Oleh : Muh. Asratillah S*
Seringkali jika kita berbincang-bincang dengan salah seorang tenaga pendidik lalu kita bertanya, aspek apa saja yang dinilai dari peserta didik mereka ? maka mereka kemungkinan besar akan menyebutkan tiga istilah yang tidak asing di telinga kita, yaitu “kognisi” , “afeksi” dan “psikomotorik”. Jika kita melanjutkan pertanyaan, apa itu kognisi ? maka secara sederhana mereka akan menjawab bahwa kognisi adalah kemampuan atau capaian penalaran rasional dari peserta belajar. Pada titik ini penulis akan mencoba memulai melakukan penjelajahan fikiran ( jaulah fikriyah) apakah penalaran adalah hal yang niscaya melekat pada kognisi ? atau dalam bahasa yang lebih sedikit filosofis, apakah antara menalar dan kognisi memiliki ekuivalensi yang sifatnya esensial ? apakah dalam setiap “dunia yang mungkin”, di mana ada kognisi “semestinya” ada kemampuan menalar ?. Untuk menjawab pertanyaan rumit ini penulis tidak akan melakukan eksperimen atau riset sendiri seperti yang dilakukan oleh para penggiat “Sains Kesadaran”, tapi mencoba menulusuri beberapa literatur di rak buku dan mencoba melihat perspektif lain soal kongnisi.
Secara etimologi “kognisi” yang dalam bahasa inggris yaitu cognition, berasal dari istilah dalam bahasa latin yaitu cognitio yang artinya “pengenalan”. Dan dalam beberapa literatur psikologi terutama dalam tradisi psikologi kognitif, kognisi secara umum berkaitan dengan perbuatan, proses mengetahui maupun pengetahuan itu sendiri. Tapi yang jelas, perspektif kognisi dalam arus psikologi mainstream dalam dirinya menyimpan sebuah aksioma laten yang seringkali luput dari perhatian, bahwa kognisi merupakan sesuatu yang berbeda dan berjarak dari tubuh dan “kebertubuhan”, bagi kognisi tubuh merupakan sang liyan (the others). Ada oposisi biner di sini antara kognisi-tubuh yang melanjutkan dan memutakhirkan oposisi biner yang pernah diproklamirkan oleh Rene Descartes antara jiwa-tubuh (res cogito/res extensa), antara kognisi dan tubuh menempati wadah substansi yang berbeda. Tapi dalam oposisi biner yang ada bukan hanya differensiation atau perbedaan tapi juga domination atau pembedaan, tubuh seharusnya ditundukkan dan diatur oleh jiwa atau kognisi, sebagaimana seorang cowboy memacu dan mengendalikan kuda tunggangannya. Tapi betulkah demikian ? mari kita mencoba mengeja perpspektif lain soal kognisi, yaitu Teori Kognisi Santiago.
Menurut Teori Kognisi Santiago , seperti yang diutarakan oleh Maturana dan Varela, kognisi adalah proses kehidupan itu sendiri, yang terjadi di semua tingkatan kehidupan. Dengan kata lain Maturana dan Varela menggeser perspektif kognisi yang awalnya bersifat antroposentris (berpusat pada manusia) menjadi pespektif kognisi yang biosentris (berpusat pada kehidupan) .Teori Santiago memperkarakan kognisi yang awalnya merupakan barang mewah yang hanya dimiliki oleh manusia dan yang membuatnya sebagai satu-satunya subjek moral di semesta ini menjadi sesuatu yang dimiliki bersama oleh semua jenjang kehidupan di atas muka bumi. Bagi teori Santiago semua aktivitas pengaturan sistem-sistem hidup mulai dari kehidupan uniseluler (ber sel satu) yang tak memiliki sistem saraf apalagi otak hingga kehidupan multiseluler (ber sel banyak), dari kehidupan sederhana tak berkesadaran hingga kehidupan yang berkesadaran, merupakan penanda adanya aktivitas koginisi. Dan menurut penulis hal ini akan berpotensi menggeser persepsi kita soal etika, jika dalam etika konvensional yang bisa dimasukkan dalam komunitas moral hanya lah manusia, maka teori kognisi Santiago seolah-olah memberikan kita suplemen untuk memperluas cakrawala atau horison (áfaq) etika kita selama ini, kehidupan selain manusia seharusnya bisa dimasukkan ke dalam komunitas moral. Jikalau selama ini salah satu argumentasi teori etika konvensional yang mengukuhkan bahwa cuma manusia yang bisa dimasukkan dalam komunitas moral karena kepemilikannya atas aktivitas mental yang superior dari tubuhnya, maka teori Santiago berusaha lebih mengakrabkan antara aktivitas mental dengan kehidupan yang menubuh, sehingga setiap jenjang kehidupan yang menubuh merupakan bagian dari komunitas moral.
Dalam teori Santiago kognisi sangat erat kaitannya dengan autopoiesis, yaitu sebuah proses terus menerus dari jejaring kehidupan untuk melakukan swa-organisasi hidup, mengalami perubahan struktural terus menerus sambil mempertahankan pola organisasi jaringannya, melakukan pembaharuan diri tiada henti (self-renewal) serta terangkai dan berinteraksi tiada henti dengan lingkungannya. Maka dari itu kognisi bukanlah sebuah entitas ataupun substansi yang berdiri sendiri, tapi merupakan kemunculan terus menerus dunia melalui proses tiada henti dari kehidupan. Interaksi antara sistem hidup dan lingkungannya merupakan interkasi kognitif, proses kehidupan tak lain dan tak bukan adalah proses kognisi itu sendiri, dalam hal ini ada equivalensi esensial antara proses kehidupan dan proses kognisi, artinya dalam setiap “dunia yang mungkin” dimana ada proses kehidupan semestinya ada kehidupan kognisi.
Fritjof Capra dalam bukunya The Hidden Connection berkata “ Identifikasi pikiran atau kognisi dengan proses kehidupan adalah gagasan baru dalam sains, tetapi ia adalah suatu intuisi manusia terdalam dan paling purba “. Di masa lalu memang jiwa atau roh, tidak digambarkan sebagai entitas yang terlepas dari hidup yang menubuh tapi lebih dideskripsikan dengan menggunakan metafora “nafas kehidupan”. Jiwa dalam bahasa Sansekerta adalah atman, dalam bahasa yunani adalah psyhce dan dalam bahasa latin adalah anima yang semuanya berarti ”nafas”. Begitu juga istilah yang digunakan untuk “roh” dalam bahasa latin disebut spiritus, dalam bahasa yunani disebut pneuma dan dalam bahasa Ibrani adalah ruah, yang semuanya juga berarti “nafas”. Bahkan dalam tradisi mistik Islam ke-berada-an (beingness) adalah sesuatu yang menyatu secara organis dengan ”nafas Tuhan”, seperti yang dikatakan oleh Sayyed Hossein Nasr dalam bukunya the Garden of Truth saat menafsirkan kata Al-Rahman dalam kalimat Basmalah dengan menggunakan perspektif irfani “Al-Rahman yang merupakan nama dari Zat Ilahi, juga merupakan nama dari zat Ilahi…diasosiasikan oleh kaum sufi dengan pengadaan kosmos itu sendiri. Mereka percaya bahwa Allah meniupkan kebaikanNya, yang juga merupakan Rahmat…dan bahwa melalui “Nafas Al-Rahman” ini dunia menjadi ada”.
* Penulis adalah Anggota Majelis Pustaka dan Informasi PW Muhammadiyah Sulsel