Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipOpini

Pasar Raya Islam

×

Pasar Raya Islam

Share this article

12112429_952993381441158_4219076438535406020_n_edit_edit

Oleh : Mahram Mubarak*

Penulis teringat dengan istilah yang digunakan oleh Ulil Abshar Abdallah, kordinator Jaringan Islam Liberal, bahwa Islam ini semacam “pasar raya” dimana beragam corak pemikiran, laku kontemplatif, dan ciri khas “pakaian” masing-masing dijajakan di pasar raya. Pasar raya Islam ini ramai dikunjungi oleh berbagai lapisan masyarakat, mulai dari kalangan pelajar, pejabat, politikus, hingga mistikus.

Pasar raya Islam ini menjajakan berbagai macam tawaran seputar keislaman, ada kios yang menjajakan Islam Sunni, ada kios yang menawarkan Islam Syiah, ada juga Islam Ahmadiyah, ada pula Islam Wahabiyah. Apabila kita beranjak ke blok sebelah dari pasar raya Islam ini kita akan menemukan Islam yang cenderung liberal, ada juga yang cenderung moderat, ada yang revivalis, hingga kepada tingkat teroris.

Lalu ketika kita memasuki sebuah kios, misalnya kios Islam Sunni maka kita akan menemukan beberapa bilik lagi, ada bilik Sunni-Mu’tazilah, ada Sunni-Asy’ariyah, ada Sunni-Maturidiyah dan lain sebagainya. Begitu juga ketika kita beranjak ke kios sebelahnya, maka kita akan menemukan Syiah-Imamiyah, ada Syiah-Isma’iliyah, ada Syiah-Qaramithah, ada Syiah-Khattaniyah. Demikian halnya dengan Islam Ahmadiyah, ada Ahmadiyah-Lahore dan ada Ahmadiyah Qadian.

Tidak sampai disitu saja, bahkan mengingat begitu kompleksnya “jajanan” yang ada di pasar raya Islam ini, ada lagi blok yang agak tenang dan cenderung sunyi dari aktivitas tawar-menawar, mereka senantiasa melakukan kontemplasi (khalwat). Blok ini dinamai blok tasawuf atau ‘irfan, tetapi mereka juga bermacam-macam, ada Al Tijaniyah, Al Qadiriyah, Al Khalwatiyah, ada Naqsabandiyah dsb. Dan karena sangat beragamnya corak Islam yang dijajakan di pasar raya ini, bukan tidak mungkin terjadi saling mencaci dan mengejek terhadap mereka yang berada di kios lainnya, misalnya kios Islam Sunni yang mencaci kios Islam Syiah, atau mungkin kios Wahabiyah yang mengejek blok tasawuf. Kejadian saling caci-mencaci dan ejek-mengejek ini bukan lain karena mempertahankan jajanannya agar diserbu oleh para pengunjung. Jadi, bisa dikatakan telah terjadi transaksi religius di dalam tubuh Islam.

Pasar raya Islam belum tutup, masih ada lagi sisi yang perlu diteropong. Ternyata para pengunjung pun ikut terkait dengan kompleksitas Islam. Pasar raya Islam ini sering atau bahkan didominasi oleh kalangan anak muda yang haus akan ilmu. Ada anak muda yang menganggap ruko pilihannyalah yang dirasa pas sehingga tak mau beranjak ke kios atau blok lain, ada anak muda yang senang berjalan-jalan menyusuri seluruh kios dan blok yang ada di pasar raya dan tidak jarang juga mampir untuk sekedar mencicipi lalu pergi lagi. Anak muda yang terakhir, mungkin karena sudah lelah atau mungkin saja belum menemukan tempat yang dirasa cocok dijadikan langganan, maka ia keluar dari pasar raya mencari lebih jauh kehidupan beragamanya atau mungkin ia akan mandiri sendiri membangun “usaha” keberislamannya. Tetapi bagaimana dengan kalangan orang tua? Jalan apa yang mereka tempuh melihat begitu kompleksnya pasar raya Islam ini? Ternyata kebanyakan dari mereka mengambil jalan apatis dan memilih untuk tetap dengan langganannya yang dianggapnya sudah mapan untuk dijadikan rujukan hidup berislam.

Pasar raya Islam di atas merupakan gambaran Islam yang secara sadar telah dipeta-petakan ke dalam corak pemikiran tertentu. Hal ini menampilkan begitu kompleksnya dialektika yang hidup dalam tubuh Islam dan bukan tidak mungkin akan hadir pola pikir baru untuk membaca Islam lalu membangun “kios”nya masing-masing, sebagaimana yang mungkin dilakukan oleh anak muda tadi. Menurut Abdullah Saeed, bahwa memang terdapat ciri khas pandangan dunia atau world view seseorang terhadap Islam: pertama, The Legalist Tradisionalist, yaitu cara berislam dengan berpegang pada pemikiran ulama pra-modern. Kedua, The Theological Puritans, yang berpegang pada nilai etika dan doktrin agama. Ketiga, The Political Islam, pandangan yang menginginkan berdirinya sebuah negara Islam. Keempat, The Islam Extremist, yang cenderung menggunakan kekerasan apabila terdapat perbedaan pandangan. Kelima, The Secular Muslim, yang menganggap bahwa agama merupakan private matter seseorang. Keenam, The Progressive Ijtihadist, bahwa agama tidak mesti tenggelam dalam pusaran zaman, tetapi harus merengkuh zaman dimana para pemikir-pemikirnya harus melakukan dekonstruksi terhadap Islam, baik itu tafsiran-tafsiran klasik hingga pada yurisprudence (fiqh), yang sangat mudah dicerna dan dijalani oleh masyarakat.

Dan menurut penulis yang mesti hidup dalam ummat Islam saat ini adalah cara berpikir yang keenam ini bahwa kita harus berislam dengan mengedepankan akal budi (ijtihadist) untuk berpikir lebih maju tanpa takut mengotak-atik kesakralan sebuah agama karena kalau tidak maka kita hanya bisa latah dengan kemajuan sains yang serba positvis-hedonistik.

*Penulis adalah pengurus PD Pemuda Muhammadiyah Kota Makassar

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner PMB UNIMEN