KHITTAH.CO- Manusia pada hakikatnya tidak bisa dilepaskan dengan aktivitas ekonomi. Itulah sebabnya, manusia dalam terma yang lain disebut sebagai human economicus, yakni manusia sebagai mahluk ekonomi.
Disebut sebagai human economicus karena mahluk ini tidak bisa lepas dari kebutuhan dan keinginan sehingga aktivitas ekonomi dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya tersebut.
Pada titik inilah, manusia mau tidak mau, sadar atau dalam kondisi terpaksa, tenang atau dalam kondisi terdesak, akan berhadapan dengan aktivitas ekonomi.
Tidak hanya sebagai konsumen, tetapi juga sebagai produsen (baca: penyedia barang dan atau jasa).
Sebagai organisasi keagamaan yang beralasakan kitab suci al-Quran dan pesan pesan suci kenabian (baca: hadist), IMM dituntut oleh pembawa risalah yakni Nabi Muhammad untuk memiliki kekuatan dalam berbagai sektor salah satunya sektor ekonomi.
“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada Mukmin yang lemah; dan pada keduanya ada kebaikan,” (HR. Muslim).
Hadis tersebut secara implisit memuat pesan agar mukmin atau kader IMM memiliki kekuatan, bukan hanya aspek fisik, tetapi juga aspek ekonomi.
Selain itu, kenyataan sosial mendesak kader-kader IMM merebut aspek ekonomi dalam kehidupan bermasyarakat.
Sudah tidak asing di telinga kita bahwa kata fakir sangat dekat kaitannya dengan kafir (tertutup).
Masyarakat yang fakir atau dekat dengan status fakir tidak jarang menutup diri dengan pesan pesan kebaikan, termasuk pesan-pesan teks kebaikan yang ada dalam agama.
Fenomena tersebut bukan saja terjadi hari ini, tetapi sejak dahulu. Ini juga menjadi cikal bakal patologi sosial dalam kehidupan bermasyarakat di setiap zaman.
Wajarlah jika Bapak Bangsa, Bung Karno Sampai pada kesimpulan: “Anda tidak bisa mengajarkan pesan-pesan filsafat (baca:hikmah, kebajikan) kepada orang yang perutnya dalam kondisi lapar.”
Fenomela lain yang masih ada kaitannya dengan kata fakir dan kafir (tertutup), sebagian kader misalnya cenderung “kafir” (dalam pengertian tertutup) dari seluruh agenda gerakan IMM di tingkat struktur pimpinan cabang ke atas.
Tidak lain, alasan mayoritas pimpinan adalah ingin menjauhkan diri dari status fakir (kalau tidak ingin mengatakan dalam lingkaran fakir).
Begitupula dengan para alumni IMM. Tidak jarang kita dapati kader progresif yang setelah berstatus alumni IMM menghilang tiba-tiba bahkan tidak terlibat sama sekali lagi dengan agenda sosial keagamaan.
Bahkan, untuk organisasi induk IMM yakni Muhammadiyah dan ORTOM lain selain IMM, mereka tidak lagi aktif. Alasannya, mereka ingin menjauhkan diri dari rantai kefakiran hidup.
Kita harus jujur dan terus terang mengakui itu! Adalah tindakan yang wajar, jika asumsinya: bagaimana cara menuntaskan keadaan sosial masyarakat lain jika individu sendiri masih pada level butuh santunan sosial.
Dari beberapa kenyataan pelik di atas, IMM diminta meneguhkan sikap untuk menguatkan ijtihad kuat atau mandiri secara ekonomi.
Penguatan itu dimulai dari internal tubuh IMM sendiri, untuk selanjutnya diharapkan berbuah gerakan, yaitu Gerakan Masyarakat Ekonomi.
Kondisi Umum Masyarakat IMM
Ijtihad Gerakan Masyarakat Ekonomi IMM pada kenyataannya berjalan sangat mendaki dan curam.
Penulis melihat beberapa aspek internal masyarakat IMM sendiri menjadi penyebanya, yaitu:
Pertama, IMM sesungguhnya adalah gerakan sosial-keagamaan. Karakter gerakan ekonomi yang kalkulatif cenderung diabaikan ketika gerakan ekonomi tersebut dikelola oleh lemabaga sosial.
Beberapa kasus factual, kita bisa saksikan hampir setiap BUMI (Badan Usaha Milik Ikatan) tidak bergerak maju, malah mundur dan akhirnya bubar.
Budaya sosial yang dibawa masuk ke badan usaha (baca: gerakan ekonomi) yang jadi penyebabnya.
Penulis tidak dalam posisi ingin mengatakan budaya sosial tidak baik untuk IMM. Budaya sosial baik, tapi menjadi tidak baik jika mewarnai gerakan ekonomi organisasi.
Begitu pula sebaliknya. Budaya ekonomi yang kalkulatif menjadi tidak baik jika diseret masuk dalam gerakan sosial organisasi.
Kedua, karakter mahasiswa yang pada umumnya merasa aman secara ekonomi karena masih mendapat jatah transferan sanak family, belum terdesak.
Ini menjadikan IMM yang basisnya mahasiswa, sulit menumbuhkan gerakan masyarakat ekonomi.
Alih-alih memasyarakatkan gerakan ekonomi, mengimajinasikan dan memulai berwirausaha saja mungkin tidak ada dalam benak sebagian mahasiswa, termasuk mahasiswa IMM diantaranya.
Ketiga, berwirausaha dianggap profesi masyarakat kelas grassroot, bukan tempatnya kaum akademik seperti mahasiswa.
Keempat, berwirausaha dianggap mengkhianati perjuangan para aktivis mahasiswa karena dianggap, mejadi pengusaha sama dengan menjadi budak kapitalis jahanam.
Kelima, gerakan ekonomi tidak dianggap sebagai bagian dari pengaderan. Paradigma pengaderan hanya terbatas pada aspek pengaderan formal atau utama.
Walaupun pada setiap jenjang training dijelaskan panjang kali lebar bahwa pengaderan terdiri atas beberapa bagian, namun pada kenyataanya, hanya pengaderan utama yang dianggap perkaderan an sich, sehingga yang lain dipandang wajar dikesampingkan atau tidak dianggap sebagai pengaderan sama sekali.
Kelima aspek tersebutlkah yang menjadi benalu tumbuh suburnya gerakan Ekonomi di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), menurut hemat penulis.
Ini, pada gilirannya, memperpanjang pesismisme akan terwujudnya gerakan masyarakat ekonomi di tubuh mahasiswa Muhammadiyah (baca IMM).
Solusi & Proyeksi
Untuk itu, sudah sepatutnya kader IMM dan pimpinan di setiap struktur dari hulu ke hilir siuman, melek, serta menyadari posisi strategis gerakan ekonomi dalam tubuh IMM.
Beberapa tawaran solusi penulis untuk mengatasi gagapnya masyarakat IMM menumbuhkan gerakan ekonomi, yaitu:
Pertama, IMM sebagai organisasi sosial sudah sepatutnya tidak gegabah dan terburu-buru mengambil upeti tanpa kalkulasi rasional dari gerakan ekonomi yang baru dimulai.
Ini harus dilakukan jika tidak ingin gerakan ekonomi tersebut kehabisan bahan bakar sebelum sampai di tujuan.
Kedua, budaya mengelola gerakan ekonomi IMM diubah dari yang tadinya dibuatkan badan usaha organisasi ke budaya menghusahakan membina individu organisasi yang mengelola secara mandiri usaha.
Budaya mengelola ekonomi lewat lembaga tidak cocok untuk IMM dengan periodesasi yang sangat singkat dan padat merayap balap-balapan program bidang lain.
Ketiga, membuat sekoci di dalam struktur pimpinan berupa lembaga otonom. Ini gunanya sebagai tempat membina kader dari mental primitif yang menganggap gerakan ekonomi adalah gerakan kapitalis jahanam, profesi yang tidak cocok dengan kaum akademisi, serta mental yang merasa aman dan belum waktunya berurusan dengan ekonomi dan turunannya.
Keempat, menjadikan gerakan ekonomi sebagai prioritas pengaderan lanjutan. Sudah menjadi hal yang vital dan mendesak kiranya struktur di hulu untuk menjadikan atau memasukkan enterpreneurship sebagai kurikulum dalam pengaderan.
Dengan empat poin solusi tersebut yang diaktualkan dalam struktur, kita harapkan kader-kader bisa mendongkrak dan mengisi kekosongan gerakan dalam aspek ekonomi IMM, sehingga dalam jangka waktu yang jauh ke depan kita harapkan dalam posisi menuntaskan orang lain kader telah “tuntas” dengan dirinya sendiri.
Ditulis oleh:
Jumartono
(Ketua Bidang Ekonomi & Kewirausahaan DPD IMM Sulsel 2022-2024)