Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Membangun Bangsa dengan Spirit Islam Agama Cinta

×

Membangun Bangsa dengan Spirit Islam Agama Cinta

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere*

KHITTAH.CO, – Indonesia sebagai bangsa dan negara, sebenarnya tidak kekurangan modal untuk menjadikannya sebagai bangsa yang maju, dan bahkan sebagai pusat peradaban. Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah ruah. Sumber daya manusianya pun tidak kalah dengan yang dimiliki oleh bangsa dan negara lain.

Modal religiusitas dan kesadaran ilahiah pun, Indonesia memilikinya. Bahkan kesadaran ini menjadi fondasi yang mengantarkan bangsa menjadi negara yang merdeka. Tetapi pandangan yang mengandung harapan ini, belum sepenuhnya terwujud, lalu what went wrong? (apa yang salah?) Meminjam istilah/pertanyaan yang menjadi judul buku karya Bernard Lewis.

Jika direnungkan pertanyaan di atas, ada beberapa hal yang menyebabkan sehingga bangsa dan negara kita—tanpa mengedepankan perspektif nihilistik, yang memandang sama sekali tidak ada kemajuan, karena sesungguhnya kemajuan itu tetap ada—sulit menjadi bangsa yang maju di mata dunia dan sebagai salah satu pusat peradaban karena masih banyak kondisi yang dimaknai sebagai “disposisi sikap yang rendah”, “entropi budaya”, “cultural lag”, “cultural shortage”, “pragmatisme”, dan “individualistik”.

Jika meminjam pandangan dr. Soetomo (dalam Zakiyuddin & Azaki, 2017), dalam tubuh bangsa dan negara kita, masih banyak pula yang menjiwai spirit Darwinisme. Oleh dr. Soetomo—tokoh pendiri Budi Utomo—menegasakan bahwa “Darwinisme sebagai paradigma pemikiran Barat modern yang meletakkan seleksi alam atas kekuatan individual. Darwinisme tidak memberikan kekuatan kaum lemah untuk menjadi berkemajuan”.

Disposisi sikap yang rendah, salah satunya bisa dimaknai bahwa ilmu atau pemahaman, baik yang bersumber dari ilmu pengetahuan sosial maupun dari ajaran agama, tidak mampu diimpelementasikan secara maksimal dalam realitas kehidupan empirik. Lebih banyak hanya sebatas teori, meskipun, saya pun menyadari bahwa tidak semua teori harus berwujud praksis, namun minimal menjadi nilai yang memengaruhi sikap, perilaku dan tindakan. Sederhananya, disposisi sikap yang rendah adalah kesenjangan/ketidaksesuaian antara kata dan perbuatan.

Sebagai contoh sederhana saja—ini pula yang menjadi ruang relevansi judul tulisan ini sehingga, saya membahasnya dalam konteks dan sebagai narasi Ramadan—setiap tahun kita sebagai umat Islam melaksanakan ibadah puasa Ramadan yang secara hakiki mengajarkan “pengendalian diri” dan kita sangat memahami hal itu, tetapi masih banyak di antara kita yang dalam kesehariannya turut serta berpuasa menjadi pelaku korupsi. Ini yang kita sayangkan, dan ini pula yang menunjukkan makna “disposisi sikap yang rendah” karena nilai puasa belum mampu mengendalikan dirinya dalam realitas kehidupan, kebangsaan, dan kenegaraan.

Sejatinya puasa memiliki korelasi positif untuk mengurangi “budaya” korupsi. Belum lagi jika ditautkan dengan nilai dari ibadah lainnya yang dilakukan dan dimaksimalkan pada bulan Ramadan. Dan kita sepakat bukan puasanya yang diposisikan sebagai terdakwa, tetapi oknum (orang yang bersangkutan).

Hajriyanto Y. Thohari pernah mengungkapkan sekelumit permasalahan bangsa yang kesannya menjadi penyebab sehingga—jika saya parafrasekan—“Kemajuan Indonesia itu masih jauh di depan sana”. Di antara sekelumit itu, Hajriyanto menyebut “cultural lag”, hal ini sejenis tali yang tidak muat untuk dipakai mengikat/meliliti sesuatu. Selain itu cultural shortage, hal ini sejenis Aki mobil, tidak mampu lagi memaksimalkan bunyi mesin. Disadari Indonesia memiliki banyak konsep yang terkesan super canggih, hanya saja mengalami “cultural lag” dan “cultural shortage”.

Jika memperhatikan secara seksama dalam kehidupan bangsa dan negara, kita masih menemukan suatu kondisi yang bisa dimaknai mengalami “entropi budaya”. Untuk memahami lebih mudah, bisa dijelaskan bahwa, energi yang ada tidak maksimal lagi karena adanya kerusakan secara parsial di beberapa titik, bisa penyebabnya ketidakadilan ekonomi dan politik, atau hal lainnya. Jadi bahan bakar yang awalnya mampu menempuh perjalanan sepuluh kilometer dalam per liternya, karena terjadi kerusakan yang dimaknai “entropi budaya”, maka kemampuannnya hanya bisa enam kilometer atau bahkan kurang dalam per liternya.

Bangsa ini pun terkesan mengalami kondisi “pragmatisme”, “individualistik” dan “materialisme” yang akut. Apalagi kapitalisme global telah mampu menghipnotis, sehingga hasrat demi hasrat terus menggelora tanpa batas menguras banyak hal. Mulai dari perilaku elit sampai grass root dalam cengkeraman dan kendali kapitalisme global. Ketika minyak goreng mengalami kelangkaan di negara penghasil bahan baku yang melimpah ruah, oleh banyak pengamat menyimpulkan ada sesuatu yang aneh. Ketika harga secangkir minuman bukan hanya menunjukkan akumulasi atau hasil konversi nilai bahan baku dan proses produksinya semata, tetapi harganya mencakup di dalamnya merk, ukuran strata sosial, dan masyarakat pun rela membelinya bukan hanya untuk memenuhi fungsi utilitasnya tetapi sebagai indikator atau ukuran strata sosialnya.

****

Dari berbagai problem yang menjadi variabel penghambat kemajuan bangsa dan negara Indonesia di atas, saya ingin menawarkan satu konsepsi yang bisa menjadi spirit untuk membangun bangsa lebih maju yaitu “Islam Agama Cinta”. Artinya Islam sebagai agama cinta, yang mendorong spirit cinta.

Masih banyak pandangan keliru selama ini, yang terus dikampanyekan, disuarakan, dan diviralkan yang terkesan Islam itu adalah agama yang mengajarkan kekerasan, radikalisme, dan ekstrimisme. Atau terkesan setiap kekerasan dan pertumpahan darah yang terjadi memiliki stempel legalitas agama, tanpa kecuali yang ditautkan dengan agama Islam. Padahal substansi agama Islam adalah agama yang mengedepankan kasih sayang, agama yang mengedepan cinta bukan sebatas untuk umat Islam saja, tetapi mencakup keseluruhan alam semesta. Rahmatan lil ‘alamin.

Ada banyak tulisan yang telah mengulas, bagaimana makna yang dimaksud sebagai “Islam Agama Cinta”. Jadi minimal untuk konteks tulisan saya ini, hanya merefleksikan minimal satu pandangan sederhana yang bisa memperkuat dan melengkapi pandangan dari tulisan-tulisan lain yang pernah ada. Ada banyak variabel dan indikator yang mempertegas dan membuktikan bahwa sesungguhnya Islam adalah agama yang mengedepankan “cinta”, bukan sebaliknya.

Dari 114 surah yang ada dalam Al-Qur’an, hanya ada satu surah yaitu surah At-Taubah yang tidak diawali dengan bismillahirrahmanirrahim (basmalah). Mengapa saya menyinggung hal ini? Karena ada yang menarik berdasarkan apa yang saya pahami lalu reinterpretasikan dari perspektif Ary Ginanjar Agustian.

Basmalah atau bismillahirrahmanirrahim memiliki makna yang luar biasa dan sangat progresif. Basmalah tidak hanya mengandung makna dan nilai, seperti yang dipahami selama ini sebagaimana sabda Rasulullah saw “Setiap perkara penting (baik) yang tidak dimulai dengan bismillahirrahmanirrahim, maka amalan tersebut akan terputus berkahnya”.

Beyond, melampai dari pemaknaan di atas jika merujuk pada perpektif Ary Ginanjar, maka ada banyak spirit yang bisa kita temukan di antaranya: spirit mengutamakan “memberi” atau “tangan di atas”, spirit cinta atau welas asih.

Bahkan dari basmalah jika kita memadukan terkandung pemahaman dan kesadaran tauhid—yang ibarat tombak—ujungnya adalah kasih sayang. Dengan menyebut nama Allah (berarti 99 Asmaul Husna) yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Jadi secara logika sederhana saja, telah ditegaskan bahwa dari 99 Nama mulia Allah atau Asmaul Husna yang paling dikedepankan/diutamakan adalah Maha Pengasih dan Maha PenyayangNya.

Jika spirit basmalah—melalui makna derivatif dan progresifnya—ini menjadi spirit dalam dinamika kehidupan sosial, berbangsa dan bernegara, maka saya yakin kita akan mampu membangn bangsa dan negara yang maju dan menjadi kiblat peradaban dunia.

Allah telah menegaskan dalam QS. Sad [38]: 72 “Kemudian apabila telah Aku sempurnakan kejadiannya dan Aku tiupkan roh (ciptaan)-Ku kepadanya; maka tunduklah kamu dengan bersujud kepadanya”.

Dalam beberapa pemahaman bahwa ketika Allah meniupkan rohNya ke dalam diri manusia, maka sifat-sifat dan nama Allah yang mulia itu (Asmaul Husna) itu memercik ke dalam dan menjadi bibit kreativitas, basis nilai atau core value spiritualitas manusia. Telah dipahami bahwa Asmaul Husna, 99 nama mulia Allah itu, menjadi percikan pula dalam diri manusia atas setiap sikap, perilaku dan tindakan manusia.

Ketika ada manusia, yang memiliki keinginan untuk berkuasa maka itu berarti percikan dari nama Allah yang Maha Kuasa, jika ada yang manusia ingin memiliki banyak hal itu, berarti bahwa itu percikan dari nama Allah Yang Maha Memiliki. Namun apa pun percikan yang ada yang harus diingat sebagaimana spirit basmalah yang harus tetap dikedepankan adalah Maha Pengasih dan Maha Penyayang-Nya Allah. Sehingga orientasi berkuasa dan keinginan memilikinya tidak melahirkan kecenderungan otoriter, keserakahan, dan kerakusan, tetapi semua itu dalam rangka memberikan manfaat. Kurang lebih seperti itu pemahaman yang saya tangkap dari perspektif Ary Ginanjar, dan bagi saya ini menarik untuk dimiliki, dipahami sebagai landasan dalam menjalani hidup dan kehidupan.

Islam pun, terutama tergambar melalui rukun Islamnya, pada dasarnya memang tidak berorientasi individualistik semata, tetapi termasuk orientasi sosial dan kolaborasi ada di dalamnya. Sehingga melalui rukun Islam—sebagaimana saya telah pernah jelaskan pada tulisan lainnya—rukun pertama sampai ketiga berfungsi untuk membangun ketangguhan pribadi, sedang rukun keempat dan kelima berfungsi untuk membangun ketangguhan sosial, kolaborasi, dan kohesivitas sosial.

Ketika makna cinta secara umum, sebagaiman bisa pula diselami dari perspektif Erich Fromm, meliputi atau mengsyaratkan perjuangan, kesabaran, konsentrasi dan yang terpenting adalah kematangan pribadi, maka sesungguhnya hal ini diajarkan dalam Islam, dan bahkan melampaui dari itu, dalam ajaran Islam ditemukan satu substansi bahwa ketika terjadi posisi atau titik temu dua pilihan antara ibadah ritual kepada Allah, dengan sesuatu yang sifatnya untuk kemanfaatan atau kepentingan umum, maka Islam mengajarkan untuk mengutamakan kepentingan umum terlebih dahulu. Jika ada hal darurat yang sifatnya menyangkut kepetingan umum, maka ibadah wajib bisa ditangguhkan/ditunda sementara.

Tulisan ini, hanya setetes perspektif dari samudera pemahaman atas Islam sebagai agama yang mengedepankan cinta atau kasih sayang. Hal senada bisa banyak ditemukan dalam pemikiran sufisme atau tasawuf yang mengedepankan orientasi irfani.

*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply