Oleh: Agusliadi Massere*
Pelaksanaan Pemilu telah disepakati hari Rabu, 14 Februari 2024. Membaca dan/atau mendengar informasi ini, seketika orang-orang, khususnya para generasi milenial terpatri pada ingatan dan pemahaman yang membentangkan garis relasi antara “14 Februari” dan “suatu hari perayaan”— menurut pengetahuan saya—yang beberapa tahun sebelumnya sering dirayakan oleh para pemuda dan remaja, yaitu, Hari Kasih Sayang (Valentine’s day).
Valentine’s day, yang dirayakan pada setiap tanggal 14 Februari, saya sendiri begitupun istri dan anak-anak tidak pernah merayakannya.
Peringatan, perayaan atau apapun istilah tepatnya yang bisa ditautkan terhadap valentine’s day ini, masih dipenuhi perdebatan kontroversial apalagi ada yang menarik garis relasi ke dimensi teologis sehingga dialektikanya semakin “panas”.
Tulisan ini, tidak fokus pada perdebatan yang dimaksud. Sama sekali niatan penulisan ini, jauh dari hal-hal kontroversial tersebut.
Ada hal menarik dan sangat positif, meskipun titik berangkatnya berawal atau terinspirasi dari sesuatu—yang oleh sebagian orang—dipandang kontroversial tersebut.
Dan dalam cara pandang saya, menjadikan hal tersebut sebagai sumber inspirasi, untuk selanjutnya diorientasikan kepada sesuatu yang baik, positif, produktif, dan kontributif, bukanlah sesuatu yang problematis.
Terinspirasi dari valentine’s day, maka tanggal 14 Februari 2024 yang dalam tahapan pemilu sebagai hari pemungutan dan penghitungan suara, oleh teman-teman penyelenggara pemilu menyebutnya dan menjadikannya sejenis tagline yang berdimensi psikogis—pemantik harapan dan semangat—sebagai “Hari Kasih Suara”.
Sekali lagi, saya menegaskan bahwa mengambil inspirasi seperti itu, sesungguhnya bukanlah sesuatu yang bersifat problematis.
Ada banyak preseden historis bisa ditemukan dalam bentangan sejarah, yang menunjukkan sikap dan perilaku mengambil sumber inspirasi dari luar, bahkan yang disekat/dibatasi oleh “benteng-teologis” sekalipun. Saya yakin pembaca memahami hal ini.
Khususnya di Provinsi Sulawesi Selatan, “Hari Kasih Suara” semakin massif disuarakan dan/atau dikampanyekan pasca pelaksanaan Rapat Pimpinan KPU Kabupaten/Kota se Sulawesi Selatan oleh KPU Provinsi Sulawesi Selatan yang dipusatkan di Hotel Claro Makassar dan dihadiri oleh Ketua, Anggota, dan Sekretaris KPU Kabupaten/Kota se Sulawesi-Selatan.
Oleh para Ketua Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, Partisipasi Masyarakat, dan Sumber Daya Manusia KPU Kabupaten/Kota bersepakat untuk menjadikan “Hari Kasih Suara” sebagai tagline resmi, yang harus terus, minimal, disosialisasikan.
“Hari Kasih Suara”, meskipun hanya terdiri dari tiga kata, namun memiliki cakupan makna yang mendalam, bahkan memiliki tautan filosofis yang kuat.
Jujur, untuk melanjutkan kalimat ini saja, saya harus berhenti, kembali merenung, mencari dan membaca beberapa referensi yang relevan karena ada hal yang menarik untuk semakin diselami maknanya.
Saya terinspirasi dan sepakat dari senior saya di IRM, Asratillah (Korwil Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah/JIMM Sulawesi Selatan), bahwa manusia dalam menjalani hidupnya, bukan hanya hidup secara vegetatif (nutritive, reproduksi, dan tumbuh), begitupun hidup secara animalia (instingtif, sensasional, dan mobile), tetapi manusia hidup dengan melakukan pencarian makna kehidupan (the meaning of life).
Secara harfiah, saya yakin pembaca sudah memahami apa yang dimaksud dengan “Hari”, “Kasih”, dan “Suara”. Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia yang ditulis oleh Tim Prima Pena, “Kasih” didefenisikan “Perasaan sayang”, “Cinta”, dan “Suka kepada”.
Dalam, “Hari Kasih Suara”, kata “Kasih” diapit oleh dua kata, “Hari” dan “Suara”. Selain itu bisa pula diungkapkan bahwa kata “Kasih” menjadi jembatan, penghubung, dan/atau titik temu antara kata “Hari” dan “Suara”. Ini salah satu yang menarik untuk diresapi maknanya.
Dalam konteks kehidupan demokrasi dan pelaksanaan pemilu, apa yang dimaknai sebagai “Hari”, khususnya hari pemungutan suara, dan “Suara” itu sendiri adalah dua hal yang memiliki urgensi, signifikansi, dan implikasi yang sangat besar.
Salah satu bukti sederhana, terkait urgensitas yang besar terhadap “Hari” (Hari pemungutan suara) tersebut, sehingga diliburkan secara nasional. Begitupun “Suara” satu saja atau satu suara, itu sangat penting.
Kedua kata tersebut “Hari” dan “Suara” dalam konteks kehidupan demokrasi dan pelaksanaan pemilu, bermuara pada samudera harapan yang mampu membawa “kapal kebangsaan”—saya sering menyebut/mengistilahkannya seperti itu—menuju pulau harapan. Sesuatu yang menjadi cita-cita dan tujuan nasional, termasuk yang sejak awal diletakkan oleh para founding fathers.
Saya teringat akan ungkapan seorang pujangga—kurang lebih dua puluh tahun yang lalu, meskipun nama dan sumber referensinya telah terlupakan, tetapi jika tidak salah mengingat ini dari Khalil Ghibran—“Dunia ini diciptakan dari cinta, oleh cinta, dan untuk cinta.
Jika ada lorong yang dilewati sebelum cinta maka itu jalan menuju cinta. Jika ada lorong yang dilewati setelah cinta maka itu adalah hasil dari sebuah cinta.”
“Cinta” dan/atau pun “Kasih” (sebagaimana secara substansial menjadi core value dalam tulisan ini adalah sesuatu yang harus menjadi basis, bahkan bisa dimaknai sebagai landasan utama dan filosofis terhadap apa yang dimaknai sebagai “Hari” dan “Suara” dalam konteks kehidupan demokrasi dan pelaksanaan pemilu.
Ketika proses demokrasi dan pelaksanaan pemilu diharapkan terlaksana dengan baik, berkualitas, dan berintegritas, maka terma “Hari” dan “Suara” yang terkandung di dalamnya, haruslah merupakan sesuatu yang mengandung atribusi “berkualitas” dan “positif” pula.
“Hari” yang dimaksud, baik “Hari pemungutan dan penghitungan suara’ maupun hari-hari yang mengiringi, sebelum dan sesudahnya harus berkualitas dan penuh dengan nilai positif.
Pantaslah, ketika sejak awal peluncuran pelaksanaan tahapan pemilu, yang dimulai dua puluh bulan sebelumnya, penyelenggara pemilu mengalami perubahan pola kerja dari “Hari kerja” menjadi “Hari kalender”.
Artinya, penyelenggara pemilu diharapkan bekerja sepenuh waktu, bahkan tidak mengenal hari libur, demi menyukseskan setiap tahapan dan jadwal yang telah ditetapkan.
Sekretaris Jenderal KPU RI, pada kesempatan memberikan penguatan kapasitas kepada seluruh jajaran sekretariat KPU Kabupaten/Kota se Indonesia—dan dijadikan sebagai tagline yang berdimensi psikologis pula—menegaskan “Berintegritas 24 jam”. Insya Allah tagline “Berintegritas 24 Jam” ini pun, akan saya selesakan dalam bentuk tulisan utuh.
Selain “Hari”, “Suara” pun, baik suara yang diberikan pada hari pemungutan dan penghitungan suara, maupun “suara-suara” lainnya yang bisa dimaknai lagi sebagai “partisipasi cerdas dan aktif masyarakat, khususunya pemilih” pada setiap tahapan pemilu, itu sangat penting, dan harus mengandung sesuatu yang dinilai berkualitas dan positif.
Meminjam pertanyaan Haidar Bagir (seorang pengajar tasawuf)—yang menjadi narasi pembuka pada bukunya yang berjudul Percikan Cinta dan Kebahagiaan (Suplemen Buku Islam Risalah Cinta dan Kebahagaian), where shall we begin? Di mana kita akan memulai agar “Hari” dan “Suara” yang mengiringi tahapan sampai pada puncak pelaksanaan pemilihan umum, bisa berkualitas dan positif?
Selain meminjam pertanyaan dari Bagir, saya pun meminjam (tepatnya: terinspirasi) jawaban darinya yang pada dasarnya menyorot di mana kita harus memulai dalam segala keruwetan kehidupan kita di muka bumi ini, khususnya pada saat sekarang yang di dalamnya kita merasa terjebak dalam kehidupan dan kemajuan zaman yang kita ciptakan sendiri. Jawaban sesungguhnya menurut Bagir, dan tidak perlu dicari ke mana-mana, adalah “cinta”.
Cinta, yang dalam bahasa judul, substansi tulisan, dan tagline berdimensi psikologis penyelenggara pemilu adalah “kasih” adalah sangat tepat menjadi jembatan, penghubung, titik temu, dan sekaligus core value untuk mewujudkan “Hari” dan “Suara” yang berkualitas dan positif dalam pelaksanaan pemilu tahun 2024 mendatang.
Ketika hari-hari yang dilewati, sebelum, hari H, dan pasca pemungutan dan penghitungan suara pada Pemilu Serentak 2024 dilandasi atas perasaan “Kasih” dan “Cinta” maka bisa dipastikan semuanya akan bermuara pada sesuatu yang berkualitas, positif, produktif, dan kontributif.
Begitupun “Suara” yang dilandasi akan rasa “Kasih” atau “Cinta” maka dengan sendirinya praktik politik uang akan mampu dicegah atau dihilangkan sebagai sesuatu yang dipandang menodai proses demokrasi dan merugikan semua pihak, siapa pun (jika disadari) yang menjadi stakeholder di dalamnya. Ini menegaskan merugikan termasuk pelakunya, jika disadari dan menggunakan kaca mata “cinta”.
Mengapa “Cinta” atau “Kasih” menjadi penting dan sebagai landasan utama? Sebagaimana saya memahami dari Bagir dan begitupun pengalaman menjalani hidup bahwa, sejak dulu, manusia menjadi budak dari apa-apa yang dicintainya.
Meskipun ini terkesan berkonotasi negatif, tetapi di dalamnya tetap mengandung sesuatu yang bermanfaat.
Artinya, ketika kita mencintai atau mengasihi suara kita dalam proses demokrasi atau pelaksanaan pemilu, maka kita akan fokus pada “Hari” dan “Suara” yang berkualitas, positif, produktif, dan kontributif, tanpa dipengaruhi oleh godaan politik uang.
Meminjam pengandaian Bagir, seperti Majnun yang mencintai Layla. Hanya itulah makna hidupnya, tanpa Layla, tak ada kehidupan.
Dengan cinta atau kasih, tanpa “Hari” dan “Suara” yang berkualitas dan positif, maka kehidupan demokrasi dan pelaksanaan pemilu tidak akan berarti, terasa hampa, dan bagaikan sayur tanpa garam.
Jika cinta dan ataupun kasih direformulasikan lebih luas dan jauh pada istilah “welas asih” maka ini bisa menjadi sesuatu yang lebih dahsyat sebagai landasan filosofis, spirit, dan/atau core value bagi “Hari” dan “Suara” dalam proses kehidupan demokrasi dan pelaksanaan pemilu.
Meminjam dan menginterpretasi ulang cara pandang Zakiyuddin Baidhawy (Rektor UIN Salatiga) dan Azaki Khoiruddin (Dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta), “Welas asih” mampu menjadi etos agar kebenaran dan kebaikan Islam terletak pada kegunaan dan kemanfaatan bagi semua orang melampaui batas-batas agama dan bangsa. Atau menjadi dasar gerakan kemanusiaan universal.
Sebagaimana dikutip pula oleh Zakiyuddin dan Azaki dari dr. Soetomo (pendiri Budi Utomo “etos Welas asih merupakan kritik atas Darwinisme sebagai paradigma pemikiran Barat modern yang meletakkan seleksi alam atas kekuatan individual. Darwinisme tidak memberikan kekuatan kaum lemah untuk menjadi berkemajuan.”
Jadi ketika “welas asih”, “cinta” atau “kasih” dijadikan etos, sebagaimana beberapa cara pandang yang telah diuraikan di atas, bisa diyakini akan mampu mewujudkan pemilu yang berkualitas dan berintegritas, dan bisa dipasikan terbebas dari “politik uang”.
Marilah mencintai “Suara” kita, dengan memberikannya kepada sosok yang tepat, terbaik, terpercaya, amanah, dan mampu memperjuangkan kepentingan rakyat, serta mampu membawa kapal kebangsaan ini menuju pulau harapan, sebagaimana yang telah digariskan oleh konstitusi.
“Hari Kasih Suara”, secara tidak langsung pula menegaskan dan menguatkan konsepsi, tagline, dan/atau spirit “Pemilih Berdaulat Negara Kuat”.
*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng, Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023.