KHITTAH.CO, Jakarta- Substansi kemerdekaan adalah kedaulatan. Hal ini ditegaskan dalam Pengajian Umum Bulanan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah.
Pengajian yang bertemakan ‘Kemerdekaan dan Kedaulatan Akhlak’ ini dihelat pada Jumat, 12 Agustus 2022 malam, via Zoom.
Pengajian ini dibuka oleh Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti. Ia mengingatkan bahwa sudah sepatutnya kita patut bersyukur kepada Allah atas kemerdekaan yang ke 77 tahun ini.
Mu’ti mengatakan, kemerdekaan yang jamak dipahami adalah terbebasnya suata bangsa dari penjajahan atau kolonialisasi.
“Sering kita pahami bahwa kemerdekaan itu adalah suatu momentum di mana bangsa mendeklarasikan kemerdekaannya yang sering ditandai dengan peristiwa bahwa negara itu terbebas dari penjajahan atau biasa disebut dengan free from colonialism ,” kata Mu’ti.
Dalam realitasnya kemudian, lanjut Mu’ti, substansi dari kemerdekaan itu adalah kedaulatan. Ini karena ada juga negara yang terbebas dari penjajahan tetapi mereka tidak berdaulat.
Karena itu, ia menegaskan, hakikat dari kemerdekaan itu adalah kedaulatan, yang paling tidak, ada kedaulatan wilayah, politik, hukum, budaya, dan beragam atau segala hal yang berkaitan dengan kedaulatan yang berhubungan dengan substansi kemerdekaan itu sendiri.
Kemerdekaan adalah Perjuangan Moral
Tetapi di atas semua itu, lanjut Mu’ti, kita mesti melihat bahwa perjuangan untuk merebut kemerdekaan sesungguhnya adalah perjuangan moral.
Menurut dia, kemerdekaan merupakan perjuangan di mana suatu bangsa melawan penjajahan sebagai satu praktik atau sistem yang bertentangan dengan moralitas atau akhlak.
Karena itu, kata Mu’ti, ketika membaca pembukaan UUD 45, alinea pertama menyebutkan bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan pri-kemanusiaan dan pri-keadilan.
Dua kata kunci yakni pri kemanusiaan dan pri keadilan itu, menurut Mu’ti sebenarnya merupakan sebuah pernyataan moral.
Tidak hanya itu, dua kata itu juga merupakan sebuah perjuangan, di mana kemerdekaan itu harus diraih. Ini karena penjajahan itu tidak sesuai dengan moralitas utama.
Bahkan, lanjut Mu’ti, penjajahan itu juga merupakan satu bentuk di mana manusia telah melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat kemanusiaan.
“Tetapi di atas semua itu, tentu saja ketika sebuah bangsa memiliki self determination dalam mengelola sistem pemerintahan, sistem politik, kejayaan suatu bangsa sesungguhnya ditentukan oleh kedaulatan akhlak bangsa itu,” jelas Mu’ti.
Substansi Kemerdekaan Erat dengan Akhlak
Menurut dia, politik suatu negara akan membawa bangsa itu pada kejayaan jika moralitas politik dituntun oleh kekuatan akhlak mulia. Ia meyakini,hukum tidak akan tegak dan tidak bisa menjamin keadilan ketika akhlak tidak tegak dalam penegakan hukum itu.
“Ekonomi tidak akan membawa bangsa pada kesejahteraan materil atau kesejahteraan secara ketercukupan atau ketersediaan pokok suatu bangsa kalau akhlak itu tidak ditegakkan,” sambungnya.
Ketidakadilan politik, menurutnya, banyak disaksikan dalam kehidupan bangsa-bangsa. Termasuk hal yang kita saksikan saat Indonesia akan merayakan Kemerdekaan Indonesia yang ke 77.
“Keadilan hukum juga masih menjadi masalah yang serius di negeri ini termasuk juga keadilan ekonomi atau distribusi keadilan yang lebih merata,” tegas Mu’ti.
Namun, Mu’ti menyebut persoalan yang dihadapi saat ini bukan hanya persoalan tuna moral. Oleh karena itu, suatu hal yang berkaitan dengan kedaulatan politik, ekonomi, hukum, dan semua hal yang berkaitan dengan hal yang membawa kita merdeka itu akan membawa pada hal yang membawa kita pada kemajuan.
“Kalau hasrat itu menjadi realitas kebangsaan yang menjadi bangsa dan negara yang berkemajuan dan berkeadaban,” tutup Mu’ti.