH.CO, – Indonesia memiliki potensi menjadi bangsa dan negara yang maju. Menjadi kiblat peradaban dunia. Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah. Jumlah penduduknya terbesar keempat atau kelima di dunia, setelah Amerika, Cina dan India. Letak geografis Indonesia pun sangat strategis. Selain itu, Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.
Indonesia memiliki meja statis dan leitstar dinamis sebagai pondasi dan cahaya penuntun yang sudah kokoh. Bahkan ini merupakan perasan dari genius nusantara atau filosofi yang digali dari berbagai kearifah lokal.
Dari potensi luar biasa yang dimiliki bangsa ini, ternyata Indonesia masih tertinggal jauh dari derap langkah kemajuan bangsa-bangsa lain. Bukan Indonesia tidak memiliki rumusan dan strategi pembangunan yang memadai. Bahkan sudah cukup “canggih”. Indonesia, dalam pandangan Hajriyanto Y. Thohari—salah satunya—mengalami krisis kepemimpinan, krisis keteladanan.
Krisis kepemimpinan atau keteladanan pada dasarnya memiliki relevansi atau basisnya adalah krisis moralitas. Tidak sulit melakukan konfirmasi atas krisis moralitas yang sedang menjangkiti bangsa ini. Mulai dari yang image-nyaburuk sampai yang masih bisa diterima sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja.
Indonesia dikenal dengan tingkat korupsi yang cukup tinggi di dunia. Berdasarkan hasil riset Microsoft, Indonesia sebagai negara dengan tingkat ketidak-sopanan netizen yang sangat tinggi. Produksi dan reproduksi hoax yang massif. Intoleransi masih mewarnai kemajemukan bangsa. Tingkat literasinya masih senantiasa menduduki kondisi yang sangat memprihatinkan. Ini beberapa indikator yang bisa dikategorisasikan sebagai krisis moralitas.
Ahmad Norma Permata menegaskan moralitas adalah sebagai sistem nilai yang mencerminkan makna dan kebaikan kehidupan. Menurut Ahmad Norma Permata perspektif moral bisa dipilah menjadi dua jenis: moralisme partikular dan moralisme inklusif.
Moralisme partikular, bisa dipahami sebagai moralis yang menolak realitas dengan menempatkan diri di luar realitas. Salah satu tipikal moralisme partikular adalah kecenderungan simplistik dan sinis, yang berujung pada penghakiman moralis hitam-putih—tanpa ada dilematisasi dan tempat terhadap dilema historis yang dialami para pelaku.
Moralisme inklusif / moralitas inklusif adalah evaluasi moralis yang tetap normatif namun tidak simplistik dengan memahami akar sosial historis sebuah sistem politik atau dilema yang dihadapi para pelaku politik dalam menghadapi pilihan-pilihannya.
Dari perspektif Ahmad Norma Permata ini, saya menemukan bahwa terkait moralitas yang menjadi basis krisis yang dialami bangsa ini, bukan hanya dengan melihat kandungan esensial pada dimensi terminologinya. Namun ternyata dari dua klasifikasi terkait moralitas di atas, satu di antaranya, itu pula yang menjadi pemicu tambahan atau lanjutan yang semakin memperparah krisis yang ada.
Dalam bahasa sederhana, basis yang menjadi pemicu krisis bangsa ini, bukan hanya tidak mampu membentuk sebuah sistem nilai yang mampu mencerminkan makna dan kebaikan kehidupan. Yang lebih parah daripada itu, adanya para moralis (mengaku moralis) yang justru berdasarkan perspektif, pemahaman dan keyakinan yang dimilikinya kurang terbuka atau tidak mau membangun dialog apalagi dialektika terkait realitas yang ada.
Jadi model moralis yang mengedepankan moralisme particular—yang mungkin saja mereka sudah melakukan sebuah visi dan misi mulia—tetapi sesungguhnya sedang memperparah keadaan sehingga bangsa Indonesia tidak bisa move on bergerak maju mengejar ketertinggalan yang ada. Justru mereka menarik diri.
Terkait moralisme partikular ini, relasinya yang saya jelaskan di atas dan saya berani menyimpulkan bahwa itu justru lebih memperparah keadaan, Ahmad Norma Permata memberikan satu contoh, yang saya yakin pembaca bisa langsung memahami.
“Misalnya kritik yang menganggap kondisi politik pemerintahan yang ada carut marut karena elite politik yang ada saat ini tidak mengikuti ajaran Islam yang sudah memiliki konsep tentang khilafah; atau kritik yang yang mencela realitas politik dan mencela pelakunya sebagai antek Yahudi”,
Jadi bagi moralis—perspektif moralisme particular—bahwa sikapnya ini sangat tepat, dan ini juga adalah moralitas yang diyakini sebagai solusi menyelamatkan Indonesia. Tetapi bagi saya dengan mencermati defenisi dan contoh yang disampaikan oleh Ahmad Norma Permata, justru ini memperkeruh suasana, menambah rentetan masalah, memperkuat basis masalah.
Saya berani mengatakan demikian karena sesungguhnya—sebagaimana diterangkan salah satunya oleh Mohd. Sabri—bahwa esensi Indonesia adalah kemajemukan. Indonesia adalah negara majemuk, memiliki realitas yang beragam sebagai sebuah—menurut Abdul Mu’ti—anugerah /takdir ilahi.
Jadi menolak realitas (majemuk) yang ada adalah sebuah sikap meskipun atas nama moralitas, kurang tepat. Sama halnya menolak Pancasila, demokrasi dalam konteks Indonesia itu kurang tepat karena sesungguhnya Indonesia sebagai negara Pancasila sudah final. Tidak salah jika Muhammadiyah menyebutnya “Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi wa Shahadah” begitupun komitmen besar dan kokoh dari NU, Pancasila sebagai dasar negara.
Moralisme yang tepat atau jenis moralitas yang harus diimplementasikan oleh para moralis adalah jenis moralisme inklusif. Moralitas yang terbuka atas berbagai realitas yang ada. Moralitas yang menyadari bahwa makna kebaikan dan cerminan-cerminan kebaikan hidup dan kehidupan itu sangat beragama. Keragamanan yang ada sebagai sebuah perbedaan sesungguhnya adalah rahmat.
Dalam pandangan saya moralisme partikular berpotensi memantik intoleransi, sedangkan moralisme inklusif mampu membangun dialog untuk menjaga kohesivitas sosial di tengah keberagaman yang menjadi realitas empirik bangsa.
Hal lainnya terkait moralitas yang menjadi basis, ketidak mampuan Indonesia untuk menjadi kiblat peradaban adalah bangsa ini tidak mampu menemukan dan menggali makna dan kebaikan-kebaikan yang terkandung dari aktus, habitus bahkan konsepsi (utamanya Pancasila) dan ajaran agamanya masing-masing.
Dan hal ini diperparah adanya politik identitas. Politik identitas tentunya tetap penting selama itu diorientasikan ke pihak eksternal dan kurang pas jika diorientasikan ke internal, sesama anak bangsa. Bangsa ini pula, seakan tidak mau belajar dari sejarah sebagai sebuah kristalisasi pengalaman masa lalu.
Ada banyak hal dalam realitas sosial yang bisa dimaknai sebagai bagian dari determinan moralitas yang mengalami krisis dan itu pulalah sehingga bangsa ini sulit mengejar ketertinggalannya. Meskipun kita sendiri—seperti perspektif Hajriyanto Y. Thohari—tidak boleh berpikir nihilistik, yang memandang sama sekali tidak ada kemajuan.
Dari pemahaman dasar tentang moralitas, termasuk pembagian dua perspektif moralitas, saya menemukan satu pemahaman, insight sehingga saya berani menyimpulkan bahwa puasa adalah pangkal moralitas bangsa.
Puasa mengajarkan tentang menemukan makna dan kebaikan hidup. Pemahaman makna dalam puasa menjadi sebuah perilaku nyata sehingga hal spiritual sekalipun yang masih abstrak dan menjanjikan nilai (kebaikan) kepadanya bisa dipahami dan diikuti karena telah menemukan makna. Baik makna yang berdimensi psikologis, sosial maupun teologis.
Salah satu makna puasa adalah mengajarkan pengendalian diri, dan jika mencermati problematika besar yang terjadi dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia: seperti korupsi, intoleransi, dan penghujatan terhadap Pancasila sebagai dasar negara, itu karena pengendalian diri yang lemah.
Puasa mengajarkan kepedulian sosial, dalam jangka waktu lama ini akan melahirkan sebuah habitus akan pemahaman realitas majemuk, selanjutnya menciptakan kohesivitas sosial. Setelah itu akan bermetamorfosis untuk memperkokoh persatuan Indonesia dan jauh dari politik identitas (yang orientasinya internal, sesama anak bangsa).
Melalui puasa, ada ke-intiman relasi kepada Allah, yang akan menjadi pemantik untuk pembebasan diri dan ketergantungan selain kepada Allah. bebas dari ketergantungan berlebihan kepada selain Allah sehingga secara otomatis tingkat korupsi dengan sendirinya akan teratasi, menurut dan bahkan jika ini terus dipertahankan akan mendekati angka 0 (nol) tidak ada koruptor.
Selain daripada itu keintiman relasi dengan Allah, akan memantik hidup yang diselimuti rasa ikhlas. Keikhlasan mengandung banyak kebaikan bukan hanya sifatnya personal tetapi kolektifitas untuk membangun bangsa tanpa ada tendensi yang sesungguhnya berpotensi menggerogoti “keadilan sosial”.
*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023.