Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Puasa Melampaui Social Intelligence Daniel Goleman

×

Puasa Melampaui Social Intelligence Daniel Goleman

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere*

KHITTAH.CO, – Manusia tidak bisa bertahan atau tetap berada pada posisi awal kelahirannya, yaitu dependen (tergantung penuh) kepada orang lain. Meskipun ini bisa menjadi penanda utama dan sangat mendalam bahwa sejak kelahirannya, manusia adalah makhluk sosial. Hidupnya tidak bisa bertahan tanpa bantuan orang lain, terutama dalam hal ini orang tuanya. Diksi “orang lain”, kemudian dilanjutkan dengan “orang tua”, bukan berarti bahwa ini adalah penegasan bahwa orang tua adalah orang lain dalam makna lazim, tetapi di sini maksudnya “selain dirinya sendiri”.

Dari Arvan Pradiansyah, saya memahami bahwa setelah posisi dependen, melalui serangkaian proses intrapersonal relation yang dilakukan seseorang pada saat umurnya semakin hari terus bertumbuh dan berkembang, maka akan bergeser pada posisi independen (mandiri). Pada posisi kehidupan ini, minimal, untuk bisa dipahami dengan baik, yang bersangkutan tidak lagi menggantung diri secara penuh kepada orang tuanya, terutama dalam urusan yang sifatnya sangat private, seperti disuapi pada saat makan, dimandi, dan lain-lain.

Setelah berada dalam posisi kehidupan independen—meminjam istilah dan rumusan Arvan—maka akan menuju pada posisi interdependen (kesalingtergantungan). Untuk sampai di sini, maka hal mutlak yang harus dipahami dan dilakukan adalah interpersonal relation. Dari hasil pemahaman saya, dalam interpersonal relation inilah karya-karya Daniel Goleman, baik Emotional Intelligence-nya—yang dalam pandangan Steven J. Stein, Ph.d dan Howard E. Book, M.D penulis buku Ledakan EQ: 15 Prinsip Dasar Kecerdasan Emosional Meraih Sukses (versi terjemahan)—“telah membangkitkan minat sangat besar mengenai peran kecerdasan emosional dalam kehidupan manusia”. Maupun buku Goleman, dengan judul Social Intelligence: Ilmu Baru tentang Hubungan Antar Manusia.

Sedikit saya jelaskan terlebih dahulu, bahwa urgensi dan signifikansi pemahaman yang baik terhadap interpersonal relation, adalah ketika dalm relasi kesalingtergantungan itu, tidak ada posisi yang mendominasi dan didominasi. Tidak ada posisi yang merasa memiliki superioritas dan yang satu berada dalam subordinat.

Sekilas dua buku karya Goleman Emotional Intelligence, dan Social Intelligence memiliki kemiripan. Namun setelah saya mendalami, meskipun bisa saja pendalaman dan pemahaman ini belum maksimal, buku yang kedua Social Intelligence memiliki bobot yang lebih mendalam dalam relasi dengan pihak lain. Bobot mendalam yang dimaksud, karena bukan hanya bagaimana diri kita bersikap, bertindak dan berperilaku baik kepada orang lain, tetapi melampaui dari itu, bagaimana agar sikap dan perilaku yang sama menular ke orang lain tersebut, sehingga dalam relasi atau interaksi dua arah memiliki perasaan dan kecerdasan yang sama, dan menumbuhkan harmonisasi dan kohesivitas yang sangat kuat.

Contoh sederhananya, ketika ada orang yang terkesan menghina diri kita, maka kita berupaya memancarkan social intelligence (kecerdasan sosial) baik melalui postur, mimik tubuh, intonasi suara, sampai kata-kata yang dilontarkan disampaikan dengan baik dan benar tanpa menyakiti, sekaligus berempati dengan mencoba memahami dan merasakan apa yang menjadi harapannya. Dari pemahaman dan kemampuan merasakan perasaan orang ini, selanjutnya dalam sikap dan tindakan kita, mengandung pula sejenis apresiasi. Sehingga orang yang awalnya, bisa saja menghina kita (meskipun dengan bahasa yang ‘halus’), tetapi akhirnya berubah dan saling mengapresiasi. Kurang lebih seperti itu gambaran Social Intelligence (kecerdasan sosial) Goleman yang melampaui dari emotional intelligence (kecerdasan emosional).

Sebagaimana dikutip oleh Goleman dari Rosenthal, ditegaskan bahwa “Ikatan istimewa”, itu selalu menuntut tiga unsur yaitu: perhatian timbal balik, perasaan positif bersama, dan duet nonverbal yang terkoordinasi dengan baik. Tiga hal ini adalah pancaran utama dari social intelligence, bukan hanya emotional intelligence.

Salah satu kesimpulan yang saya pahami dari Goleman terkait social intelligence adalah: “manusia memiliki kecenderungan alami untuk menunjukkan empati dan altruisme serta bekerjasama—asalkan kita mengembangkan kecerdasan sosial untuk menumbuhkan kemampuan dalam diri kita dan orang lain.

Kesimpulan di atas bisa diparafrasekan salah satunya bahwa, rasa empati, altruisme dan keinginan bekerjasama orang lain dengan diri kita, akan muncul/bangkit ketika kita pun menumbuhkan kemampuan yang menjadi determinan kecerdasan sosial. Jadi harus ada dua arah. Sama halnya, rasa empati kita, keinginan untuk menolong dan bekerjasama dengan orang lain akan muncul atau hati kita tergerak, jika orang lain itu memberikan sinyal atau saya istilahkan saja berada dalam frekuensi yang sama.

Dari Social Intelligence Goleman, bisa dipahami pula bahwa dalam diri kita ada pula yang bisa disebut sebagai “otak sosial”. Dari pemahaman ini, diketahui bahwa ada namanya sel spindle, yang bisa bertindak paling cepat, memandu keputusan sosial yang cepat kilat bagi kita dan telah terbukti lebih banyak terdapat di otak manusia daripada pada spesies lain apapun.

Dari social intelligence dipahami pula bahwa dalam diri manusia terdapat varietas sel-sel otak yang berbeda, yaitu neuron-neuron cermin, yang mampu merasakan gerakan yang akan dilakukan orang lain dan merasakan perasaan mereka serta secara instan mempersiapkan kita untuk meniru gerakan itu dan merasakan bersama mereka.

Ada banyak hal yang bisa dipahami dari Social Intelligence Goleman, hanya saja yang paling substansial adalah terkait “empati” “ikatan istimewa”, “altruisme”, dan “keinginan untuk bekerjasama dengan orang lain”. Lalu mengapa melalui tulisan ini, sebagaimana ditegaskan pada judul, saya menyimpulkan bahwa “Puasa melampaui social intelligence-nya Daniel Goleman?

Saya menyimpulkan demikian, karena dalam Social Intelligence Goleman, “empati”, “ikatan istimewa”, “altruisme” terkesan, bahkan termasuk contoh-contoh yang diungkapkan bisa bangkit/muncul dengan “syarat” ada respon yang sama dari seseorang yang menjadi objek daripada sikap dan perilaku seseorang yang menjadi subjek atau aktor pertama. Artinya empati tersebut, termasuk yang lainnya akan bisa muncul ketika orang lain memberikan respon yang sama/hampir sama, atau bisa diistilahkan memiliki frekuensi perasaan yang sama.

Ini bisa pula diistilahkan—meminjam istilah Ary Ginanjar Agustian—“Aksi min reaksi”. Akan ada reaksi jika ada aksi. Tidak bergerak atau muncul secara tunggal. Kesan lainnya, harus ada pemantik eksternal.

Puasa melampaui social intelligence (kecerdasan sosial) karena empati yang lahir dan kemudian memancar ke luar ke orang lain, itu atas dorongan minimal dua hal: pertama, melalui berpuasa, maka yang bersangkutan mampu merasakan bagaimana “perasaan lapar” yang dialami orang lain (contoh; fakir miskin), maka dari ini, akan tergerak hatinya jika merasa lebih mampu untuk berempati/membntu orang lain; kedua, puasa tentunya pula berbasis pada iman atau tauhid kepada Allah. sedangkan dalam ketauhidan terdapat dimensi unity of creation, yaitu kesadaran akan kesatuan penciptaan. Artinya diri kita dengan orang lain, adalah satu kesatuan penciptaan Allah. Sehingga berempati, menolong orang lain, bisa dipandang itu sama saja menolong diri sendiri, karena kita sama-sama berasal dari pencipta yang sama. Jadi sikap, tindakan dan perilaku, termasuk berwujud empati, yang terefleksi dari puasa, lebih tulus dan ikhlas dibandingkan ketika itu adalah pancaran dari social intelligence (kecerdasan sosial).

Selain itu, di atas disebutkan “ikatan istimewa” yang dipengaruhi oleh tiga unsur. Pada bulan Ramadhan, karena banyak yang berpuasa, maka unsur-unsur yang bisa menjadi pendukung lahirnya “ikatan istimewa”, seperti—salah satunya saja—“perasaan positif bersama”, maka itu akan mudah lahir. Mengapa mudah lahir, karena jika orang-orang tersebut benar-benar melaksanakan puasa sesuai dengan tuntunan, bukan hanya menjaga puasa sebagaimana verbal syariahnya, tetapi termasuk makna hakikinya “menahan nafsu”, maka “perasaan positif” akan masing-masing terpancar dari diri orang berpuasa, sehingga terakumulasi/bermuara pada “perasaan positif bersama”.

Dalam bulan Ramadhan pun, khususnya bagi orang-orang berpuasa, kita bisa menemukan hal yang bisa dimaknai “perhatian timbal balik”. Mengapa? Karena orang-orang berpuasa sesungguhnya masing-masing memancarikan perhatian, terutamanya dalam bentuk kepedulian atau empati.

Banyak hal yang masih bisa digali dan dipahami secara mendalam dari social intelligence dan relasinya dengan puasa. Dan mudahan pada kesempatan lain, bisa melanjutkan tulisan ini.

*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply