Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Berita

Earth Forgive us, We Need a Moment to Care about You

×

Earth Forgive us, We Need a Moment to Care about You

Share this article

Oleh: Multazam Mustadjab*

“Malang”, bukan kata yang hanya merujuk salah satu kota di Jawa Timur. Namun, ini juga termasuk ungkapan kesedihan atas nasib buruk yang terjadi.

“Malang”, tidak hanya disematkan kepada manusia yang menghidupi bumi. Termasuk juga kepada alam, bumi, wilayah, kawasan atau lebih eksplisit lagi, lingkungan yang dihidupi manusia.

Di momen ini, kata “Malang” sepertinya cocok disematkan kepada lingkungan yang kondisinya kian hari sungguh memilukan dan menyedihkan.

Lingkungan atau isu-isu yang menyematkan kata lingkungan telah menjadi tren sejak beberapa tahun terakhir.

Menyorot kata lingkungan tak lepas atas kesadaran petinggi dunia yang kemudian mendeklarasikan Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) sebagai agenda bersama mencapai dunia berkelanjutan di tahun 2030.

Agenda bersama ini tentu berdasar pada kesadaran atas krisis skala makro pada aspek fundamental kehidupan manusia yang diasumsikan terjadi beberapa tahun mendatang tanpa adanya tindakan represif.

Aspek lingkungan menjadi salah satu indikator atau pilar utama selain dari ekonomi, sosial, hukum, dan tata kelola.

Kondisi atas lingkungan hidup dapat dilihat dan dirasakan, baik secara langsung ataupun tak langsung dengan seksama.

Contoh sederhana, kadang kita merasa kondisi suhu sangat ekstrem dari biasanya, perubahan cuaca yang tiba-tiba terjadi, bencana alam mulai sering terdengar yang bahkan dirasa mengintai pribadi kita. Kondisi alam seperti ini tak lain atas degradasi kualitas dan kuantitas lingkungan secara global.

Maraknya isu pemanasan global yang merusak kondisi lingkungan saat ini, berdampak hampir di seluruh dunia.

Dilansir dari Kompas.com, ilmuwan IPCC (organisasi dunia tentang perubahan iklim) memberi peringatan kepada umat manusia untuk bersiap menghadapi berbagai bencana iklim yang tidak terhindar selama dua dekade.

Hal ini berdasarkan atas temuan meningkatnya pemanasan global mencapai 1,5 derajat Celcius pada awal tahun 2022.

Meski secara nominal terbilang rendah, namun berkaitan dengan suhu bumi, efek yang dapat ditimbulkan sangatlah besar. Sebut saja, hujan dengan intensitas tinggi, siklon tropis, hingga musim kemarau berkepanjangan yang menjadi penyebab kebakaran skala besar.

Pemanasan global yang berpengaruh pada perubahan iklim ini berefek pada gelombang panas ekstrim beberapa bulan belakangan.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyebutkan bahwa peruban iklim yang terjadi membuat sebagian besar wilayah Eropa dan Amerika mengalami kebakaran hingga ratusan titik. Termasuk Siberia.

Wilayah paling dingin yang berpenghuni ini mengalami kebakaran besar sepanjang sejarahnya. Padahal, kita tahu bersama, bahwa bumi bagian barat memiliki suhu yang cukup rendah dibanding posisi kita saat ini yang dilalui garis khatulistiwa dengan suhu rata-rata 20-30 derajat Celcius.

Bagaimana dengan Indonesia? Sepertinya tidak perlu disebut datanya. Aktivitas masyarakat yang masih jauh dari pola perilaku berbasis lingkungan atau green activity, membuat negeri +62 ini menjadi donatur laju pemanasan global yang bahkan mengancam warganya sendiri.

Peningkatan emisi C02, eksploitasi hutan demi kepentingan industri, pengelolaan sampah, perburuan satwa langka yang berujung rusaknya ekosistem darat maupun laut, termasuk pula polusi udara dari aktivitas manufaktur yang jauh dari kata ramah lingkungan adalah ulah kita.

Menyimak itu semua, sebenarnya apa yang terlintas dalam benak kita tentang lingkungan hidup? Udara yang sejuk? Hutan yang asri? Laut yang jernih? Gunung yang rimbun dengan pepohonan? Atau pemukiman desa yang warganya kerap bertegur sapa?

Sepertinya tidak. Sebab kini, mata yang harusnya menikmati keindahan lingkungan itu, perih karena asap pembakaran hutan, tertutupi bangunan-bangunan pencakar langit, hingga nafas sesak karena polusi dari corong-corong mesin industri.

Kulit yang menikmati sejuknya air payau, menari bersama satwa laut, kini tergores oleh sampah yang umurnya lebih tua dari pembuatnya.

Sebenarnya ada apa dengan lingkungan? Atau pertanyaan lebih tepat, ada apa dengan manusia? Mengapa kau jadikan lingkungan sebagai korban atas nafsumu? Ekosistem yang damai dengan kehidupan yang mendiaminya engkau rampas habis-habisan.

Kebijakan yang katanya berorientasi pada ekologis kini menjadi ekonomis. Lingkungan yang kini berpayung hukum, seyognya setara dengan manusia.

Namun, kembali, kebijakan yang sedianya ditargetkan untuk keberlajutan lingkungan termasuk masyarakat dan warga pribumi, berbalik haluan untuk kerabat dan pribadi.

Bumi, entah sampai kapan kami mampu bersantai riang gembira di tubuhmu yang semakin hari kian terluka karena ketamakan dan redupnya kepedulian kami. I just want to say, earth forgive us, we need a moment to care about you.

Maaf, jika tulisan ini cukup singkat. Karena kami paham namun mungkin kurang sadar untuk aktif mengambil tindakan lingkungan yang positif.

Hanya saja, terlalu banyak di antara kami kurang dalam aksi dan berkoar-koar dalam narasi. Narasi yang bagaikan lautan saat ini, penuh sampah dan omong kosong belaka.

Setelah setengah abad, sejak diperingatinya hari lingkungan hidup ini, semoga tidak sekadar menjadi refleksi dan sarana tekstual dalam menjaga kehidupan dan penghidupan setiap komponen lingkungan hidup yang bermukim di bumi.

Perlu landasan kesadaran kolektif untuk menghidupkan dalam diri segala pikiran dan tindakan yang berorientasi ramah lingkungan.

Only One Earth bukan sekadar tema yang kembali digaungkan pada peringatan hari ini. Akan tetapi, menyadari itu, bahwa kehidupan yang saat ini di bumi akan dimintai pertanggungjawaban kepada setiap umat manusia sebagai khalifah fil ardh.

*Anggota Bidang Lingkungan Hidup PW IPM Sulsel

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply