Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipOpini

Islam Mazhab Kartini (Refleksi Hari Kartini)

×

Islam Mazhab Kartini (Refleksi Hari Kartini)

Share this article
Nurhayati Azis, SE., M.Si. (Ketua Pimpinan Wilayah 'Aisyiyah Sulsel)
Oleh: Nurhayati Azis, SE., M.Si. (Ketua PW ‘Aisyiyah Sulsel)

Minadz Dzulumaati Ilan Nuur (Q.S.2: 257);
Habis Gelap Terbitlah Terang (Kartini)

KHITTAH.co, Mazhab biasanya dimaknai sebagai pendapat, kelompok, aliran yang pada mulanya merupakan pendapat atau hasil ijtihad seorang imam dalam memahami suatu masalah, baik menyangkut masalah teologi, tasawuf, filsafat, politik maupun fikih. Dalam khazanah Islam, setidaknya ada empat mazhab besar dan masih eksis sampai saat ini, yakni Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.

Namun tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menambah mazhab baru dalam Islam, apalagi menambah Nabi baru. Penulis sekadar ingin menunjukkan sisi lain yang jarang diulas dalam peringatan Hari Kartini. Sisi lain itu adalah persinggungan antara Kartini dan Islam. Dalam tulisan ini, Islam Mazhab Kartini akan mencakup dua pengertian. Pertama, pendapat dan pergulatan pemikiran Kartini tentang Islam. Kedua, nilai-nilai dasar ajaran Islam yang mendukung emansipasi perempuan sebagaimana dicita-citakan Kartini.

Islam Kartini
Proses pergulatan Kartini dengan Islam pernah diulas oleh Ahmad Mansur Suryanegara dalam buku“Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia” (1995). Dalam buku tersebut terdapat sebuah bab yang berjudul ‘Pengaruh Al Quran terhadap Perjuangan Kartini’.

Suryanegara menulis bahwa sejak lama Kartini resah sebab tidak mampu mencintai Al-Quran karena Al-Quran terlalu suci. Tiada boleh diterjemahkan ke dalam bahasa manapun. Di lingkungannya tiada seorang pun tahu bahasa Arab. Ia diajarkan membaca Al-Quran, tetapi yang dibacanya tiada yang ia mengerti. Demikian pengakuan dirinya tentang kebutaannya terhadap Al-Quran kepada Stella Zeehandelaar (18 Agustus 1899). Kartini merindukan tafsir Al-Quran agar dapat dipelajari.

Keresahan itu juga diajukan Kartini kepada Kyai Haji Muhammad Sholeh bin Umar, atau lebih dikenal dengan Kyai Sholeh Darat, dalam sebuah pengajian tentang tafsir surat Al-Fatihah di rumah pamannya Pangeran Ario Hadiningrat, Bupati Demak. “Kyai, perkenankanlah saya menanyakan, bagaimana hukumnya apabila seorang yang berilmu, namun menyembunyikan ilmunya?“ tanya Kartini.

Tertegun mendengar pertanyaan Kartini, Kyai balik bertanya, “Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?“

Kartini lalu menjawab dengan jawaban yang menggugah dan menggugat, “Kyai, selama hidupku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama (Al-Fatihah), dan induk Al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan buatan rasa syukur hati aku kepada Allah, namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Quran dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?“

Tergugah dengan kritik itu, Kyai Sholeh Darat kemudian menterjemahkan Al-Quran dalam bahasa Jawa dan menuliskannya dalam sebuah buku berjudul “Faidhir Rahman Fit Tafsiril Quran” jilid pertama yang terdiri dari 13 juz, mulai dari surat Al-Fatihah hingga surat Ibrahim. Buku itu dihadiahkan kepada Ibu Kartini saat beliau menikah dengan R. M Joyodiningrat, Bupati Rembang pada tanggal 12 November 1903. Namun Kyai Sholeh Darat keburu meninggal pada tanggal 18 Desember 1903 pada saat baru menterjemahkan satu jilid tersebut.

Dalam kesempatan lain, Kartini juga pernah menyampaikan nalar kritiknya terhadap ajaran Islam yang disampaikan oleh para guru agama, khususnya tentang Poligami. Kartini pernah menyampaikan curahan hatinya melalui surat kepada Ny. van Kol (Agustus 1901); “Itu bukan dosa, bukan pula aib; ajaran Islam mengizinkan kaum lelaki kawin dengan empat orang wanita sekaligus. Meskipun hal ini seribu kali tidak boleh disebut dosa menurut hukum dan ajaranIslam, selama-lamanya saya tetap menganggapnya dosa. Semua perbuatan yang menyebabkan sesama manusia menderita, saya anggap sebagai dosa. Dosa ialah menyakiti makhluk lain; manusia atau binatang”. Meskipun dua tahun kemudian, ia tetap harus menerima takdir sebagai istri keempat dari Bupati Rembang.

Di samping itu, dalam menuliskan ide-ide dalam surat-suratnya, nampak pengaruh Islam dalam dirinya. Suatu ketika, ia sangat terkesan membaca tafsir Surat Al-Baqarah. Dari situlah tercetus kata-kata Kartini dalam bahasa Belanda, “Door Duisternis Tot Licht”. Ungkapan itu sebenarnya terjemahan bahasa Belanda dari petikan firman Allah SWT yaitu Minadz Dzulumaati Ilan Nuur (Q.S. Al-Baqarah: 257). Oleh Armijn Pane, ungkapan itu diterjemahkan dalam bahasa Melayu atau Indonesia sebagai “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Nampaknya memang pengetahuan Islam yang dimiliki Kartini masih sangat terbatas. Hal itu bisa dipahami karena ia hanya diajar bagaimana membaca dan menghapal Al-Quran serta cara melakukan shalat, tapi tidak diajarkan terjemahan, apalagi tafsirnya. Pada waktu itu penjajah Belanda memang memperbolehkan orang mempelajari Al-Quran asal jangan diterjemahkan. Itulah sedikit gambaran pemahaman Islam Kartini. Sekarang penulis akan mencoba untuk menyaripatikan beberapa nilai-nilai Islam yang sejalan dengan etos emansipasi Kartini.

Islam Emansipasitoris

Islam diturunkan untuk membebaskan manusia dari segala bentuk ketidakadilan. Islam juga tidak membenarkan adanya penindasan golongan yang kuat terhadap golongan yang lemah, dan menyerukan keadilan dan kesetaraan bagi semua umat manusia.

Hubungan sesama manusia dalam spirit Al Quran adalah hubungan yang setara. Suku, keturunan, fisik, kekayaan hingga jenis kelamin semuanya sama di hadapan Allah SWT. Yang membedakan manusia yang satu dan manusia yang lainnya di hadapan Allah SWT hanyalah ketakwaannya (Q.S. Al-Hujurat: 13).

Begitu juga dalam surah at-Taubah ayat 71, prinsip hubungan kemitraan antara lelaki dan perempuan digambarkan secara gamblang. “Orang-orang yang beriman, lelaki maupun perempuan, sebagian mereka adalah pelindung bagi yang lain. Mereka sama-sama (memikul tanggung jawab moral dan sosial dengan) menyuruh yang makruf dan mencegah yang mungkar, mengerjakan salat, menunaikan zakat, dan setia kepada Allah dan Rasul-Nya”.

Dengan demikian merujuk pada ayat-ayat al-Quran tersebut, jelas bahwa kedudukan, hak dan tanggung jawab perempuan sebagai manusia, bobotnya sama di hadapan Allah SWT, di antara sesama manusia maupun di dalam keluarga. Malah semakin diperkuat dengan ayat-ayat lain, misalnya an-Nisa’:124, an-Nahl : 97.

Al-Quran juga sering menggambarkan figur ideal seorang muslimah, misalnya disimbolkan sebagai pribadi yang memiliki kemandirian politik, al-istiqlal al-siyasah (QS al-Mumtahanah (60):12), seperti figur Ratu Balqis yang memimpin kerajaan besar, Negeri Saba’ (QS. Al-Naml (27):23); dan memiliki kemandirian ekonomi, al-istiqlal al-iqtishadi (QS. Al-Nahl (16): 97).

Demikian pula terdapat dalil-dalil umum yang mewajibkan, menyunnahkan, atau memubahkan berbagai aktivitas yang biasanya dilakukan di ruang publik, yang berarti mencakup pula bolehnya wanita melakukan aktivitas-aktivitas itu. Wanita berhak dan berwenang melakukan aktivitas jual beli (QS 2: 275; QS 4:29), berhutang piutang (QS 2:282), sewa menyewa (QS 2:233; QS 65:6), memberikan persaksian (QS 2:282), menggadaikan barang (QS 2:283), menyampaikan ceramah (QS 16:125; QS 41:33), meminta fatwa (QS 16:43), dan sebagainya.

Sekiranya Kartini masih hidup dan membaca sejumlah landasan normatif tersebut, penulis yakin bahwa Kartini akan menjadi Muslimah kaffah yang akan menebarkan nilai-nilai Islam emansipatoris. Islam yang memberi ruang bagi perempuan mengembangkan diri; baik melalui jalan pendidikan, pemberdayaan ekonomi ataupun terlibat dalam aktivitas politik di ruang publik. Itulah yang mungkin bisa disebut sebagai “Islam Mazhab Kartini”. Selamat Hari Kartini.

Sumber: Opini Harian Fajar, 21 April 2011

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL