Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Berita

Syamsuriadi: Kalau Soal Ideologi dan Kekaderan, Saya Tegas!

×

Syamsuriadi: Kalau Soal Ideologi dan Kekaderan, Saya Tegas!

Share this article
Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Sulsel, Syamsuriadi P Salenda (Foto: Fikar)

KHITTAH.CO, Makassar- Syamsuriadi P Salenda dikenal dengan pakaiannya yang identik, selalu serba putih. Tidak hanya itu, Syamsuriadi juga dikenal tegas jika bicara soal ideologi dan kekaderan.

Ini terbukti, suatu waktu, dirinya pernah dengan tegas meneriakkan soal kaderisasi angkatan muda Muhammadiyah di kampus milik Persyarikatan.

Demikian pula soal pengakomodasian para kader dalam kampus. ” Saya kalau soal ideologi, soal kekaderan, saya tegas, Pak. Biar siapa, saya pasti akan luruskan,” kata dia.

Syamsuriadi juga menegaskan, pimpinan Amal Usaha seharusnya dilandaskan pada kaderisasi dan kualitas, bukan kedekatan.

“Basisnya itu harus dari kaderisasi. Sehebat-hebatnya orang itu, tapi tidak terlabel kaderisasi dari Ortom Muhammadiyah atau di lingkup Muhammadiyah, itu akan menjadi pertimbangan. Kalau soal ideologi, kaderisasi saya memang selalu tegas,” kata dia.

Untuk ideologi, ia menekankan Tarjih harus diimplemkentasikan. “Kalau bahasa saya Tarjihisasi,” ungkap Syamsuriadi.

Namun, dalam hal ini, kata dia, Tarjih bukan satu-satunya yang menjadi ukuran hukum di persyarikatan.

“Ia menjadi induk, pedoman kita beribadah, setelah itu, ada dari pemikiran-pemikiran ulama yang tetap tidak berbeda dengan ideologi Muhammadiyah,” ucap dia.

Ia selalu menegaskan bahwa Kepribadian Muhammadiyah harus ditularkan dan dipancarkan di mana-mana.

“Kepribadian orang lain jangan di bawa ke Persyarikatan, karena kalau begitu, kita akan bertengkar dan berbeda di Persyarikatan,” kata dia.

Awal Mula Ber-Muhammadiyah

Saat Khittah menanyai terkait sepak terjang mengenal Muhammadiyah, Syamsuriadi bersimpul senyum menjawab.

Kenangan Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Sulsel ini, terbang jauh ke puluhan tahun silam

Ia menjawab bahwa organisasi otonom (ortom) Muhammadiyalah yang membuat dia jatuh hati. Syamsuriadi menuturkan bahwa ia mengenal Muhammadiyah dari Ikatan Pelajar Muhammadiyah di Kolaka. Meski, ia mengakui, tidak mendalam di IPM.

“Kemudian, seiring berjalannya waktu, saya pun kuliah di Makassar, di IAIN (kini, UIN Alauddin). Saya ditarik kiri kanan oleh OKP lain untuk ikut pengaderan, tapi saya tidak tertarik, hingga akhirnya hanya lihat-lihat saja,” ungkap dia.

Lebih lanjut, ia menuturkan bahwa pengaderan organisasi lain yang ia lihat kala itu juga tidak ada yang menarik di hatinya. “Satu malam-ji saya lihat. saya berpikir, tidak ada yang saya cari di sini,” ungkap Syamsuriadi.

Hingga suatu waktu, kawannya, Andi Nurpati dan Rustam Tappa selaku kawan kursus bahasa Inggris-nya mengajak Syamsuriadi untuk ikut Darul Arqam Dasar (DAD).

“Lalu saya bertanya, apa itu DAD? Dari situlah, saya tahu Darul Arqam Dasar, pengaderannya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah,” ungkap dia.

Kemudian, berangkatlah ia ke Lompobatang untuk menjadi kader IMM. Waktu itu, pengaderan IMM masih digabung.

“Ada UNM, dan kampus lain, besar sekali itu DAD. Baru pembahasan tata tertib kala itu, saya berdebat dengan salah satu instruktur. Saya bilang, di IMM ini diajar Islam itu, kok lain,” ujar Syam sambil senyum.

Ia mengatakan bahwa Islam yang ia pahami memakai celana apapun, sah dalam salat. “Kok di sini harus pakai celana hitam, tidak boleh pakai levi’s,” ujar Syam sambil sumringah saat bercerita.

Karena memang waktu itu, kata dia, celana Syamsuriadi hanyalah berjenis denim (jeans). “Sementara, Saya baru belajar pakai celana panjang. Diusirlah saya,” ungkap dia tertawa.

Meski demikian, keesokan harinya, Syamsuriadi tetap diajak untuk mengikuti pengaderan selanjutnya.

“Setelah dari situ, saya diajak lagi. Karena ada pengalaman, akhirnya saya berniat serius. Saya bawa pakaian, makanan. Kebetulan nenek saya ada di Makassar waktu itu di kos saya,” kata Wakil Dekan IV FKIP Unismuh Makassar ini.

Ia pun ditanyai ke mana gerangan ia akan pergi. “Saya bilang mau ke Masjid, Nenek, mau belajar agama. Langsung Nenek saya bilang, bagus itu, Nak. Dikasihlah saya pembeli telur, untuk minum telur ayam kampung pagi-pagi, katanya supaya tidak capek,” jelas dia.

Kemudian, ikutlah Syamsuriadi ke Maccini, di SMP Muhammadiyah tempat berkantor PDM Kota Makassar saat itu.

“Saya ikut DAD di situ, pesertanya 45 orang. Pertama kali dipisah perempuan dan laki-laki. Master waktu itu, Sakri Condeng, Imamahnya Tasmin Tangareng. Adapun instrukturnya itu, Andi Asbara. Co instruktur, Mustakim dan Muhid Paniriau,” ungkap Syamsuriadi.

Eksis di IMM

Ia mengaku DAD tersebutlah yang menggembleng dirinya. “Saya tidak pernah pulang, karena sudah saya niatkan, apa pun yang terjadi, saya harus menyelesaikan training ini. Mulailah tertarik jiwa saya, bahwa yang saya cari adalah ini, memang ada di IMM. Hati saya tenang tahun ’88 itu,” ucap dia.

Lebih lanjut, dalam perjalanannya, di antara 45 orang itu, kata Syam, dirinyalah salah satu kader yang terus maju, sampai level Instruktur.

“Pada tahun 1992, Musyda di Parepare, saya terpilih menjadi Sekretaris DPD IMM Sulsel. Sebelum itu, memang saya sudah pernah menjadi Sekretaris Korkom di kampus, cabang Makassar, sehingga ada pengalaman,” jelas Wakil Sekretaris PWM Sulsel ini.

Syamsuriadi mengungkapkan, dahulu, kala menjabat di Cabang IMM, ia diamanahi sebagai Departemen Kemahasiswaan.

“Sejak Periode Kak Agung, Kak Amir Dacing, Kak Rachmat Nur, sejak itu saya sudah di Cabang. Kemudian, ketika Musyda di Parepare 1992 itu, saya terpilih jadi Sekretaris Umum DPD IMM Sulsel, ketuanya Ir. Abdullah,” ungkap dia.

Dalam perjalanan itulah, setelah berproses, ikutlah ia untuk pertama kalinya sebagai peserta Musyawarah Wilayah Muhammadiyah di Parepare.

“Saat itu, Syaiful Saleh memperoleh suara terbanyak, namun diserahkan ke Pak Bahar untuk jadi Ketua. Nah, dari situlah, saya diamanahi Sekretaris MPK yang diketuai oleh Pak Yos,” kata Syam.

Kemudian, masuk periode Pak Alwi, kata dia, ia masih di MPK, namun diamanahi menjadi Ketua.

“Proses demi proses dilalui, lalu Musywil di Palopo, saya masih diserahkan jadi Ketua MPK empat bulan. Setelah itu, ada penambahan anggota PWM, menjadi 17. Saya ditarik menjadi anggota tambahan, jadi Wakil Sekretaris di periode Prof Ambo. Itulah perjalanan kaderisasi saya selama ini,” jelas Syamsuriadi.

Gugatan untuk Kader Muhammadiyah

Syamsuriadi P Salenda juga menggugat pihak yang mengaku kader Muhammadiyah tapi tidak memberikan kontribusi riil.

“Kalau ada kader Muhammadiyah atau kader Ortom yang mempertanyakan apa yang diberikan Muhammadiyah, kader tersebut harus istighfar dulu.

“Justru kita harus balik, apakah yang sudah kita serahkan, berikan, atau minimal perhatian apa yang sudah kita berikan kepada Persyarikatan ini?” gugat dia.

Ia mengaku, andil Muhammadiyah dalam merubah kehidupannya sangat besar. Muhammadiyah, kata dia, telah mengubah karakter, sikap, dan perilaku umat dalam bermasyarakat, termasuk dalam ilmu agama.

“Bahkan, dari situ, saya banyak melihat bahwa ber-Islam itu memang tidak mesti harus dihapal, tetapi mempraktikkan, sesuai dengan sunah yang dicontohkan Rasulullah, lewat Muhammadiyah ini,” kata dia.

Dalam hal ini, ia tegas mengatakan bahwa pengurus Muhammadiyah yang sudah menerima amanah di persyarikatan harus aktif.

“Kalau ia tidak aktif, lalu setiap periodesasi menyodorkan dirinya untuk menjadi pengurus, dan begitu masuk, tidak bisa juga aktif, itu kan aneh,” kata dia.

“Padahal di Muhammadiyah itu. bukan tidak bisa buat apa-apa, malahan banyaklah yang bisa diperbuat. Bahkan membuat susah Muhammadiyah di luar sana, itu juga satu perbuatan yang mereka lakukan. Orang-orang yang tidak aktif lagi itu,” jelas Syamsuriad

Soal Gesekan

Syam mengaku bahwa memang terdapat gesekan-gesekan perbedaan pemikiran di Muhammadiyah. Gesekan itu, kata dia, ada yang sangat keras.

Menurut dia, ini karena di Muhammadiyah, menerapkan keseteraan dan rasionalitas kritis. Hal ini berbeda dengan gerakan lain.

“Di sebelah, kalau sudah ada orang tua, suhu, guru, atau kiiainya yang sudah bersabda, maka mereka akan sami’na wa athona. Di Muhammadiyah tidak diajari kita seperti itu. Kita diajari menganalisa kebenarannya. Kalau benar kita ikut, kalau tidak diperbaiki, tapi bukan dibuang,” tegas Syam.

Karena itulah, dia menegaskan, dalam hal ini, berbeda itu bukan berarti berpisah. Ia menekankan, berbeda itu artinya saling menguatkan dalam suatu hal.

“Oleh karena itu, kalau ada teman-teman yang sekarang ini jalan dalam rangka Musywil Enrekang dengan kampanye menjelek-jelekkan orang, itu bukan karakter Muhammadiyah,” jelas Syamsuriadi.

Ia mengatakan bahwa biarlah masyarakat Muhammadiyah Sulsel melihat, siapa sesungguhnya yang bisa membawa dan mengurusi Muhammadiyah secara baik.

“Karena memang, pimpinan sekarang banyak yang senang di zona nyaman. Tidak mau susah, tidak mau diperhadapkan dengan problem yang dihadapi amal usaha, maupun organisasinya,” ujar dia.

Padahal, kata dia, kader dengan ideologi kuat dan kemampuan, dibutuhkan untuk problema tersebut. “Dia seharunya menjadi figur di situ, tetapi dia tidak bisa buat apa-apa. Kenapa begitu? Karena ia tidak mau terganggu jabatannya karena menyatakan sesuatu. Itu jelas salah,” tegas Syamsuriadi.

Meski demikian, ia berharap kader Muhammadiyah dapat bersikap lebih dewasa. “Tidak hanya melihat perbedaan, pertentangan, dan kejelekan orang lain, itulah yang harus dihindari,” ucap dia.

Ia mengungkapkan bahwa pada tataran pimpinan pun tidak bisa dipungkiri pasti ada perbedaan dan pertentangan.

“Begitu juga di PWM. Kalau kita melihat ke dalam saat rapat itu mereka bersatu, justru sesungguhnya tidak, kalau ditanya satu-satu,” kata Syamsuriadi.

Namun, bagusnya di PWM ini, kata dia, ketika ada keputusan, semua pasti sepakat dan bersatu.

“Karena memang, prinsip di Muhammadiyah itu, sebaik-baik pendapatmu dan seburuk-buruk pendapat musyawarah, masih lebih baik pendapat musyawarah, karena akan banyak yang bertanggung jawab. Pendapat pribadi akan membuat kita bertarung,” jelas Syamsuriadi.

Idealisme

Ia mengatakan, idealisme itu bukan sekadar kata-kata. Sikap tegas yang selalu ia tampilkan dan teriakkan juga merupakan upaya untuk mengawal ortom. Itu juga merupakan upayanya untuk menunjukkan kekuatan Ortom.

Ia mengatakan, terkait polarisasi di kampus, memang bukan berarti bahwa warna yang lain itu tidak ada. Hanya saja, ia menekankan, warna lain itu jangan diberi ruang tidak lebih dari Ortom itu sendiri.

“Istilah saya waktu itu, masa kita tamu di rumah sendiri. Lalu, kemudian, apabila orang lain ingin diberi ruang lebih, itu sama halnya kasus yang terjadi di Bone. Itulah yang saya tidak inginkan,” ujar dia.

Ia bersyukur karena sikap kerasnya itu membuahkan hikmah. Hal tersebut karena kebijakan menjadi berubah.

“Karena sebenarnya, kekhawatiran saya sekarang itu adalah lepasan abal-abal, yaitu alumni DAD yang seolah-olah,” tutup dia.

Reporter: Adim

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply