KHITTAH.CO, Ancaman terhadap proses demokrasi elektoral yang perlu mendapat perhatian adalah terjadinya kecurangan yang sengaja dilakukan untuk memenangkan calon tertentu.
Kecurangan (election fraud) terjadi tak hanya dalam pemilihan kepala daerah, tapi bisa saja terjadi pada pemilihan ketua umum di suatu lembaga.
Seakan-akan, kecurangan ini menjadi bagian dari strategi pamungkas untuk memenangkan calon tertentu, ketimbang menggunakan cara yang dibenarkan oleh undang-undang guna mendapatkan suara pemilih.
Padahal, pemilihan pemimpin, baik itu ketua dalam organisasi atau pemimpin dalam satu kelompok, merupakan refleksi kesepahaman antarindividu di ranah publik. Ini untuk memberi legitimasi pemimpin yang terpilih berdasarkan prinsip jujur dan adil (jurdil).
Sangat disayangkan jika hal yang demikian harus dinodai dengan cara-cara di luar aturan yang telah disepakati.
Umumnya, kecurangan dilakukan secara sistematis dengan modus “seolah-olah” ini terjadi karena kesalahan administrasi atau kelalaian panlih.
Pilihan alasan ini dimaksudkan agar tak ada protes dan tuntutan yang berlebihan sehingga dapat membatalkan kemenangan calon yang melakukan kecurangan tersebut.
Tidaklah mengherankan, jika dalam setiap pemilihan yang muncul adalah tudingan terjadinya kecurangan oleh pihak tertentu, tanpa adanya konfirmasi (tabayyun) kepada pihak yang ditudingkan.
Padahal, sudah jelas dalam Islam terkait perintah untuk bersikap tabayyun terhadap suatu berita yang tidak jelas kebenarannya.
Bahkan, dikatakan bahwasanya tabayyun merupakan peringatan, agar jangan sampai umat Islam melakukan tindakan yang menimbulkan dosa dan penyesalan akibat keputusan yang tidak didahului dengan tabayyun.
Sikap ini yang bisa mencelakakan dan merugikan orang lain. Dalam QS. Al-Hujurat 49:6 Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman :
“Wahai orang-orang yang beriman, jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.”
Jika hal seperti ini terjadi, maka dampak yang muncul adalah sikap penafian terhadap hasil pemilihan dari pihak yang merasa dicurangi.
Selain itu, yang paling ekstrem yang mungkin terjadi, yaitu mencetuskan penolakan terhadap keputusan Panlih disertai dengan kerusuhan massa dan kekerasan yang melibatkan pendukung calon yang kalah atau dirugikan.
Tentu saja yang demikian ini, sangat merugikan banyak pihak. Antusiasme publik mengikuti pemilihan justru harus dicederai dengan perbuatan tidak mendasar oleh kelompok tertentu.
Mengapa harus ada drama dan pertunjukan seperti ini dalam pemilihan? Seharusnya, momentum pemilihan dijadikan momentum yang harmonis untuk melahirkan pemimpin.
Lahirnya pemimpin yang menjadi harapan bangsa bahkan umat, yang dimana kelahiran nya betul-betul lahir karena suara rakyat, bukan karena perintah kekuasaan.
Nah, oleh karena itu, kita sebagai umat Islam perlu paham akan dasar-dasar kepemimpinan. Demikian pula terkait pemimpin seperti apakah yang pantas untuk memimpin. Ini agar kita tidak salah dalam memilih pemimpin dan tidak dipimpin oleh orang yang salah.
Karakteristik manusia yang mempunyai motivasi tinggi untuk menjadi pemimpin tampak dalam tingkah laku yang dilandaskan pada suatu keyakinan yang sangat mendalam bahwa apa yang dilakukannya merupakan bagian dari ibadah kepada Allah.
Memimpin merupakan suatu panggilan yang sangat mulia dan perintah dari Allah yang menempatkan dirinya sebagai makhluk pilihan, sehingga tumbuh dalam dirinya kehati-hatian.
Demkian pula dengan sikap menghargai waktu, hemat, produktif, dan memperlebar sifat kasih sayang sesama manusia. Sejalan dengan hal itu, dalam memilih pemimpin Rasulullah saw bersabda :
“Sebaik-baiknya pemimpin adalah mereka yang kamu cintai dan mencintai kamu, kamu berdoa untuk mereka dan mereka berdoa untuk kamu. Seburuk-buruk pemimpin adalah mereka yang kamu benci dan mereka membenci kamu, kamu melaknati mereka dan mereka melaknati kamu.” (HR Muslim)
Lalu, hal-hal yang perlu kita pahami persoalan prinsip-prinsip dasar dalam kepemimpinan yakni : musyawarah; keadilan; dan kebebasan berpikir.
Secara ringkas, penulis ingin mengemukakan bahwasanya sosok kepemimpinan dalam Islam bukanlah kepemimpinan tirani dan tanpa koordinasi.
Namun, ia mendasari dirinya dengan prinsip-prinsip Islam. Bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya secara obyektif dan dengan penuh rasa hormat, membuat keputusan seadil-adilnya, dan berjuang menciptakan kebebasan berpikir.
Begitu juga dengan pertukaran gagasan yang sehat dan bebas, serta saling kritik dan saling menasihati satu sama lain sedemikian rupa, sehingga para pengikut atau bawahan merasa senang mendiskusikan persoalan yang menjadi kepentingan dan tujuan bersama.
Kepada para pemimpin, mulai dari skala yang lebih kecil, sampai pada tingkat mondial, penulis hanya ingin mengingatkan, semoga tulisan ini bisa dipahami, dijadikan nasihat dan sekaligus dapat direalisasikan dengan baik, dan tetap ber-fastabiqul Khairat !!
Ditulis oleh
Nurul Muhlisa
Sekretaris Pimpinan Komisariat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah PKP Unhas