Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Sabar dan Shalat sebagai Langkah Solutif dalam Kehidupan

×

Sabar dan Shalat sebagai Langkah Solutif dalam Kehidupan

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere*

KHITTAH.CO, – Siapa pun manusia yang (pernah) ada di muka bumi ini, sepertinya tidak terbebas dari sesuatu yang dimaknai problem. Sekelas nabi saja mengalami suatu problem tertentu. Meskipun takaran problem itu bersifat relatif. Maksudnya, bisa jadi ada sesuatu yang oleh seseorang dirasakan sebagai problem (masalah), tetapi bagi yang lainnya, dinilai sebagai sesuatu yang wajar dan bukan masalah.

Ketidakmampuan setiap manusia untuk terbebas sepenuhnya dari problem dalam bentangan panjang hidupnya, menandai adanya keterbatasan dalam dirinya. Setiap diri tanpa kecuali, secara manusiawi memiliki keterbatasan. Dan keterbatasan ini menjadi awal dan faktor sehingga sebuah harapan sulit tercapai atau terwujud dalam realitas kehidupan. Dan inilah problem, ketika terjadi kesenjangan atau ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan.

Dalam kondisi manusia dikitari problem sudah pasti dibalik itu terpancar harapan untuk mendapatkan jalan keluar atau solusi. Jalan keluar dari sebuah problem sangat tergantung dari sikap atau kecenderungan hati orang yang bersangkutan, selanjutnya sikap ini pun terkadang kembali dipengaruhi atas analisis dan/atau upaya-upaya yang telah dilakukannya.

Harapan menemukan solusi atas setiap problem, tidak selamanya sesuai harapan. Seringkali ada langkah yang kurang maksimal bahkan keliru, sehingga bukan memasuki pintu solusi tetapi memasuki pintu problem yang baru dan menambah bobot perasaan atas problem sebelumnya. Dalam keterpurukan seperti ini, yang bermuara dalam keputusasaan tidak sedikit yang mengambil langkah keliru dan dipandang sebagai langkah solutif. Mereka memilih untuk mengakhiri hidup sebagai langkah solutif yang dimaksud. Langkah terakhir ini, secara duniawi bagi yang bersangkutan dipandang sebagai langkah solutif, namun orang yang beriman, yang meyakini hari pembalasan, maka bisa dipastikan menimbulkan sesuatu yang bisa pula dimaknai problem. Mengakhiri hidup atau bunuh diri adalah “dosa”.

Berharap solusi dan/atau menjalankan upaya untuk menemukan solusi dari sesuatu yang juga memiliki keterbatasasn (baca: manusia lain) sudah bisa dipastikan tidak selamanya sesuai harapan. Atas Kekuasaan, Pengetahuan Tak Terbatas, dan Kasih Sayang Allah, maka Allah menunjukkan jalan terbaik bagi hambaNya. Bersandar pada Yang Tak Terbatas (baca: Allah), dan menjalankan petunjuk dari-Nya, bisa dipastikan adalah langkah solutif yang paling terbaik.

Namun seringkali, bagi orang-orang yang keimanannya kepada Allah masih sangat minim, tetap memiliki keraguan akan kebenaran petunjuk untuk solusi itu. Apa lagi ketika dirinya telah diselimuti atau didominasi cara pandang rasionalisme dan/atau positivisme yang memandang itu tidak rasional, tidak saintifik, dan/atau tidak ilmiah.

Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah [2]: 153 “Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar”. Sebelum lebih jauh menjelaskan hal ini, Allah pun sudah menggariskan yang dipanggilNya untuk menggunakan langkah solutif ini syarat utamanya adalah “beriman”. Orang-orang yang mengimani kekuasaanNya, dan kasih sayang-Nya.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan beberapa temuan sains, bagi saya sendiri dimensi keimanan yang selama ini atau masih ada yang memandang tidak bisa diukur secara rasionalitas karena bukan wilayah rasio, justru ada banyak hal yang sudah bisa dirasionalisasikan. Sama halnya sabar dan shalat yang dipandang sebagai langkah solutif atau media untuk mendapatkan solusi, berdasarkan beberapa literatur yang saya pahami sudah bisa dirasionalkan.

Ketika Allah menegaskan, mengajak orang-orang beriman untuk meminta pertolongan melalui sabar dan shalat, ini bukan hanya wilayah “keimanan” semata, tetapi hari ini, minimal ketika kita meminjam pandangan beberapa pakar neurosains sudah bisa ditilik secara rasional bukti kebenaran dan kedahsyatannya.

Apa keutamaan dan kedahsyatan “sabar” dan “shalat” sehingga Allah menegaskan bisa menjadi media untuk mendapatkan pertolongan dariNya?

Kedahsyatan Sabar

Sabar secara hakiki adalah sikap atau masuk dalam mekanisme jiwa. Sabar bukan hanya identik dengan pemahaman teknis yang selama ini, “mengurut dada”. Sabar sebagai sesuatu yang berada dalam dimensi/ranah psikologis sudah bisa dipastikan bahwa secara hierarkis mampu mengendalikan keadaan tubuh secara fisik-biologis. Sabar dalam perspektif Arvan Pradiansyah adalah satu di antara tujuh rahasia mencapai kebahagiaan.

Untuk memahami kedahsyatan sabar terlebih dahulu—ini pun hanya salah satu perspektif—memahami apa yang dimaksud oleh sabar dalam pandangan Arvan. Sabar adalah: pertama, menunda respon Anda; kedua, menyatukan badan dan pikiran di satu tempat; ketiga, berwujud kata kerja aktif, bukan pasif; keempat, melakukan satu hal di satu waktu; kelima, menikmati proses tanpa terganggu pada hasil; keenam, menyesuaikan tempo kita dengan tempo orang lain; dan ketujuh, hidup selaras dengan hukum alam.

Jika pembaca pernah membaca tulisan saya hari sebelumnya—dan masih mengingat substansi isinya—judulnya ”Transformasi Nilai Thuma’ninah Shalat dalam Realitas Kehidupan” maka pandangan Arvan yang pertama terkait sabar “menunda respon Anda”, memiliki relevansi dan sinergitas dengan nilai thuma’ninah. Artinya, “menunda respon” itu senapas dengan nilai thuma’ninah. Sedangkan kita pahami bersama bahwa manfaat lanjutan dari thuma’ninah adalah muthma’innah (jiwa yang tenang).

Sabar apalagi yang sampai pada muara muthma’innah (jiwa yang tenang) memiliki hubungan timbal balik dan saling berkorelasi positif dengan jenis gelombang otak tertentu dalam diri manusia. Memahami terkait gelombang otak salah satunya bisa dari Anna Wise.

Adalah Anna Wise menegaskan “otak menghasilkan kejutan-kejutan listrik sepanjang waktu. Arus listrik ini atau yang disebut gelombag otak, diukur dalam amplitude dan frekuensi. Amplitudo adalah daya dari kejutan listrik yang diukur dalam mikrovolt. Frekuensi adalah kecepatan dari gerakan gelombang listrik yang diukur dalam siklus perdetik (hertz).

Selanjutnya masih bisa dipahami dari Anna Wise, bahwa frekuensi otak itulah yang menentukan kategori gelombang otak. Jenis gelombang otak yang ada dan berbeda pengaruhnya terhadap kondisi fisik dan psikis manusia adalah beta, alfa, theta, dan delta.

Di antara empat gelombang otak yang ada yang paling sering diharapkan untuk senantiasa hadir dalam diri manusia, apalagi sosok manusia yang selalu ingin bahagia, penuh kesuksesan, memiliki pikiran-pikiran cemerlang atau ide brilian adalah gelombang otak alfa, dan theta.

Berdasarkan yang saya pahami dari literatur-literatur yang dahsyat itu, saya sampai pada kesimpulan bahwa antara sabar dengan gelombang otak alfa atau theta, memiliki hubungan timbal balik yang saling berkorelasi positif. Maksudnya, bahwa jika kita mampu bersabar maka kita akan mampu mengaktivasi gelombang otak alfa atau theta, jika tingkat kesabaran semakin tinggi. Kemudian sebaliknya apabila dalam diri kita yang teraktivasi atau yang sedang aktif adalah gelombang otak alfa atau theta, maka selain memantik atau memperbesar tingkat kesabaran, juga termasuk gelombang otak ini mampu memantik ide-ide cemerlang atau brilian. Dan pancaran gelombang otak ini bergerak cepat di alam semesta untuk menarik frekuensi yang sama. Jadi karena memantik pikiran cemerlang terkait solusi, maka yang datang adalah solusi. Ini juga relevan dengan law of attraction, yang salah satu rumusnya adalah “pikiran menarik hal yang sama”.

Saya terkadang merasakan, dan itulah alasan utama sehingga saya pun berupaya sekuat tenaga untuk tidak marah—sebagai salah satu antitesa dari sabar (berarti bukan satu-satunya)—karena pada saat marah, maka gelombang otak yang aktif adalah beta, dan ini betul terbukti memicu stress, pacu jantung yang sangat kencang, dan hal negatif lainnya. Jadi termasuk bisa menimbulkan hal negatif pada tubuh.

Kemudian dari pemahamn Arvan yang lain, bahwa sabar itu berarti hidup selaras dengan hukum alam. Siapa pun pasti memahami, apabila kita hidup atau bergerak di luar dari hukum alam, makan terjadi kondisi disharmoni, kekacauan bahkan bisa sampai tingkat chaos. Pada intinya jika kita memperhatikan tujuh pandangan Arvan terkait sabar, maka semuanya mampu menjamin untuk menghadirkan kondisi hati, jiwa, dan pikiran yang positif. Sedangkan jika memperhatikan perspekif Erbe Sentanu sebagaimana dalam buku spektakulernya Quantum Ikhlas, bisa dipahami bahwa hal itu akan mampu memantik dan mengaktivasi hal positif pula, pada kondisi fisik, material yang ada dalam tubuh maupun di alam semesta ini.

Kedahsyatan Shalat

Pada bagian ini, tentunya pembicaraan terkait kedahsyatan shalat bukan hanya ditinjau secara teologis yang berujung pada pemahaman sebagai “kunci diterimanya ibadah lainnya”. Atau mungkin tidak keliru jika saya mengatakan bahwa untuk pembahasan di sini, agar bisa merasakan manfaatnya secara langsung tidak berada dalam ranah fikih.

Untuk merasakan hal ini, tentunya bisa ditinjau dari tinjauan filosofi habits. Untuk hal ini pula bisa membaca tulisan-tulisan saya yang lain pada hari sebelumnya yang membahas fungsional shalat dalam perspektif habits.

Selain itu, shalat pun—tentunya yang dimaksud yang sampai pada tataran khusyuk—memiliki garis relasi dan relevansi yang saling berkorelasi positif dengan aktivasi dua gelombang otak dahsyat manusia di atas: alfa, dan theta. Shalat yang khusyuk, jika kita memahami korelasinya dengan gelombang otak, maka akan mampu mengaktiviasi gelombang otak alfa bahkan pada tingkat khusyuk yang sangat dalam akan mampu mengaktivasi gelombang otak theta, yang jauh lebih dahsyat daripada gelombang otak alfa.

Masih ingat kisah Ali, yang kakinya terkena panah? Lalu sahabat lain menyampaikan hal ini kepada Rasulullah. Dan Rasulullah Muhammad saw menyarankan agar panah itu dicabut pada saat Ali sedang shalat. Andaikan pada saat itu, teknologi kesehatan sudah canggih seperti sekarang, bisa dipastikan Rasulullah tidak memberikan saran yang seperti, itu karena Rasulullah juga memiliki cara pandang yang rasional. Tetapi belum ada alat medis yang canggih untuk menghindari rasa sakit, maka Rasulullah menyarankan mencabut anak panah itu pada saat Ali sedang Shalat.

Mengapa disarankan pada saat sedang Shalat? Padahal mungkin jika menggunakan logika sederhana dan awam, mungkin lebih baik disarankan dicabut pada saat sedang tidur?

Meskipun (mungkin) pada zaman Rasulullah sama sekali belum dikenali secara ilmiah terkait gelombang otak manusia, tetapi secara intuitif yang berbasis pada petunjuk langsung dari Allah, telah dipahami pula bahwa dalam shalat yang khusyuk—apalagi tingkat khusyukan shalat Rasulullah dan para sahabat, pasti sangat dalam—mampu mengaktivasi gelombang otak yang sangat dahsyat itu, alfa atau theta.

Shalat khusyuk apalagi yang sangat dalam mampu mengaktivasi atau mengaktifkan gelombang otak alfa atau theta. Dan terutama oleh gelombang otak theta, itu bisa sampai menghilangkan rasa sakit pada bagian tubuh secara fisik, jika sedang aktif. Dan terbukti pada saat itu, Ali yang sedang shalat dan dicabut anak panah yang tertancap di kakinya tidak sedikit pun rasa sakit yang dirasakan. Bahkan setelah melaksanakan shalat, Ali justru bertanya dari mana asal darah yang berceceran itu. Dirinya sama sekali tidak mengetahui bahwa itu darah dari kakinya.

Dalam firman Allah di atas, Allah menyebut satu paket antara Sabar dan Shalat, yang menegaskan sebagai media untuk meminta pertolongan kepadaNya. Dalam pemahaman energi fusi, jika dua atau lebih energi disatukan maka menghasilkan energi yang sangat dahsyat. Sabar sesuatu yang dahsyat, shalat jauh lebih dahsyat lagi, kemudian dipadukan dengan gelombang otak dahsyat, maka bisa dipastikan menjadi media yang sangat dahsyat ketika meminta pertolongan kepada Allah.

Bahkan dari pemahaman terkait gelombang otak tersebut, saya sampai pada kesimpulan dan kesadaran, mengapa shalat tahajud, dilaksanakan pada malam hari, terutama sepertiga malam, bukan pada pagi, siang, dan/atau sore hari, karena pada saat itu banyak orang yang sedang tertidur yang bisa dipastikan gelombang otaknya yang sedang teraktivasi adalah gelombang otak delta, atau minimal antara theta dan delta. Dan gelombang otak semua orang yang tertidur akan memancar dan memengaruhi aktivasi jenis gelombang yang akan melaksanakan shalat tahajud.

Intinya perpaduan energi ini, adalah untuk mencapai tingkat muthma’innah (jiwa yang tenang) yang sangat dalam, karena untuk “mengetuk pintu langit” untuk sampai pada zat atau realitas tak terbatas yaitu Allah harus dengan jiwa yang tenang.

Kedalaman cakupan ilmu untuk memahami tentang sabar, shalat, dan gelombang otak, apalagi Allah, maka saya selak penulis pun menyadari bahwa tulisan ini, belum mampu mewakili seluruh yang menjadi harapan substansial dari tulisan ini.

*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply