KHITTAH.CO, Surakarta- Jelang Muktamar ke-48 ‘Aisyiyah pada November 2022 mendatang, Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah telah menyusun sembilan isu-isu strategi yang akan diusung dalam Muktamar.
“Isu strategis adalah isu-isu yang harus segera direspons dan dampaknya luas,” terang Siti Noordjannah Djohantini selaku Ketua Umum Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah.
Nantinya, sembilan isu strategis ini juga menjadi bagian dari rekomendasi ‘Aisyiyah kepada pemerintah. “‘Aisyiyah akan mendorong agar isu-isu strategis ini menjadi isu proritas yang harus segera ditindaklanjuti,” tegas Noordjannah.
Kesembilan isu tersebut adalah penguatan peran strategis umat Islam dalam mencerahkan bangsa, penguatan perdamaian dan persatuan bangsa, serta pemilihan umum yang berkeadaban menuju demokrasi substantif.
Selain itu, optimalisasi pemanfaatan digital untuk atasi kesenjangan dan dakwah berkemajuan, menguatkan literasi nasional, ketahanan keluarga basis kemajuan peradaban bangsa dan kemanusiaan semesta.
Termasuk, penguatan kedaulatan pangan untuk pemerataan akses ekonomi, penguatan mitigasi bencana dan dampak perubahan iklim untuk perempuan dan anak.
“Demikian pula terkait akses perlindungan bagi pekerja informal, dan penurunan angka stunting,” ujar Noordjannah.
Jelang Pemilu pada 2024, ‘Aisyiyah juga menjadikan isu pemilihan umum yang berkeadaban menuju demokrasi substantif sebagai salah satu dari isu strategis.
Pemilu 2024 merupakan pemilihan serentak, mulai dari pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan legislatif di tingkat pusat, provinsi, dan daerah, hingga pemilihan kepala daerah.
Menurut Noordjannah, sebagai sistem demokrasi untuk menjaring kepemimpinan di tingkat nasional maupun lokal, hendaknya pemilu dilakukan secara berkeadaban baik oleh semua pihak yang terlibat.
“Baik itu penyelenggara, elit pemerintahan, partai politik, para calon, juga pemilih agar pemilu mendatang bisa mencerminkan kualitas demokrasi,” kata dia.
Tri Hastuti Nur Rochimah sebagai Sekretaris PP ‘Aisyiyah, merefleksi pemilu yang dihelat periode lalu. Menurut dia, pemilu tersebut belum menunjukkan perilaku yang berkeadaban dan demokrasi berkualitas.
Ia mencontohkan, fenomena politik pragmatis, politik uang yang sangat memprihatinkan, oligarki politik, orientasi kekuasaan yang sangat kuat sehingga segala cara ditempuh untuk mendapatkan kekuasaan tersebut.
Bahkan, Tri mengaku prihatin dengan menguatnya politik identitas yang masih berlanjut pasca-pemilu sehingga mengganggu kehidupan kebangsaan yang damai dan kolaboratif.
Ia menegaskan, Indonesia sebagai bangsa yang besar dengan keragaman suku, ras, agama, golongan, dan budaya memerlukan sistem pemilu dan perilaku politik yang memperkuat persatuan dan menjunjung perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,dan bernegara.
“Bukan sebaliknya, pemilu yang menyisakan permasalahan yang membawa perpecahan sosial, sikap masyarakat yang pragmatis dengan politik uang, saling menyerang antar pendukung di media sosial, permainan hasil suara dan lain-lain,” ungkap dia tegas.
Terkait dengan mulai ramainya wacana pencalonan jelang pemilu 2024, Tri berpesan, hal itu tidak membuat gaduh dan menimbulkan perpecahan yang dapat menjadi embrio kemunculan kembali politik identitas.
Ia berharap, wacana yang muncul dan diperbincangkan justru terkait dengan isu-isu maupun problem sosial ekonomi yang dihadapi bangsa ini dan harus dicarikan jalan keluar.
Tri juga menggarisbawahi tentang keterwakilan perempuan dalam kelembagaan penyelenggara pemilu di semua tingkatan.
Ia mencontohkan, pendaftaran Panitia Pemilihan Kecamatan dan Panitia Pemungutan Suara sudah dimulai pada pertengahan dan akhir November 2022 ini.
“Pemilu selama ini belum menunjukkan keberhasilan proses rekruitmen perempuan dalam lembaga legislatif dan eksekutif. Keterwakilan perempuan belum mencapai 30%,” ujar Sekretaris PP ‘Aisyiyah ini.
Tri melihat, ada beberapa faktor penyebab, seperti budaya patriarki yang masih mengutamakan laki-laki sebagai pemimpin khususnya di bidang politik, kaderisasi partai bagi perempuan belum optimal, daya dukung ekonomi, dan lainnya.
“Apalagi fenomena politik berbiaya tinggi yang masih mewarnai praktik politik di negeri ini, juga menjadi kendala tersendiri dan turut mengurangi ketertarikan perempuan di wilayah politik,” tutup dia.